Penayangan Itu Salah Alamat Kejaksaan Agung dituding salah menayangkan alamat buron. Ternyata, belum ada ketentuan hak jawab untuk berita TV. SELAIN menimbulkan pertentangan pendapat, jurus baru Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono -- berupa penayangan koruptor dan buron di layar gelas -- juga mencipratkan "getah" pada orang yang tak bersalah. Pekan-pekan lalu, M. Yusin, seorang warga di Surabaya, memprotes penayangan wajah Hermana Hamzah, buron kasus korupsi, yang disiarkan TVRI pada 22 Januari lalu. Pasalnya, alamat sang buron itu disebutkan di Jalan Prapen Indah F/40, Surabaya, yang nota bene adalah kediaman Yusin. Padahal, tutur Yusin, rumah dan alamat tersebut, terlebih Yusin sendiri, sama sekali tak punya hubungan dengan terpidana Hermana. Rumah itu, yang semula atas nama Nyonya Ning Sumarni, dibelinya dari Notaris St. Sindhunata pada 4 November 1986. Sebab itu, Yusin mengutarakan keberatannya melalui surat pembaca di harian Jawa Pos edisi 31 Januari 1990, dan koran Merdeka, 1 Februari 1990. Akankah Yusin menyelesaikan masalah itu lewat jalur hukum? Ini belum pasti. Yang jelas, persis seperti halnya pelontaran gagasan penayangan itu, November silam, maka penyiaran alamat rumah Yusin juga menerbitkan berbagai reaksi. Mungkin sekali lantaran sanksi hukum yang berbentuk penayangan itu -- yang sudah menimpa 23 orang buron sejak 11 Desember 1989 -- merupakan preseden baru dalam dunia pers, khususnya pemberitaan TV. Ketua Dewan Kehormatan PWI Dja'far Assegaf menyatakan, bagaimanapun, pihak TVRI harus secepatnya merektifikasi soal alamat itu. Sebab "TVRI sudah bertindak sebagai jurnalis. Seperti juga media cetak, seharusnyalah melakukan cek dan ricek," kata Pemimpin Redaksi Majalah Warta Ekonomi itu, yang menyarankan agar Yusin segera mengirim surat bantahan ke TVRI. Di satu sisi, protes Yusin harus ditanggapi, tapi di sisi lain, agaknya, meralat berita TV menjadi persoalan tersendiri. Sebagaimana diakui Assegaf -- dia termasuk tak setuju pada penayangan koruptor lewat TV -- hingga kini belum ada ketentuan hak jawab untuk kategori berita TV. Memang, pada pertengahan tahun lalu pernah ada semacam sarasehan untuk mengupayakan lahirnya kode etik media elektronik. Tapi, sampai kini belum membuahkan hasil. Assegaf menyarankan, sebaiknya TVRI mengacu pada kode etik jurnalistik PWI dan menempuh tata cara ralat seperti yang ditempuh media cetak. Dia berpendapat, Kejaksaan Agung hanya ikut bertanggung jawab secara moral dalam kasus itu. Dan Assegaf mengajukan satu alternatif lain yakni TVRI mengacu pada RRI, sewaktu meralat berita wafatnya Sultan Hamengku Buwono IX, beberapa tahun lalu. Lain lagi pendapat Prof. Oemar Seno Adji, pakar hukum pidana dan hukum pers, yang pernah menjadi Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung. Ia beranggapan, kejaksaanlah yang harus meralat berita itu. Dan ralat itu bisa disiarkan lewat media cetak ataupun TVRI. Kalau tidak, "Pihak yang merasa dirugikan bisa menuntut kejaksaan," ujar Oemar. Hal senada juga diutarakan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Abdul Hakim Garuda Nusantara. Sebab, jelas, kesalahan alamat itu merugikan Yusin. Ia bukan hanya menjadi resah, karena rumahnya bakal disatroni terus oleh petugas. Juga, "Kalau misalnya rumah itu mau dijual, kan bisa nggak laku," kata Abdul Hakim, yang berharap agar Sukarton minta maaf kepada Yusin. Toh Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono merasa tak perlu meminta maaf apalagi meralat beritanya. "Itu bukan kesalahan kami," kata Sukarton, di sela-sela Rapat Kerja Kejaksaan Kawasan Tengah di Surabaya, Senin pekan ini. Katanya, alamat itu berdasarkan keterangan beberapa saksi dan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kejaksaan terhadap Hermana. "Kalau memang bukan itu alamatnya, kan tinggal memberitahu kejaksaan. Jangan lantas main tuntut," sambungnya. Sementara Hermana sendiri, katanya, bisa kena tuduhan baru: Memberikan keterangan palsu ke dalam BAP. Happy S., Muchsin L. (Jakarta), dan Wahyu M. (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini