Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pembelaan Seorang Prajurit Tua

HR Dharsono membacakan pledoinya berjudul "menuntut janji orde baru". Mengulas perjalanan orde baru, penyimpangan pemerintah sekarang, kasus Priok dan penolakan dituduh subversi.

11 Januari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALIRAN listrik di Pengadilan Negeri 1 Jakarta Pusat padam Jumat siang pekan 1 lalu, tatkala sidang akan dimulai pada pukul dua. Maka, terdakwa H.R. Dharsono pun menolak sidang dibuka sebelum aliran listrik hidup. "Tidak ada gunanya pleidoi dibacakan kalau listrik tidak ada. Ini 'kan sidang terbuka, jadi pengunjung di luar harus juga bisa mendengar lewat pengeras suara. Kalau tidak, percuma," kata Adnan Buyung Nasution, pembela Dharsono. Sekitar pukul tiga, aliran listrik normal kembali. Sidang pun dimulai. Hari itu acaranya pembacaan pembelaan Dharsono. Memakai baju lengan pendek bergaris-garis kecil, berdasi, serta celana warna krem, Dharsono maju ke mimbar. Begitu Dharsono membacakan judul pleidoinya "Menuntut Janji Orde Baru", pengunjung bertepuk. Sekitar 150 orang tampak hadir siang itu di ruang sidang yang terletak di lantai tiga, termasuk dua penanda tangan "Petisi 50", bekas Gubernur Ali Sadikin dan bekas Menteri Pertambangan Slamet Bratanata. Dan tentu saja keluarga Dharsono. Di halaman bawah, dua ratusan orang tekun mengikuti sidang melalui pengeras suara. Pleidoi setebal 125 halaman itu dibaca selama hampir empat jam. Suara bekas Pangdam Siliwangi itu tetap saja lantang. Hanya sekitar magrib ia meminta sidang ditunda, untuk salat. Bersama sejumlah orang, termasuk bekas Kapolri Hoegeng, ia bersalat di salah satu ruang. Kemudian ia meneruskan membaca, sampai sidang ditutup oleh Hakim Ketua Soedijono menjelang pukul 20.00. Dalam pembelaannya, Dharsono - pensiunan tentara berumur 60 yang biasa dipanggil Ton - menyebut dirinya, "prajurit tua yang telah menghabiskan hampir seluruh usia untuk merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan Indonesia." Ia menghadapi pengadilan terhadap dirinya, katanya, tanpa tekanan perasaan, karena kedekatan perasaannya dengan negara kesatuan RI. Juga, katanya lagi, karena "keyakinan bahwa saya tidak melakukan hal tercela atau khianat terhadap bangsa dan negara Indonesia, tapi justru sebaliknya, yaitu keyakinan bahwa apa yang telah saya lakukan akan membuahkan kemaslahatan bagi bangsa dan negara." Ton yakin, perkaranya bukan perkara pidana biasa atau pidana subversi, tapi perkara politik yang menyangkut kekuasaan pemerintahan negara dan hak-hak warga negara. Karena itu, pengadilan terhadap dia bukan pengadilan biasa, melainkan pengadilan politik. "Sejarah telah mencatat bahwa dalam pengadilan seperti ini tidak pernah sekalipun terdakwa menang atau bebas. Sebaliknya, sejarah justru mencatat pengadilan seperti ini sebagai forum penyingkiran lawan-lawan politik," ucapnya. Letjen (pur.) Dharsono membagi pembelaannya dalam empat bagian. Diselingi beberapa kali minum, Ton mengulas perjalanan Orde Baru. Ia menyorot apa yang dianggapnya penyelewengan, mlsalnya, terjadiya pemusatan kekuatan politik di tangan segelintir orang, yang "didukung kekuatan modal kuat" yang berperanan besar dalam "melestarikan kekuasaan". Pola ini dinilainya makin menyulitkan proses kontrol. Ia juga mengecam pemilu yang hanya menghasilkan 39 persen wakil rakyat yang benar-benar dipilih rakyat. Dan, dengan sebuah permainan kata, ia menyorot sikap pemerintah dalam pemilu, yang ingin memenangkan Golkar, sebagai usaha "Memasyarakatkan pemilu dan memilukan masyarakat." "Memilukan", tentu saja, berarti membikin pilu. Dharsono, letnan jenderal pensiunan itu, juga mengecam dwifungsi ABRI, yang dinilainya cuma bisa dibenarkan dalam masa darurat. Dwifungsi ABRI dalam bentuknya saat ini, dianggap Ton, "jelas-jelas telah menyimpang dari UUD 1945". Ia pun menangkis tuduhan Jaksa yang menganggapnya "merupakan ancaman terhadap hilangnya kewibawaan pemerintah Orde Baru dan dapat memberikan pandangan keliru mengenai Pancasila sebagai pandangan hidup," dengan keras. "Dalam hal Pancasila, jaksa penuntut umum sepertinya menguliahi sidang. Apakah dia merasa paling mampu menafsirkan Pancasila? Saya, perwira TNI AD yang hampir seluruh hayatnya diabdikan kepada Republik dan bangsa Indonesia ini, lalu dianggapnya apa?" Tentang tuduhan "merongrong kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah yang sah atau aparatur negara", Ton mempertahankan diri dengan sejumlah kesaksian. Semua saksi yang diajukan, katanya, tidak mengiyakan bahwa ia menghasut mereka. Malah hadirin yang sedang marah dalam pertemuan di rumah Fatwa 18 September merasa dibujuk untuk tenang oleh Ton. Sementara itu, ia juga mengingatkan, "Lembaran Putih" dan "Petisi 50" belum pernah dilarang. Hingga ia menolak keinginan jaksa untuk menggunakan itu sebagai bukti niat jahat untuk merongrong pemerintah. Secara terinci, Ton menguraikan Peristiwa Tanjung Priok menurut versinya. Ia menyimpulkan: "Rupa-rupanya, peristiwa Tanjung Priok oleh penguasa dijadikan sarana untuk melakukan suatu proyek: pembungkaman usaha umat Islam dan disiden-disiden antikomunis lainnya secara tuntas, suatu shock treatment untuk mencegah terulangnya kembali peristiwa semacam itu." Dharsono menutup pleidoinya dengan mengutip sebuah seloka Sunda Lenyepaneun Ka Nu Sasar, yang ditutup dengan kata "Esa Hilang Dua Terbilang - dan terisak menangis ketika mengucapkan semboyan pasukan Siliwangi itu. Selesai membaca pleidoi, Dharsono kemudian membagikan buku itu kepada majelis hakim, jaksa, dan pembela. Pada TEMPO, Ton mengungkapkan, ia mulai menyusun pembelaannya sejak ia mulai ditahan. Tapi penyelesaiannya dikebut seminggu sebelum dibacakan. Untuk itu pihak kejaksaan menyediakan sebuah rumah di Kebayoran Baru bagi bekas Sekjen ASEAN itu. Di rumah yang ber-AC ini, Ton - yang ditemani istri dan anak-anaknya - menyelesaikan pleidoinya dengan menggunakan tiga komputer pribadi yang dipinjam dari beberapa kenalan. Namun, semalam sebelum membacakan pleidoinya, Dharsono meminta kepada jaksa untuk dipindahkan kembali ke Rutan Salemba, "untuk memberi tahu teman-teman di sana, tentang semua yang terjadi." Sabtu pekan lalu, para pembela, Adnan Buyung Nasution, Harjono Tjitrosoebono, Amartiwi M. Saleh, T. Mulya Lubis, dan Luhut M.P. Pangaribuan, mengajukan pembelaan mereka. Pembelaan "bagi seorang pejuang prajurit" setebal 217 halaman itu berjudul "Negara Hukum atau Negara Kekuasaan". Tim pembela, pada awal pembelaannya, menolak tuduhan jaksa bahwa ucapan dan rangkaian perbuatan terdakwa adalah ancaman terhadap hilangnya kewibawaan pemerintah, memberikan pandangan yang keliru tentang Pancasila, dan merusakkan kemantapan stabilitas dan ketahanan nasional. Tuduhan ini dianggap sangat sempit, "tidak berdasar dan kontradiktif: menggambarkan arogansi, sekaligus Juga rasa ketakutan yang berlebihan. Kata pembela, "Jika pemerintah yang berkuasa sekarang ini merasa dirinya yang paling benar, dan karena itu merasa memonopoli dirinya yang paling benar, mengapa pemerintah begitu risau dan perlu khawatir terhadap gagasan, rangkaian ucapan, dan perbuatan terdakwa, sehingga dianggap dapat memberikan pandangan yang keliru terhadap Pancasila, bahkan khawatir akan menjadi ancaman terhadap kehilangan kewibawaan pemerintah?" Menurut pembela, jika pemerintah merasa benar dan kuat, tidak ada alasan untuk khawatir akan ucapan dan perbuatan terdakwa. Dengan terinci, tim pembela menguraikan riwayat perjuangan terdakwa Dharsono, terutama dalam ikut melahirkan Orde Baru. "Dia bukan jenderal korup, jenderal pengusaha kakap yang punya rumah, punya harta, punya deposito di mana-mana. Dia juga bukan penjilat atau orang yang mau cari selamat asal bisa jadi menteri atau pejabat. Tetapi dia, terdakwa, telah memilih kesetiaan kepada cita-cita perjuangan di atas segala-galanya sekalipun Jalan itu tidak enak dan penuh risiko," kata pembela. Lalu ditanyakan: "Pantaskah orang seperti terdakwa dihukum, karena memilih prinsip membela rakyat yang tertindas, karena bicara atas nama bangsanya?" Dan sidang pun diteruskan Rabu pekan ini, untuk mendengarkan vonis hakim. Susanto Pudjomartono Laporan Agus Basri & A. Luqman (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus