PERJALANAN hidupnya sungguh tragis. Pada usia 17 tahun, Nizah Rizak menderita kebutaan karena retina matanya rusak. Upaya untuk menyembuhkan matanya gagal sesudah operasi di Kairo tidak berhasil. Lalu ia operasi mata lagi di London, dengan hasil minim: Rizak hanya bisa melihat cahaya. Kemudian seorang temannya menghadiahkan kamera kepadanya. "Wah, saya pikir ini menghina. Masa, orang buta diberi kamera," ujarnya mengenang. Namun, setelah dipikir-pikir ia bertekad untuk memanfaatkan kamera itu, dan belajar sendiri secara intensif selama empat tahun. Indera penciuman digunakannya untuk mengenali obyek pemotretan. Pemandangan alam dan bunga-bungaan dapat dikenali melalui aroma bunga, bau tanah, atau daun-daunan. Kupingnya pun digunakan untuk mengukur jarak pemotretan. Suara binatang yang lari atau gemerisik dedaunan, misalnya. "Memang, itu membutuhkan konsentrasi penuh dan daya ingat yang kuat," kata Rizak menjelaskan. Pencahayaan suatu obyek dikenali dengan merasakan hangatnya sinar matahari pada lengan dan tubuhnya. Hasil pemotretan pemuda lulusan ilmu sosial ini kebanyakan bercerita tentang pemandangan dan "cinta". Untuk mengekspresikan akhir sebuah kisah cinta, dia memotret kuburan bernisan yang dinaungi sebatang pohon sebagai simbol kesunyian dan kesedihan. "Fotografi hanya untuk ekspresi artistik saja. Bukan untuk karier saya," ujar Nizah Rizak, yang bertekad sekali waktu kelak mengikuti pameran foto dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini