Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Revisi Apbn dan Rapuhnya Ekonomi Kita

Kurs rupiah terjerumus dalam, perundingan dengan IMF tak membawa hasil, dan revisi anggaran benar-benar mendesak. Maka, waspadalah.

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Perundingan dengan IMF tidak membawa hasil apa-apa, kecuali penegasan mengenai defisit APBN 2001, yang disepakati maksimal 3,7 persen dari produk domestik bruto (PDB). Tim perunding IMF diberitakan meninggalkan Jakarta, Selasa lalu, setelah berpesan agar DPR dan pemerintah bekerja sama menyusun revisi anggaran. Segera setelah kerja sama itu membuahkan hasil, tim perunding IMF akan kembali ke Jakarta untuk mematangkan konsep baru letter of intent (LoI).

Lonjakan defisit APBN 2001—dari Rp 58,3 triliun diperkirakan menjadi lebih dari Rp 80 triliun—memang merisaukan kita semua. Tim perunding IMF, yang semula datang untuk menuntaskan masalah independensi Bank Indonesia, dampak desentralisasi pada penerimaan negara, dan swastanisasi BUMN, ternyata dihadapkan pada isu lain yang lebih mendesak, yakni defisit APBN 2001. Ibarat utusan yang dikirim untuk sebuah tugas khusus, tapi sesampai di lapangan melihat kenyataan yang sama sekali berbeda, tim IMF tampaknya segera melupakan agenda semula.

Perubahan sikap IMF yang tiba-tiba ini, kuat dugaan, disebabkan oleh hal-hal lain di luar agenda, seperti persiapan DPR untuk memorandum kedua, gejala anarki yang sulit dibendung, dan menyusutnya kepercayaan rakyat pada kepemimpinan nasional. Kesemuanya berada di luar jangkauan tim perunding Indonesia dan IMF, tapi pada saat yang sama berpengaruh sangat besar terhadap berbagai masalah, termasuk masalah ekonomi yang berusaha dicarikan jalan keluarnya oleh IMF.

Tentu ada dugaan yang lebih ekstrem, misalnya IMF menggunakan revisi APBN sebagai dalih untuk kembali tidak mencairkan pinjaman. Atau IMF sengaja menunda lagi disbursement pinjamannya, dengan tujuan agar kepercayaan dunia internasional pada Indonesia jatuh ke titik nadir, sehingga akan sangat efektif mengakhiri pemerintahan yang kini berkuasa. Setidaknya, 17 negara kreditor dalam Paris Club akan merujuk ke IMF sebelum memutuskan apakah akan menjadwal ulang utang Indonesia yang US$ 2,9 miliar itu atau tidak. Juga, sikap CGI untuk follow the leader di belakang IMF sama-sama tidak menguntungkan Indonesia. Puncaknya adalah manuver pasar yang menjerumuskan kurs rupiah ke tingkat terendah, yakni Rp 12.000 per dolar AS.

Dalam keadaan separah itu, uluran tangan IMF pun agaknya tidak akan mampu menahan kejatuhan rupiah. Hal ini secara tak langsung diakui oleh Direktur Riset IMF, Michael Mussa, dalam laporannya tentang revisi pertumbuhan ekonomi dunia di Washington, Kamis silam. Penjelasan Mussa tentang terpukulnya negara-negara Asia—karena menurunnya pertumbuhan di AS, Eropa, dan Jepang—memang perlu disimak. Namun, penilaiannya tentang ekonomi Indonesia yang dianggap masih berada dalam status yang sangat rapuh, karena lesunya perekonomian dunia, buruknya sentimen pasar, dan tertekannya rupiah, sangat penting untuk digarisbawahi.

Soal sentimen pasar dan kejatuhan rupiah tak bisa tidak terkait langsung pada performa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Sikap tim ekonomi yang dipimpin Rizal Ramli mungkin saja menyebalkan IMF, namun persepsi pasar tentang performa pemerintah secara keseluruhan itulah yang menjerumuskan rupiah. Maka, jawaban jitu untuk revisi APBN 2001 sebagian besar ada pada penguatan rupiah, yang pada gilirannya terpulang pada sikap Presiden Abdurrahman.

Dalam konteks politik ini, revisi APBN hanyalah bagian kecil dari masalah yang sangat besar. IMF memahami keterbatasannya, dan segera membuat jarak. Yang harus diwaspadai adalah kenyataan bahwa kini saja Indonesia sudah dinilai rapuh, entah bagaimana tiga bulan lagi, ketika Sidang Istimewa MPR benar-benar terselenggara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus