Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Democracy & Strategic Affairs (IndoStrategic) Ahmad Khoirul Umam menilai Partai Demokrat harus menjelaskan kembali visi perubahannya setelah memutuskan mendukung Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Pasalnya, visi perubahan itu dinilai bertentangan dengan visi keberlanjutan yang diusung oleh partai di Koalisi Indonesia Maju (KIM) lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tantangan (Partai) Demokrat adalah bagaimana meletakkan konsep dan tagline perubahan untuk perbaikan yang mereka usung agar bisa melebur dengan semangat keberlanjutan yang diusung Koalisi Indonesia Maju," kata Umam dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin, 18 September 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Umam menjelaskan apabila Demokrat dapat menempatkan visi perubahan itu sebagai manifestasi konsep perubahan dan keberlanjutan (change and continuity), maka partai dengan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) itu tidak akan menemui masalah untuk melebur dengan Koalisi Indonesia Maju.
Demokrat disebut bergabung dengan KIM setelah jajaran elit partai tersebut bertemu dengan Prabowo Subianto dan sejumlah pucuk pimpinan partai anggota Koalisi Indonesia Maju di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Ahad kemarin, 17 September 2023.
Dalam pertemuan itu, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan secara langsung dukungan mereka kepada Prabowo untuk maju pada Pilpres 2024.
Basis massa Demokrat lebih condong ke Prabowo
Umam memahami langkah Demokrat tersebut. Dia menilai ada beberapa alasan yang menjadikan partai berlambang bintang bersudut tiga itu memberikan dukungan kepada Prabowo, ketimbang kepada bakal calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Ganjar Pranowo.
Alasan pertama, menurut Umam, karena basis masa pendukung Demokrat lebih banyak memilih Prabowo. Dengan begitu, menurut dia, Demokrat tak akan kesulitan untuk mengonsolidasikan pendukungnya dalam Pilpres 2024.
"Basis pemilih loyal Partai Demokrat lebih banyak mendukung Prabowo ketimbang Ganjar Pranowo," kata Umam.
Alasan kedua, Umam juga menilai Partai Demokrat sering menempatkan partainya pada basis paradigma politik tengah-moderat. Hal ini, menurut dia, lebih dekat dengan Gerindra ketimbang PDIP yang mengklaim memiliki paradigma kiri-progresif.
"Spektrum tengah saat ini diklaim oleh tim Prabowo lebih merepresentasikan posisinya sekarang, di tengah PDI Perjuangan sebagai pengusung utama Ganjar yang mengklaim diri sebagai gerbong kiri-progresif dan Anies Baswedan yang lebih kuat merepresentasikan kekuatan politik Islam," kata dosen Ilmu Politik dan International Studies di Universitas Paramadina.
Selanjutnya, komunikasi Demokrat dan PDIP disebut buntu
Terakhir, Umam menilai komunikasi antara Partai Demokrat dengan PDIP cenderung buntu.
"Partai Demokrat tampak kerepotan mengakses komunikasi langsung dengan Ketua Umum PDI Perjuangam Megawati Soekarnoputri yang menjadi veto player sekaligus penentu arah gerbong koalisi Ganjar," kata Umam.
Alhasil, situasi itu turut memengaruhi cara pandang Partai Demokrat yang menghendaki koalisi yang setara dan saling menghormati, ujar Umam.
Sebelum mendukung Prabowo Subianto, Partai Demokrat bergabung dengan Koalisi Perubahan untuk Persatuan bersama Partai NasDem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketiga partai itu mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden.
Partai Demokrat keluar dari koalisi itu setelah NasDem dan Anies dinilai tak menepati janjinya untuk menjadikan AHY sebagai calon wakil presiden. NasDem dan Anies menggandeng Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang sebelumnya justru berada di gerbong pendukung Prabowo Subianto.