''HKBP, Gereja Batak yang Sulit'' pernah menjadi judul majalah ini. Apa yang dipaparkan TEMPO itu (walau tidak semuanya benar) cukup jelas ditangkap oleh orang awam: perjalanan panjang HKBP dari masa ke masa, yang sarat dengan konflik. Isu konflik pun sering berubah seiring dengan perubahan waktu. Pada masa lalu, konflik sering terjadi karena kekurangpahaman nenek moyang kita: merasa eksistensinya terusik oleh kehadiran agama Kristen di wilayahnya. Sehingga, Tuan Samuel Munson dan Henry Lyman, misalnya, harus mengalami nasib tragis di Lobu Pining. Sekarang, konflik di tubuh Gereja HKBP sering bersumber pada tarikan-tarikan primordial. Itu mengakibatkan pengkotak-kotakan kelompok jemaat. Melihat keadaan ini, hati saya menjadi pedih. Betapa tidak. Kita, sebagai warga HKBP yang sudah dibaptis dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus, masih sering bersungut-sungut dan saling mengejek. Akibatnya, kenyamanan beribadah menjadi terganggu. Para gembala tidak lagi membawa dombanya ke padang rumput yang baik. Kepentingan sekelompok orang semakin menonjol, dan materi khotbah semakin gersang, karena sudah disisipi propaganda. Malah, khotbah di gereja, oleh sebagian orang, sudah dianggap siksaan yang mengakibatkan keutuhan iman semakin goyah dan kurus. Bila kelompok ini nantinya semakin besar jumlahnya, bukan mustahil suatu saat gereja akan kosong. Saat ini (kita semua sudah tahu) ada pertikaian yang sangat transparan di di tubuh Gereja HKBP antara pihak Dr. S.A.E. Nababan dan pihak Dr. P.W.T. Simanjuntak/Dr. S.M. Siahaan. Pertikaian itu tampaknya tak lagi disebabkan oleh perbedaan prinsip, tapi lebih jauh lagi merembes ke kepentingan sekelompok orang. Polemik di koran dan selebaran tumbuh subur, sehingga kita sebagai orang awam semakin bingung. Soalnya, pihak yang bertikai selalu membela diri dengan menyebut pihak merekalah yang benar. Tanpa bermaksud menggurui mereka yang bertikai, saya sebagai warga HKBP sangat berharap agar perbedaan pendapat tersebut dapat dibahas dalam suatu forum yang dialogis. Pihak yang bertikai harus mampu menahan diri dan mau hadir di meja perundingan, sehingga diperoleh suatu formula atau rumusan yang bisa diterima semua pihak, agar pemeo dame ma di hamu, hepeng ma di ahu bisa hilang dari peredaran. Saya mengakui, tidaklah mudah mewujudkannya semudah membalik telapak tangan. Semua pihak harus mau merendahkan diri di depan Tuhan. DR. EBEN ESER SITORUS Jalan Sei Kapuas 34-B Medan 20121
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini