Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi memberlakukan kebijakan tarif impor baru, yang dikenal pula tarif Trump. Kebijakan ini didasarkan pada klaim bahwa negara-negara dengan surplus perdagangan terhadap AS harus “membayar lebih”. Tujuannya guna menekan defisit perdagangan yang dianggap merugikan perekonomian domestik AS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Disadur dari tulisan ilmiah dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani bertajuk Tarif “Impor Trump: Benturan Kepentingan dan Ancaman bagi Ekonomi Indonesia”, strategi tarif resiprokal AS ini dilihat sebagai upaya untuk menciptakan kesetaraan dalam perdagangan dan mendesak negara mitra untuk mengurangi ketidakseimbangan perdagangan AS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Ini mengarah pada penerapan tarif yang lebih tinggi terhadap negara-negara yang dianggap merugikan perdagangan AS, dengan tujuan untuk menekan defisit perdagangan yang dianggap merugikan perekonomian domestik AS,” tulis Listya dalam dokumen yang diterima Tempo, Ahad, 6 April 2025.
Namun, menurut Listya, klaim ini mendapatkan kritik tajam, terutama dari kalangan pengamat ekonomi yang berpendapat kebijakan tersebut lebih cenderung pada proteksionisme daripada menciptakan keadilan perdagangan. Sebaliknya, kebijakan ini justru dinilai berisiko memperburuk ketegangan global dan menghambat mekanisme perdagangan yang lebih adil dan terbuka.
Sebelumnya, melalui Perintah Eksekutif yang diumumkan pada “Hari Pembebasan” di Rose Garden, Gedung Putih, Trump menetapkan tarif impor dasar sebesar 10 persen untuk hampir semua negara mitra dagang AS, dengan tarif lebih tinggi dikenakan kepada sekitar 60 negara yang dinilai memiliki hubungan dagang “paling tidak adil” dengan AS.
Dokumen yang dibagikan kepada wartawan menunjukkan beberapa tarif resiprokal yang ditetapkan, termasuk tarif 34 persen untuk barang dari Cina, 20 persen untuk Uni Eropa, 46 persen untuk Vietnam, dan 44 persen untuk Sri Lanka. Sementara Indonesia, yang surplus berkat perdagangan nonmigas dengan AS sebesar 16,08 miliar dolar AS pada 2024, tarif timbal balik ditetapkan sebesar 32 persen.
Listya memandang polemik ekonomi global ini dari sudut keilmuan. Dia mengatakan, dalam menganalisis kebijakan tarif ini, beberapa teori ekonomi memberikan perspektif yang menarik. Teori Tarif Optimal yang dikemukakan oleh Bhagwati dan Krugman misalnya, mengemukakan dalam situasi tertentu penggunaan tarif dapat membantu meningkatkan kesejahteraan negara pengenaan tarif.
“Terutama jika tarif tersebut bertujuan untuk melindungi sektor ekonomi yang rentan,” kata dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII ini.
Namun, Listya berpendapat meskipun tarif dapat memberi manfaat domestik, dampaknya terhadap mitra dagang cenderung merugikan, yang berisiko menambah ketegangan dalam hubungan internasional. Kebijakan tarif Trump, yang mengutamakan keuntungan domestik AS, dapat merusak stabilitas perdagangan global dan meningkatkan biaya bagi konsumen serta produsen negara mitra.
Menurut dia, pendekatan Teori Public Choice juga memberikan gambaran ihwal adanya kepentingan politik yang mendasari kebijakan ini. Dalam banyak kasus, kebijakan perdagangan lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik domestik alih-alih prinsip perdagangan bebas. Menjelang Pemilu AS, misalnya, kebijakan ini dapat dipandang sebagai langkah memenangkan dukungan pemilih dari sektor manufaktur yang merasa terancam persaingan luar negeri.
“Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan sering kali digunakan sebagai alat untuk meraih keuntungan politik domestik, meskipun dampaknya dapat merugikan hubungan internasional dan stabilitas ekonomi global,” ujar pengajar di jurusan Ilmu Ekonomi UII ini.
Lebih jauh, Listya menilai kebijakan tarif yang diberlakukan oleh AS juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang menekankan pentingnya perdagangan bebas dan penghapusan hambatan perdagangan. Proteksionisme oleh AS bertentangan dengan semangat globalisasi perdagangan yang menjadi landasan bagi sistem perdagangan internasional.
“Saat WTO mengupayakan penyelesaian sengketa perdagangan melalui negosiasi dan kebijakan non-diskriminasi, kebijakan tarif AS justru memperparah ketidakadilan dalam perdagangan internasional, yang dapat merusak sistem perdagangan multilateral yang telah dibangun selama beberapa dekade,” ujar Listya, menambahkan.
Namun, dibalik kebijakan tarif ini, kata Listya, terdapat dimensi politik yang tak dapat diabaikan. Kebijakan tarif yang diambil oleh Trump dapat dilihat bukan hanya sebagai langkah ekonomi, tetapi juga sebagai bagian dari strategi politik dalam menghadapi Pemilu AS. Keputusan ini mungkin bertujuan untuk memperlihatkan kepada pemilih bahwa pemerintah AS memperjuangkan kepentingan domestik mereka, terutama bagi mereka yang merasa terdampak oleh globalisasi.
"Dengan demikian, kebijakan ini dapat dilihat sebagai bagian dari strategi untuk memenangkan suara pemilih di sektor-sektor yang merasa paling tertekan oleh persaingan internasional," kata Listya.
Sita Planasari, Ida Rosdalina, dan Myesha Fatina Rachman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.