Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pengabdian Dihargai Honor

Guru honorer DKI Jakarta mempertanyakan nasibnya. Diperhatikan, tapi tak jelas pemecahannya.

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


MENJADI guru adalah sebuah cita-cita. Namun, menjadi guru honorer sepanjang masa bukanlah tujuan mereka yang memilih menjadi pendidik itu. Merasa masa penantian mereka tak kunjung jelas, awal pekan lalu mereka yang bergabung dalam Forum Guru Honorer Indonesia (FGHI) melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Pemerintah Daerah DKI Jakarta.

Dalam tuntutannya, FGHI menginginkan kepastian hukum bagi guru honorer. Artinya, sekolah tidak sewenang-wenang dapat memberhentikan mereka. Juga realisasi pengangkatan guru-guru menjadi pegawai negeri sipil, serta upah minimum yang harus diterima guru. "Sebenarnya ini akumulasi dari berbagai keluhan teman-teman selama ini," kata Supriyono, Ketua FGHI. Sebegitu nestapakah mereka? Mungkin cerita tentang Eni Mintarsih Hidayati dan Sundus bisa mewakili mereka.

Eni Mintarsih Hidayati kini guru ekonomi di SMU Negeri 33, Cengkareng, Jakarta Barat. Ia memulai profesi sebagai pengajar sejak 1986, ketika ia masih di bangku kuliah. Berbagai sekolah sudah ia masuki sebagai tenaga pengajar honorer. "Saya senang mengajar karena hobi dan ingin membagi ilmu pada anak-anak," kata Eni.

Pilihan mengajar memang hobi bagi Eni. Tapi ia juga memimpikan sebuah kehidupan yang sejahtera dari kesenangannya itu. Karenanya, alumni Fakultas Pendidikan Kejuruan Jurusan Tata Niaga Universitas Syeh Yusuf, Tangerang, ini selalu menyempatkan diri mengikuti tes menjadi pegawai negeri sipil sejak 1986 dan tahun-tahun berikutnya. Apa mau dikata, ia selalu gagal, bahkan hingga kali kesembilan. Jadilah perempuan kelahiran Tegal, 40 tahun lalu, ini harus tetap dengan predikat guru honorernya.

"Saya tidak tahu kenapa tidak lulus," ujar Eni. Padahal, menurut Eni, soalnya dari tahun ke tahun sama dan Eni sudah belajar untuk memperbaikinya. Ia yakin sudah menjawab dengan benar.

Sebenarnya Eni pernah mencoba bekerja di bagian pembukuan sebuah perusahaan tekstil. Tapi karena waktu kerja yang sangat ketat dan tidak bebas, perempuan ini tidak betah. Sekali lagi ia harus menghadapi kenyataan pahitnya menjadi guru honorer.

Pendapatannya sebagai guru honorer lebih rendah dari upah minimum Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 426.250 per bulan. "Honor yang saya dapat habis buat transpor saja, tidak cukup untuk beli susu," ujar ibu dari seorang bayi berusia tujuh bulan ini.

Rata-rata dalam sebulannya Eni mendapat honor total Rp 150 ribu, dengan perhitungan per jam mengajar dihargai Rp 4.500, uang transpor setiap kali datang Rp 5.000, plus tambahan dana dari sekolah Rp 30 ribu. Saat ini Eni hanya mengajar sembilan jam dalam sebulannya karena sedang menimang bayi.

Padahal biaya hidup keluarganya kurang-lebih Rp 1 juta sebulannya. Untunglah, suami Eni, yang bekerja sebagai pegawai negeri di sebuah kelurahan di Cengkareng, bisa menutupi kekurangan biaya hidup tersebut. Selain itu, keluarganya bisa menempati rumah dinas atasan suaminya yang tak dipakai di Cengkareng.

Sundus Ely, guru honorer SMU Kebonjeruk I dan SMU 87 Ulujami, tidak jauh beda nasibnya dengan Eni. Guru bahasa Indonesia ini juga gagal menjadi pegawai negeri sipil. "Ada sih yang menawari akan membantu penerimaan, asal saya mau membayar," kata Sundus Ely. Tapi wanita kelahiran Jakarta, tahun 1956, ini menampiknya. Selain memang tidak punya uang, juga karena masih banyaknya pengeluaran untuk sekolah adik-adiknya.

Untuk mengirit ongkos, jika mengajar di SMU 87 Ulujami, perempuan lulusan IKIP Jakarta ini tinggal di rumah peninggalan orang tuanya di daerah Sukabumi Utara, Jakarta Barat. Sedangkan bila sedang mengajar di SMU Kebonjeruk, Sundus Ely tinggal di rumah kakak laki-lakinya di perumahan Hankam, Slipi.

Honor total hasil mengajar Ely di dua sekolah itu sebulannya kurang-lebih Rp 433 ribu. "Asal bisa makan, sudah syukur," ujar Sundus Ely. Selain untuk membantu sekolah adik-adiknya, uang dari honor itu sudah dialokasikan sebesar Rp 250 ribu untuk transpor dan makan. "Jika dihitung lagi, paling-paling menjelang akhir bulan saya hanya pegang uang sepuluhan ribu," ujarnya.

Nasib Eni dan Ely serta rekan sepenanggungan yang disuarakan lewat demonstrasi pekan lalu itu mendapat perhatian Pemerintah DKI Jakarta. Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Nasional DKI Jakarta mengatakan, pihaknya sedang membahas kemungkinan peningkatan kesejahteraan guru. "Sebagai faktor penting dalam proses belajar-mengajar, guru harus diperhatikan nasibnya," kata Alwi Nurdin, Kepala Kantor Wilayah Diknas. Namun, ia juga menambahkan bahwa masalah guru honorer ini akibat keterbatasan dana pemerintah. Jadi, perubahan apa yang akan dilakukan? Belum ada jawaban yang pasti.

Ardi Bramantyo, Rommy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus