Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pengelola: Hutan Bowosie di Labuan Bajo Dirusak Perambah

Pemerintah mengklaim bahwa puluhan hektare lahan Hutan Bowosie yang akan dijadikan kawasan wisata di Labuan Bajo dirusak perambah. Warga setempat kembali mendemo proyek itu kemarin.

26 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hutan Bowosie di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. ANTARA/HO-BPOLBF

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah mengklaim bahwa puluhan hektare hutan Bowosie yang akan dijadikan kawasan wisata dirusak perambah.

  • Warga diberi hak kelola 38 hektare lahan hutan, sisanya menjadi milik Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo.

  • Warga setempat kembali mendemo proyek pengembangan kawasan wisata itu kemarin.

MANGGARAI BARAT, NTT Pemerintah mengklaim pencanangan kawasan wisata di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, berada di jalur yang tepat. Penolakan warga atas pembukaan jalan proyek pengembangan kawasan wisata dinilai tidak sesuai karena lahan yang diklaim adalah lahan yang dirambah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesatuan Pengelola Hutan Wilayah Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Stefanus Nali, mengatakan lahan yang dipermasalahkan masuk kawasan Hutan Nggorang-Bowosie. Dalam catatannya, ada sekitar 75 orang melakukan perambahan hutan dengan berkebun dan bercocok tanam di sana sejak 1998. “Masing-masing dari mereka mendapat ukuran 11 x 50 meter,” kata Stefanus kepada Tempo, kemarin, 25 April.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, pada 2015, sekelompok orang masuk dan merambah hutan untuk dijadikan lahan garapan. Pada saat itu juga pengelola hutan menggelar operasi dan menemukan patok-patok yang terpancang secara ilegal. “Lalu kami laporkan ke polisi,” kata Stefanus.

Beberapa tahun kemudian, terdapat aktivitas kembali di lahan yang sama. Pengelola hutan menyisir kawasan tapi tidak menemukan pelaku. “Kami kembali melakukan operasi. Walhasil, kami temukan sepuluh orang perambah hutan dan sudah dilaporkan ke Kepolisian Manggarai Barat,” ujar Stefanus.

Hutan Bowosie di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Dok. BPOLBF

Sekitar 400 hektare lahan Hutan Bowosie dijadikan bagian dari pengembangan kawasan wisata Labuan Bajo. Pengelolaannya oleh Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo-Flores yang dibentuk pada 2018. Sebagian area Hutan Bowosie yang beralih status dari hutan menjadi kawasan bukan hutan itu terbentang dari batas kota Labuan Bajo yang berada di sisi barat hingga ke hutan lindung Mbeliling di sisi timur.

Pengembangan wisata di atas lahan hutan ini mendapat kritik dan penolakan dari aktivis dan lembaga lingkungan. Sebab, Hutan Bowosie, termasuk yang bakal dialihkan fungsinya, merupakan wilayah tutupan kota dan area tangkapan air untuk sebelas mata air di Labuan Bajo.

Selain dampak lingkungan, aktivis menyoroti ancaman konflik dengan warga lokal. Setidaknya ada tiga kelompok masyarakat yang terancam kehilangan pekerjaannya karena alih fungsi lahan hutan. Mereka adalah ratusan warga dari Rancang Buka, warga Kampung Kancang, dan warga Kampung Nggorang. Tinggal di sana sejak 1990-an, mereka memperoleh penghidupan dari hutan dengan berkebun dan membuka lahan.

Pada 2018, mereka mendapat pengakuan dari pemerintah lewat Surat Keputusan Tata Batas Hutan Manggarai Barat. Dari 150 hektare lahan yang diklaim sebagai kebun, hanya 38 hektare yang diakui. Sisanya menjadi hak pengelolaan yang belakangan diserahkan kepada Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo-Flores.

Stefanus mengatakan penyerahan 38 hektare itu sudah sesuai dengan peruntukan. Dengan demikian, sisanya, yang masih dihuni dan digarap warga, menjadi ilegal.

Pengelolaan Hutan Nggorang-Bowosie, kata dia, berlangsung sejak zaman Belanda pada 1938. Dalam perkembangannya, kawasan hutan tersebut baru mulai ditata pemerintah pada 1993 hingga 1997 dengan total luas 24.627 hektare. Wilayah penyebaran hutan mulai dari Desa Compang, Kecamatan Pacar, Macang Pacar, Komodo, hingga Mbeliling.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dwi Kartika, mengatakan pemerintah tetap harus menyelesaikan konflik lahan tersebut sebelum melanjutkan proyek pengembangan wisata Labuan Bajo. Ancaman hilangnya mata pencarian warga menjadi alasan yang cukup kuat bagi pemerintahan untuk meninjau ulang proyek komersial ini. “Penolakan yang dilakukan warga merupakan respons terhadap pembangunan yang dilakukan secara sepihak,” kata dia.

Seorang warga Rancang Buka ditangkap polisi karena mengadang ekskavator yang akan membuka jalan melewati perkebunannya, pekan lalu. Pembukaan jalan itu menjadi tanda resmi dimulainya proyek pengembangan kawasan wisata Labuan Bajo. Kemarin, menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Timur, seorang warga kembali ditangkap karena mengadang gerak ekskavator di titik yang sama. Ratusan orang juga berunjuk rasa menentang proyek tersebut. “Ada ancaman kerusakan hutan dan kehilangan mata pencarian warga setempat jika proyek ini dilanjutkan,” kata Deputi Walhi NTT, Yuvensius Stefanus Nong.

INDRI MAULIDAR | AKHYAR M. NUR (MANGGARAI BARAT)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus