Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Amnesty International Indonesia mendesak Komnas HAM menginvestigasi penembakan yang menewaskan dokter Sunardi.
Penggunaan senjata api harus menjadi upaya terakhir yang dilakukan aparat.
Investigasi untuk menguji klaim polisi mesti dilakukan dengan tujuan untuk menentukan sesuai-tidaknya prosedur penggunaan senjata api dan prinsip dalam hukum internasional.
JAKARTA — Amnesty International Indonesia mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menginvestigasi penembakan yang menewaskan dokter Sunardi. Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan penggunaan senjata api, apalagi dengan tujuan mematikan, harus lebih hati-hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggunaan senjata api terhadap orang lain harus selalu dianggap berpotensi mematikan. Dengan begitu, penggunaan senjata api menjadi upaya terakhir yang diambil aparat saat ada ancaman serius yang mematikan ataupun luka berat. “Penggunaan kekuatan apa pun oleh aparat keamanan harus selalu menjadi pilihan terakhir," kata Usman, Selasa, 15 Maret 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror menembak mati Sunardi, terduga pelaku terorisme yang disebut-sebut terafiliasi jaringan kelompok teror Jamaah Islamiyah. Insiden penembakan terhadap anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Sukoharjo, Jawa Tengah, itu terjadi saat penangkapan pada Rabu pekan lalu. Menurut keterangan Densus 88, penembakan tersebut dilakukan karena Sunardi dianggap membahayakan petugas dan masyarakat saat penangkapan. Tim Detasemen Antiteror menyebutkan Sunardi melawan secara agresif.
Dalam kasus ini, polisi menyatakan terpaksa menembak dan itu menjadi pilihan terakhir. Usman mengatakan, untuk memastikan klaim tersebut, perlu ada akuntablitas setiap kali penggunaan senjata api oleh aparat terhadap masyarakat sipil. “Seharusnya ada investigasi, termasuk dalam kasus dokter Sunardi,” ujarnya.
Video rekaman CCTV saat konferensi pers peristiwa penembakan terhadap tersangka terorisme dokter Sunardi di Solo, Jawa Tengah, di Komnas HAM, Jakarta, 15 Maret 2022. TEMPO/Muhammad Hidayat
Usman menjelaskan, penggunaan senjata api saat melakukan penindakan memang bisa dilakukan. Namun tindakan itu harus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang penggunaan kekuatan dan senjata api oleh penegak hukum serta Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009.
Investigasi untuk menguji klaim polisi mesti dilakukan dengan tujuan untuk menentukan sesuai-tidaknya prosedur penggunaan senjata api dan prinsip dalam hukum internasional. Investigasi yang dilakukan pun sifatnya harus segera, imparsial, menyeluruh, dan mandiri. ”Investigasi hanya boleh dilakukan oleh pihak yang berbeda dengan individu-individu yang terlibat dalam insiden penembakan,” ujar Usman.
Menurut dia, dalam proses investigasi, keluarga korban juga penting dilibatkan. Keluarga juga harus dilindungi dari segala bentuk intimidasi. “Temuan dari tim investigasi harus dibuat terbuka kepada publik agar ada aspek pengawasan dari masyarakat.”
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga meminta Komnas HAM menguji klaim polisi soal penembakan tersebut, apakah telah memenuhi prosedur atau tidak. Dari catatan YLBHI, penggunaan senjata api oleh polisi justru banyak menimbulkan pelanggaran berupa extrajudicial killing atau pembunuhan di luar pengadilan. "Kami mengecam praktik penggunaan senjata api seperti itu karena tidak dibenarkan," ujar Direktur YLBHI, Muhammad Isnur.
Menurut Isnur, pelanggaran penggunaan senjata oleh aparat telah terbukti melanggar prosedur terlihat dari kasus penangkapan terhadap Sriyono, terduga teroris, ataupun kejadian di KM 50, yang menyebabkan enam anggota Front Pembela Islam (FPI) tewas. "Dalam kasus itu, polisi juga mengklaim sudah bertindak sesuai dengan prosedur. Setelah diinvestigasi, ternyata temuannya berbeda," ucap dia.
Dalam kasus penembakan terhadap dokter Sunardi, YLBHI mencatat sejumlah kejanggalan. Sebab, dalam proses pengejaran yang melibatkan banyak polisi, mereka tidak bisa menembak ban mobil Sunardi. Selain itu, dalam pengejaran terduga teroris semestinya polisi menggunakan kamera tubuh untuk merekam semua kejadian bahkan saat penangkapan. "Kalau kamera tubuh itu digunakan, kan, ada bukti autentik," ucapnya. "Semua klaim polisi perlu dicek ulang."
Juru bicara keluarga Sunardi, Endro Sudarsono, ragu akan klaim polisi. Menurut dia, polisi semestinya bisa menentukan waktu yang tepat saat penangkapan. "Seharusnya saat penangkapan justru harus lebih meminimalkan dampak negatif," ujar dia. Keluarga juga ragu atas tuduhan polisi bahwa Sunardi masuk jaringan teroris Jamaah Islamiyah. Karena insiden penembakan mengakibatkan Sunardi meninggal, kata Endro, proses hukum untuk membuktikan benar-tidaknya hal tersebut tidak bisa berjalan.
Adapun Komnas HAM kemarin meminta keterangan Tim Detasemen Antiteror yang menembak mati Sunardi. "Apakah ada potensi pelanggaran hak asasi manusia, kami akan dalami," ujar komisioner Komnas HAM, Choirul Anam.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo