Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Para Petani itu Menangis Lagi

Para petani di Jember, Ja-Tim, menjerit. Lahannya dibuldozer karena tak menanam tebu tri (tebu rakyat intensifikasi). Menanam padi lebih menguntungkan. tri mirip kerja paksa dan terlalu birokratis.

30 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Rowotengah tegang. Sekitar 200 petani, kebanyakan perempuan, turun ke sawah. Dengan gemas mereka menguruk kembali cemplongan yang hari itu -- Senin pagi pekan lalu -- disiapkan untuk menanam tebu TRI alias tebu rakyat intensifikasi. Tak ayal, 25 pekerja cemplongan lari terbrit-birit. Ketegangan serupa tidak cuma terasa di Rowotengah, Kecamatan Sumberbaru, Jember, Jawa Timur, itu. Di Desa Paleran, Kecamatan Umbulsari, Jember, ketegangan itu bahkan sempat bikin hati miris. Empat hari sebelum unjuk rasa di Rowotengah itu, tiga traktor menjungkirbalikkan sekitar 50 hektar lahan -- 38 hektar di antaranya sudah ditanami kedelai berusia seminggu sampai sebulan. Para pejabat dan aparat keamanan berjaga-aga. Aksi gajah-gajah baja itu berlangsung selama seminggu. Dan para petani tak berdaya. "Sebenarnya kami tidak menolak TRI, cuma minta agar program itu ditunda," ujar Sutariono, petani dengan lahan sehektar. Padahal, menurut surat edaran Bupati Jember Soeryadi Setiawan, yang terkena TRI di Paleran seluas 300 hektar. Tapi belakangan diperluas jadi 350 hektar lebih, termasuk 50 hektar yang digusur tadi. Kerepotan ini sudah berlangsung beberapa bulan. Gara-gara menolak mengikuti program TRI, tiga petani dijemput petugas Koramil lalu dibawa ke Kodim Jember. Dua jam mereka diinterogasi lalu disel sehari. Khawatir diperlakukan seperti itu, sekitar 60 petani minta perlindungan kepada Biro Bantuan Hukum Universitas Jember. Upaya penyelesaian pun diusahakan oleh Rusbandi Sofyan dari biro tersebut. Sejak April lalu, misalnya, ia menawarkan dua alternatif kepada bupati. "Tapi sampai sekarang tidak ada jawaban," katanya. Alternatif yang ditawarkannya: lahan boleh ditraktor asal diberi ganti rugi. Atau program TRI ditunda sampai usai panen. Tapi Bupati menolak. Penolakan ini, bisa jadi, karena Bupati sendiri diharuskan memenuhi "target" penanaman tebu di wilayahnya. Karena tidak ada jawaban, para petani menanam padi dan kedelai. Lalu mereka, dua kali, mengirim surat kepada Bupati mohon agar program TRI di Dusun Curah Keting dan Curah Sawah ditunda. Tak ada jawaban untuk surat pertama. Tentu, sebab Pak Bupati tengah naik haji. Tapi untuk surat kedua ada jawaban: tiga traktor Pabrik Gula Semboro -- yang disewa Ketua Kelompok TRI Cholih -- beraksi di lahan mereka. Tindakan itu menurut Camat Umbulsari, Hudiman, sesuai dengan janji para petani sendiri yang bersedia menyerahkan lahan mereka setelah panen usai. Para petani juga punya alasan menolak TRI. "Menurut pengalaman petani yang pernah mengikuti program itu, satu hektar lahan yang ditanami tebu TRI hanya menghasilkan Rp 1,25 juta. Sedang bila ditanami padi dan kedelai, hasilnya bisa Rp 4,5 juta," kata Musripan, tetangga Sutariono. Buldozer rupanya sudah jadi "mainan" di Jember. Seperti yang juga pernah terjadi tahun lalu di Desa Mlokorejo, Kecamatan Puger, Jember (TEMPO, 15 Agustus 1987). Belakangan 32 petani menggugat bupati, KUD, dan PG Semboro secara perdata, minta ganti rugi Rp 155 juta. Mereka kalah, dan harus membaar ganti rugi Kp 17 juta kepada PG Semboro. Buntutnya, mereka dituntut secara pidana (TEMPO, 18 Juni 1988). Kasus yang sama juga terjadi di Desa Sumber Ringin, Kecamatan Sanankulon, Blitar, Jawa Timur. Akhir Juni lalu, 32 petani mengirim surat ke DPRD Blitar, menyatakan keengganan mereka mengikuti program TRI musim tanam 1988/1989. Itu mereka lakukan setelah menghadapi jalan buntu di kelurahan dan kecamatan. Tapi seminggu kemudian mereka, satu per satu, dipanggil Kepala Desa Sukamin agar mencabut surat tersebut. Belakangan, di balai desa, 22 dari 31 petani itu setuju sawahnya ditanami tebu TRI. Konon, ada di antaranya yang diancam akan dituduh sebagai PKI bila menolak TRI -- hal yang dibantah Kepala Desa Sukamin. "Sebenarnya, mereka keberatan," kata petani yan menolak program itu. Maklum, di balai desa itu hadir pula Kepala Desa Sukamin, Camat Widayanto, dan tiga anggota DPRD: H. Muhadji, Sutadi Yusuf, Mayor (Purn.) Ngadiran. Alasan penolakan itu setali tiga uang. Bila bertanam padi mereka bisa panen dua kali dan panen palawija sekali. Tapi bila lahan itu ditanami tebu hasilnya tidak memadai. Seorang petani di Sanankulon yang memiliki lahan 250 ru (1 ha sekitar 700 ru) mengungkapkan kesedihannya. Sawah seluas itu ketika ditanami tebu TRI hanya menghasilkan Rp 325 ribu. Tapi tetangganya yang memiliki lahan cuma 120 ru bisa berpenghasilan Rp 290 ribu karena ditanami padi. Keengganan mengikuti program TRI itu, menurut Dachlan Fatchurrachman, hanya trauma. "Lahan mereka 'kan baru akan ditanami tebu pada akhir Agustus mendatang," ujar Sekretaris Bimas Kabupaten Blitar itu. "Kalau mereka mengelola tanaman tebu dengan baik, satu hektar bisa menghasilkan sampai Rp 2 juta," katanya. Menurut insinyur tamatan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya itu, kerugian petani itu umumnya karena tidak mengelola tanaman dengan baik. Misalnya, penanaman diserahkan kepada orang lain. Atau pupuknya kurang hingga mengurangi bobot dan rendemen tebu. "Kerugian itu biasanya terletak pada hubungan kerja antara anggota, ketua kelompok, dan KUD. Bukan karena programnya yang keliru," kata Dachlan lagi. Entah siapa yang benar. "Tapi 'kan saya yang mengalami. Jika rugi, saya yang menanggung akibatnya," kata Suhudi. Menurut petani itu, dari hasil panen padi ia bisa menyambung hidup karena bisa panen dua kali dan palawija sekali. Tapi hasil tanaman tebu harus ditunggu setahun, hasilnya pun kecil. 'Kan ada uang tunggu? "Tapi petani tidak biasa menerima uang banyak. Bisa habis seketika," tambahnya. Pelaksanaan TRI di beberapa daerah di Jawa Timur memang tidak mulus. Itu diakui pula oleh Hotman M. Siahaan, sosiolog yang mengamati pelaksanaan program TRI di beberapa PTP. "Ketidakberesan itu kebanyakan bersumber pada birokrasinya dan manajemen KUD, yang paling banyak terlibat dalam urusan TRI," katanya. Kesimpulan M. Zaidun dari LBH Surabaya lebih keras. Katanya, "Kalau kita mau jujur, program TRI itu mirip kerja paksa di zaman kolonial." B.S.H.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus