Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG Sidang Paripurna DPR Senin pekan ini, secara mendadak Fraksi TNI/Polri mengganti sembilan anggotanya di DPR. Apakah pergantian itu ada kaitannya dengan akan keluarnya Memorandum II? Pihak Mabes TNI sendiri membantah hal itu. Namun, opini yang berkembang menyebutkan, pergantian itu pastilah memiliki muatan politis yang berkaitan dengan Memorandum II.
Kalau ini benar, sikap apa yang akan diambil Fraksi TNI/Polri dalam Sidang Pleno DPR itu? Apakah mereka akan berdiri serempak untuk menyetujui Memorandum II, ataukah menolaknya, atau duduk-duduk saja alias abstain? Ketika ulasan ini dibuat, secara resmi belum ada sikap dari fraksi yang tidak ikut pemilu itu apakah akan memihak atau abstain dalam melahirkan Memorandum II. Sepanjang yang bisa diprediksi, tampaknya TNI/Polri ingin bersikap netral kali ini. Jika itu benar, inilah sikap yang tepat. Untuk masa-masa genting seperti sekarang, kita membutuhkan TNI/Polri yang netral, dan itu harus pula ditunjukkan oleh "perwakilannya" di lembaga legislatif.
Ada beberapa alasan kenapa Fraksi TNI/Polri di DPR saat ini sebaiknya netral saja. Pertama, TNI dan Polri adalah milik seluruh rakyat, penegak keamanan, tempat masyarakat berlindung dari rasa cemas dan waswas jika menyangkut masalah keamanan. Dengan bersikap netral, TNI dan Polri bisa mengambil tindakan yang keras terhadap pemicu rasa tak aman, pembuat onar dan anarkis, tanpa memandang apakah yang dihadapi itu kelompok yang pro atau kontra Presiden Abdurrahman. Jika TNI dan Polri tidak netral, institusi ini akan mudah menerima tuduhan bahwa mereka pilih kasih dan hanya "menyikat" lawan-lawan politiknya dari kubu tertentu.
Alasan kedua, TNI dan Polri tidak ikut pemilu sehingga kekuatan riilnya di tengah masyarakat tidak ada atau semu. Memang, sering kali dikatakan oleh pimpinan TNI/Polri bahwa meski tidak ikut pemilu, kehadiran mereka di DPR juga menyerap aspirasi rakyat. Tetapi bagaimana menggambarkan aspirasi itu, di wilayah mana aspirasi itu diserap, pada akar rumput mana aspirasi itu dipungut?
Alasan ketiga, menjadi ambivalen jika Fraksi TNI/Polri memihak dalam membuat keputusan yang menyangkut "peringatan keras kepada presiden" seperti memorandum ini. Kenapa? Di Indonesia, presiden itu memegang jabatan panglima tertinggi, dan ini formal. Tentu aneh kalau panglima tertinggi diperingatkan oleh prajuritnya secara formal pula.
Lalu, alasan terakhir adalah peta kekuatan fraksi di DPR itu sudah sangat jelas. Dengan 37 anggotanya, Fraksi TNI/Polri tak akan bisa berbuat apa-apa, alias suaranya sama sekali tidak menentukan, kalau fraksi besar seperti PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PAN, dan PBB sudah punya kesepakatan yang sama. Berdasarkan analisis sejumlah orang, Memorandum II pasti akan keluar melalui pemungutan suara, dan 37 suara TNI/Polri tak akan berarti apa-apa.
Langkah ke depan, supaya kekuatan DPR benar-benar riil mencerminkan kekuatan politik rakyat, sebaiknya memang TNI/Polri legawa untuk tidak mendudukkan wakilnya di sana. Menjadi pengayom rasa aman masyarakat justru pengabdian yang mulia, dan untuk itu cukuplah duduk di MPR saja bersama utusan golongan yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo