Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Penumpasan G30S: Jejak Sarwo Edhie Wibowo Sang Komandan RPKAD

Sarwo Edhie dan pasukannya bertugas menumpas kelompok G30S dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu dianggap bertanggung jawab terhadap G30S.

4 Oktober 2022 | 17.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo (tengah), di depan mahasiswa yang tergabung dalam KAMI di halaman kampus UI, Jakarta, 10 Januari 1966. Foto: DOk. Perpusnas RI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -Sarwo Edhie Wibowo adalah Panglima RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) atau sekarang disebut sebagai Kopassus dengan jejak gemilang dalam mengakhiri G30S.

Sarwo Edhie Wibowo menjadi salah satu tokoh yang menonjol dalam peristiwa Gerakan 30 September atau G30S . Ia dan pasukannya bertugas menumpas kelompok G30S dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu dianggap bertanggung jawab terhadap G30S.

Mengutip Majalah Tempo Edisi Khusus, Sarwo Edhie Wibowo dan Misteri 1965, Sarwo Edhie diangkat menjadi Wakil Komandan Resimen Taruna Akademi Militer Naional (AMN) sekitar tahun 1958-1959. Resimen Taruna AMN merupakan sekolah militer yang memberikan pelatihan keras kepada para anggotanya.

Sekolah ini berada di Bogor. Pada 1959, Ahmad Yani merekomendasikan Sarwo Edhie menjadi Komandan Sekolah Para Komando Angkatan Darat atau SPKAD. Hal ini mengharuskan Sarwo Edhie bersama keluarganya pindah ke Cimahi karena SPKAD berada di daerah Batujajar. Sarwo Edhie pun dilantik menggantikan Kapten Wijogo Atmodarminto.

Karier militer Sarwo Edhie semakin menanjak ketika Ahmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat mengangkatnya menjadi Kepala Staf RPKAD. Kemudian pada awal 1963 Sarwo Edhie menempuh pendidikan staf di The Australian Army’s Staf College di Australia, selama 18 bulan.

Setelah kembali ke Indonesia, Sarwo Edhie pada Februari 1966 oleh Letnan Jenderal Ahmad Yani resmi ditetapkan menjadi Komandan RPKAD. Dia menggantikan Kolonel Moeng Parhadimoeljo hingga 1967.

Kemudian pada 1967 hingga 1968 Sarwo Edhie Wibowo menjabat sebagai Pangdam II/Bukit Barisan. Dia juga pernah menjabat sebagai Pangdam XVII/Tjenderawasih pada 1968 hingga 1970. Kemudian pada 1970 hingga 1974, mertua ini menjadi Gubernur AKABRI.

Peran Sarwo Edhi Wibowo dalam Penumpasan G30S

Sarwo Edhi Wibowo melatih masyarakat sipil yang anti-PKI sebagai ujung tombak operasi penumpasan.

Menurut laporan Sarwo Edhie sendiri yang dikatakannya pada 1989 di depan DPR, operasi penumpasan G30S dan PKI oleh militer memakan hingga 3 juta korban jiwa. Mereka disebutkan berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.

Saat itu, Sarwo Edhie Wibowo menjadi orang kepercayaan Soeharto untuk menumpas G30S dengan beberapa alasan. Salah satunya, karena Jenderal Ahmad Yani yang terbunuh dalam G30S, berasal dari daerah yang sama dengan Sarwo Edhie, yakni Purworejo, Jawa Tengah.

Ahmad Yani juga merupakan teman dekatnya. Selain itu, Sarwo Edhi adalah salah satu orang yang sangat dilindungi dan disenangi Jenderal Yani. Ketika Yani menjadi salah satu korban peristiwa itu, Sarwo Edho menjadi orang terdepan yang marah atas meninggalnya Yani.

Peristiwa kudeta 30 September 1965 itu menjadi alasan Sarwo Edhie menerima tugas memimpin penumpasan G30S. 

Sebelum peristiwa besar itu terjadi, Sarwo Edhi Wibowo sempat didatangi oleh Brigjen Sabur yang saat itu menjadi Komandan Resimen Tjakrabirawa atau pasukan pengamanan Presiden Soekarno yang bertanggung jawab atas G30S.

Sarwo Edhie diajak untuk bergabung dalam kubu G30S. Akan tetapi ia menolaknya, namun sesaat setelah peristiwa terbunuhnya 6 jenderal diketahui, Sarwo Edhi Wibowo diperintahkan oleh Soeharto untuk merebut beberapa tempat strategis yang dikuasai kelompok G30S saat itu.

Salah satunya Sarwo Edhie diperintahkan untuk merebut Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat dari tangan pelaku G30S.

Setelah tugasnya menangkap para pelaku G30S, Sarwo Edhie menjadi duet maut bersama Soeharto.

Sebelumnya, pengamanan wilayah Jakarta menjadi misi utama dalam tugas awal Sarwo Edhie sebelum bergerak menguasai Gedung RRI dan Kantor Telkomunikasi dan Pangkalan Udara Halim.

Pada pukul 17:00 sore 1 Oktober 1965 pasukan RPKAD dipimpin Sarwo Edhie diperintahkan untuk memulai misi merebut Gedung RRI dan Kantor Telekomunikasi. Hasilnya, sekitar pukul 19:20, pasukan RPKAD sudah berhasil menguasai Gedung RRI secara penuh. Sementara itu, tak berselang lama Kantor Telekomunikasi juga berhasil dikuasai RPKAD.

Selanjutnya, pukul 01:00 tanggal 2 Oktober dini hari, Mayjen Soeharto memerintahkan Sarwo Edhie untuk memulai misi menguasai Pangkalan Udara Halim.

Meski awalnya terjadi pertempuran kecil, namun pada pukul 06:10 Pangkalan Udara Halim berhasil dikuasai oleh Pasukan RPKAD.

Pada 18 Oktober 1965, Sarwo Edhie bersama RPKAD berangkat ke Semarang atas perintah Soeharto yang sebelumnya telah mendengar kabar tentang kondisi di Semarang.

Begitu sampai di Semarang Sarwo Edhie langsung merencanakan pengejaran terhadap terduga kelompok G30S. Hasilnya pada hari itu juga berhasil menangkap 1.050 setelah patroli seharian.

Pada 22 Oktober 1965 Sarwo Edhie Wibowo bersama RPKAD sampai di Surakarta. Operasi RPKAD di Surakarta berhasil membuat kelompok Gerakan 30 September terpecah dan menangkap 40 pemuda dengan senjata tajam yang diduga kelompok simpatisan G30S.

Selain itu, Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD menemui massa yang anti terhadap Gerakan 30 September sekaligus memberikan pelatihan militer. Ini bertujuan untuk membantu militer menumpas G30S.

IDRIS BOUFAKAR
Baca juga : Menapaki Jejak Keterlibatan CIA dalam G30S

Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus