Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Perencanaan program food estate di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, Kalimantan Tengah, yang tergesa-gesa menyeret para pelaksananya ke pusaran masalah, termasuk Komando Resor Militer 102/Panju Panjung. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menilai perluasan lahan pertanian atau ekstensifikasi yang dikerjakan satuan teritorial TNI Angkatan Darat tersebut berpotensi menjadi pemborosan karena dilakukan pada lahan-lahan tanpa infrastruktur pengairan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komandan Resor Militer 102/Panju Panjung, Brigadir Jenderal Yudianto Putrajaya, menuding perubahan fokus area kerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebagai akar permasalahan tersebut. Awalnya, kata Putra—demikian Yudianto Putrajaya—ekstensifikasi dirancang di seluruh blok yang ada di area bekas pengembangan lahan gambut (PLG) bersamaan dengan kegiatan pembangunan infrastruktur pengairan oleh Kementerian PUPR. "Tapi, ketika kami sudah mulai pekerjaan, tiba-tiba (Kementerian) PUPR mengubah lokasi cuma di Blok A. Dia enggak mau blok lain. Kami juga tidak tahu apa alasannya tidak bisa beriringan," ujar Putra kepada Tempo, Rabu, 13 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dipublikasikan pada Juni lalu, Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program food estate di Kementerian Pertanian mencatat perubahan target kerja tersebut. Pada 19 Mei 2021, rapat percepatan program di Kementerian Koordinator Perekonomian menghasilkan "Penajaman Rencana Kerja Food Estate di Provinsi Kalimantan Tengah". Intensifikasi dan ekstensifikasi difokuskan pada Blok A eks PLG. Rapat ini dihadiri Kementerian Pertanian dan Kementerian PUPR, dua kementerian yang punya hajat dalam proyek food estate.
Atas dasar keputusan tersebut, seperti yang tertulis dalam laporan BPK, Kementerian PUPR tak melaksanakan rehabilitasi saluran air pada Blok B, C, dan D eks PLG ataupun di luar eks PLG. Perubahan fokus kerja tersebut menimbulkan masalah. Ekstensifikasi kadung dilakoni Kementerian Pertanian pada lahan seluas 8.075 hektare di Blok B, C, dan D eks PLG serta di luar PLG.
Pelaksana kegiatan itu adalah Korem 102/Panju Panjung, yang digandeng Kementerian Pertanian lewat perjanjian kerja sama swakelola dengan harga satuan kerja Rp 16 juta per hektare. Walhasil, BPK menilai pekerjaan ekstensifikasi di luar Blok A itu berpotensi menjadi pemborosan anggaran senilai Rp 129,2 miliar karena lahan yang dibuka tak bisa langsung dimanfaatkan.
Putra mengatakan, saat itu, timnya bekerja dengan merujuk pada hasil survei, identifikasi, dan desain (SID) yang dilakukan tim Universitas Palangka Raya. Ketika fokus kerja Kementerian PUPR berubah, SID tak turut berubah. Kegiatan ekstensifikasi dikerjakan segera, mengingat waktu pelaksanaan proyek tak banyak. "Kalau kami, ketika ada perintah, langsung kerja. Tidak bisa besok-besok," ujar Putra. "Kalau diubah lagi, waktu tidak akan cukup. SID saja sebenarnya butuh waktu satu tahun untuk membuatnya."
Menurut dia, tak adanya saluran sekunder yang dibangun oleh Kementerian PUPR membuat pekerjaan ekstensifikasi tak sesuai dengan rencana. Lokasi proyek yang menempati area eks PLG kerap terendam air pasang ataupun hujan. Di beberapa wilayah Pulang Pisau maupun Kapuas, kata Putra, kedalaman air mencapai 2-3 meter. "Banyak alat kami yang tenggelam. Kami menuju lokasi cetak sawah juga harus melalui sungai yang dalam, harus pakai klotok," kata Putra. "Kesulitan-kesulitan itu juga yang terkadang menyebabkan harus keluar anggaran berlebih untuk mengatasinya."
Lokasi pengembangan food estate di Desa Belanti Siam, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, 8 Oktober 2020. BPMI Setpres/Kris
Kementerian Pertanian membenarkan soal permasalahan yang dipicu oleh perubahan fokus kerja food estate tersebut. "Tiba-tiba ada perubahan fokus kegiatan pada Mei. Ini menjadi kendala. Kami telanjur bergerak," kata Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Erwin Noorwibowo, Selasa, 12 Juli 2022.
Direktur Irigasi dan Rawa Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR, Suparji, mengatakan fokus kerja berubah karena kurangnya petani di lokasi calon lumbung pangan. Kala itu, Kementerian PUPR bersama Kementerian Pertanian, Kementerian Koordinator Perekonomian, serta Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi meninjau lahan food estate di Kalimantan Tengah. "Dengan petani yang kurang, diputuskan untuk berfokus ke 43 ribu hektare lahan Blok A," kata Suparji, Rabu, 13 Juli 2022.
Keputusan dalam rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian pada 19 Mei 2021, kata Suparji, menjadi acuan untuk melaksanakan kegiatan di lahan food estate. "Supaya tidak mubazir, kami pilah-pilah, cari prioritas," ujarnya.
Suparji mengatakan, dengan mempertimbangkan anggaran yang tersedia saat itu, Kementerian PUPR memang belum bisa melanjutkan pengerjaan infrastruktur air pada lahan di luar Blok A eks PLG. Di sisi lain, kondisi tanah yang berbeda-beda juga menjadi tantangan dalam membangun infrastruktur air. "Ada tanah yang agak cekung di Rawa Lebak. Kalau di daerah lain, seperti Blanti dan Pulang Pisau, (banjir) bisa diatasi secara normal," ucapnya. Karena itu, Suparji melanjutkan, Kementerian Pertanian diharapkan bekerja di daerah yang telah tersedia infrastruktur irigasi.
Suparji mengklaim koordinasi Kementerian Pertanian dengan Kementerian Pertanian kini sudah cukup bagus. Rapat bersama beberapa kali digelar untuk membahas kegiatan yang masuk proyek strategis nasional ini. "Tinggal bagaimana implementasinya saja," kata Suparji. Untuk sementara waktu, banjir di beberapa lahan ekstensifikasi bisa diatasi dengan pompa air.
Gambut Jadi Korban Proyek yang Dikebut
Tidak beresnya koordinasi antar-instansi pemerintahan bikin cemas kelompok masyarakat sipil yang khawatir akan dampak buruk proyek food estate di Kalimantan Tengah. Koordinator Nasional Pantau Gambut, Lola Abas, mengingatkan bahwa sebagian besar lahan yang digunakan untuk program food estate di Kalimantan Tengah merupakan area eks PLG, proyek yang bergulir pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Dihentikan pada 1999, setelah berjalan selama empat tahun, proyek PLG menimbulkan kerusakan yang luar biasa pada ekosistem gambut di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, dan sekitarnya.
Itu sebabnya, proyek lumbung pangan berupa kegiatan perluasan lahan pertanian atau ekstensifikasi yang digagas Presiden Joko Widodo di Pulang Pisau dan Kapuas tersebut sejak awal menuai kritik. Lola menuturkan ekstensifikasi akan memperparah kondisi lahan gambut yang sudah rusak akibat proyek PLG. "Semestinya dikembalikan ke kondisi awal daripada untuk proyek strategis nasional," kata Lola kepada Tempo, kemarin.
Lola ragu proyek food estate di Kalimantan Tengah dilengkapi dengan kajian yang komprehensif. Hingga saat ini, kata dia, Kementerian Pertanian tak pernah menunjukkan kajian mendalam terhadap program cetak sawah di lahan gambut. "Hanya ada dokumen rancangan umum," ucap Lola.
Dia khawatir perluasan lahan pertanian yang asal-asalan akan merusak, bahkan menghilangkan fungsi penyerapan air pada gambut. Dampaknya tak sepele. Bencana hidrometeorologi, seperti bencana asap, pelepasan emisi gas rumah kaca, dan banjir, tak dapat dihindari di masa mendatang.
Petani membajak sawah di lokasi food estate di Kapuas, Kalimantan Tengah, 6 April 2021. ANTARA/Bayu Pratama S.
Kajian Pantau Gambut telah menunjukkan tingginya risiko tersebut. Program ekstensifikasi terhadap lingkungan hidup terindikasi melenyapkan tutupan pohon di area gambut Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas. Daerah tutupan yang tergusur itu bahkan masuk no-go zone alias kawasan bernilai konservasi tinggi yang perlu dilindungi, seperti Desa Tumbang Nusa di Pulang Pisau yang lahannya dirambah seluas 113, 49 hektare.
Hasil analisis citra satelit yang dilakukan Pantau Gambut juga menunjukkan area dengan vegetasi lebat mengalami perubahan di lokasi ekstensifikasi. Pembukaan lahan membuat Desa Mantangai Hulu di Kapuas serta Desa Simpur di Pulang Pisau mengalami perubahan warna lahan, yang semula hijau menjadi cokelat, dalam kurun dua tahun terakhir.
Dampak proyek food estate tak berhenti pada lingkungan. Korporasi pertanian yang selalu digembor-gemborkan pemerintah bakal dibangun di proyek food estate masih abu-abu bentuknya. "Sumber tenaga kerja dan model lembaganya masih belum jelas," kata Lola.
Alih-alih menguntungkan, Lola menilai pembukaan lahan baru untuk pertanian di Kalimantan Tengah malah berpotensi merugikan masyarakat. Akuisisi tanah tanpa sepengetahuan pemilik, kata Lola, terjadi di sejumlah wilayah. "Jika di atas kertas pemerintah menganggap lahan food estate ini tanah negara, itu berpotensi menghilangkan hak lahan warga," ujarnya.
Berdasarkan kajian Pantau Gambut juga didapati bahwa banyak warga yang menerima lahannya digunakan untuk proyek food estate kini kecewa. Selain diliputi ketidakpastian untuk segera mengolah lahan, pemilik lahan juga tak punya keterampilan bertani karena terbiasa berladang. Mereka, Lola mengimbuhkan, juga kurang mendapat keterangan perihal sistem pembagian benih, pupuk, dan sarana produksi pertanian lain. "Mereka merasa ditinggalkan."
IMA DINI SAFHIRA | FIRYAAL TSABITAH F. | JAJANG JAMALUDIN | AGOENG WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo