Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH pertemuan istimewa terjadi di rumah tahanan Pondok Bambu, Selasa pagi pekan lalu. Nunun Nurbaetie, tersangka kasus cek pelawat, berjumpa dengan tiga anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004 yang lebih dulu mendekam di sana. Tiga politikus PDI Perjuangan yang menjadi narapidana karena menerima cek pelawat itu adalah Budiningsih, Engelina Pattiasina, dan Ni Luh Mariani Tirtasari.
Sempat mengaku sakit dan dirawat di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Nunun kembali ke Pondok Bambu pada pukul 05.00. Setelah istirahat sebentar di ruang karantina, istri mantan Wakil Kepala Polri Adang Daradjatun ini dipindahkan ke ruang tahanan di Blok D. Di sinilah pertemuan Nunun dengan salah seorang narapidana cek pelawat itu pertama kali terjadi.
"Selamat pagi Ibu Nunun," kata salah satu politikus dari balik jeruji seperti yang ditirukan seorang kerabatnya kepada Tempo. Dua perempuan ini sebelumnya tidak saling mengenal.
Nunun menoleh, dan bertanya curiga, "Ibu dari KPK, ya?"
Sang politikus tadi menjawab bukan. "Saya orang sini saja," katanya.
Tak ingin membuang waktu, politikus tadi mencecar. "Ibu Nunun, kenapa harus lari-lari segala?" ujarnya. Lalu Nunun menjawab, "Saya tidak lari, Bu. Saya merawat kesehatan."
Lalu politikus bertanya lagi, "Kenapa Ibu tertangkap?"
Nunun menjawab, "Saya tidak tertangkap, saya memang mau pulang."
Akhirnya satu pertanyaan pamungkas soal Miranda Swaray Goeltom, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, dilontarkan politikus. Nunun hanya menjawab singkat. "Dia pasti tahu untuk apa uang itu," katanya.
Menurut dia, selama pembicaraan, Nunun terus menyalahkan Arie Malangjudo, Direktur PT Wahana Esa Sejati, perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki Nunun. Politikus perempuan itu menangkap kesan Nunun ingin menyeret Miranda masuk juga, serta kecewa kenapa Arie Malangjudo tidak jadi tersangka. Berulang-ulang dia bilang, "Nanti semua saya ungkap di pengadilan."
Adang Daradjatun, suami Nunun, telah menyebut nama Miranda. Dia membantah keras Miranda mengaku tidak mengenal Nunun. "Ada kebohongan kalau bilang tidak dekat," katanya. Adang menyebutkan dalam kasus ini istrinya hanya bertindak sebagai kurir, seperti halnya Arie.
Ina Rahman, kuasa hukum Nunun, juga memastikan kliennya akan membuka siapa saja yang terlibat dalam kasus ini. "Nanti pasti akan dibuka semua di pengadilan," ujarnya.
HAMKA Yandhu menaruh harapan besar Komisi Pemberantasan Korupsi bisa menguak asal-muasal cek pelawat senilai Rp 24 miliar yang telah mengantarkan dirinya dan 29 anggota koleganya di Senayan ke penjara. Menurut dia, keterangan Nunun dan hasil berita acara pemeriksaan tersangka sudah bisa memberi jalan bagi KPK mencari siapa aktor di balik kasus ini. "Saya ingin kasus ini menjadi terang-benderang," katanya.
Sumber Tempo yang mengikuti proses ini sejak awal mengatakan kunci dari pengungkapan asal uang cek pelawat itu ada di Bank Artha Graha. Menurut dia, dari audit yang dilakukan Bank Indonesia di bank milik taipan Tomy Winata ini sudah ada petunjuk asal uang itu. "Setelah dana Rp 24 miliar itu dikucurkan, ada setoran dana yang masuk dari sejumlah rekening," ujarnya. "Saat ini rekening penampung di Bank Artha Graha itu sudah ditutup."
Menurut dia, semula Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ingin menelusuri rekening tersebut. Audit serupa juga akan dilakukan di Bank Artha Graha cabang Medan tempat PT First Mujur Plantation and Industry, perusahaan penyedia cek pelawat, mendapat kredit investasi. "Namun audit itu tidak pernah bisa dilakukan," katanya. "Belakangan Bank Indonesia bisa masuk."
First Mujur adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit tempat asal 480 lembar cek pelawat bernilai Rp 24 miliar yang ditebar ke anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 2004, ketika pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom.
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas memastikan akan meminta audit itu ke bank sentral. "Audit itu akan menjadi petunjuk penting," ujarnya.
Kendati telah memeriksa banyak pihak, penyidik KPK mengatakan misteri siapa "cukong" di balik suap cek pelawat ini masih gelap. Dari sejumlah keterangan saksi pengadilan, asal dana itu berhenti di Ferry Yen alias Suhardi Suparlan, yang telah meninggal pada 7 Januari 2007.
Nama Ferry pertama kali disebut Budi Santoso, Direktur Keuangan First Mujur Plantation and Industry. Bersaksi di pengadilan tindak pidana korupsi pada April 2010, Budi mengatakan perusahaannya membeli cek dari Bank Internasional Indonesia melalui Bank Artha Graha atas pesanan Ferry. "Cek itu untuk membeli lahan perkebunan," katanya.
Dalam salinan berita acara pemeriksaaan di KPK, Budi menjelaskan cek pelawat itu sebagai uang muka pembelian lahan kelapa sawit 5.000 hektare di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Adalah Presiden Direktur First Mujur Hidayat Lukman alias Teddy Uban yang meminta dia mengeluarkan Rp 24 miliar untuk pembayaran.
Menurut Budi, Ferry meminta uang diserahkan dalam bentuk cek perjalanan, Rp 50 juta per lembar. Budi memerintahkan stafnya membeli cek dari Bank Internasional Indonesia karena Artha Graha tak mengeluarkan cek jenis itu. Ia mengeluarkan Rp 24 miliar dalam tujuh lembar cek untuk pembelian. Menurut dia, uang berasal dari pencairan kredit berjangka dari Bank Artha Graha. Budi menyebutkan cek telah diserahkan ke Ferry segera setelah diterima dari Bank Internasional Indonesia.
Nyatanya, dalam kecepatan kilat, cek itu sudah sampai ke meja Nunun Nurbaetie, pemilik Wahana Esa Sejati. Selisih waktu cek diterima First Mujur dengan penerimaan di kantor Nunun hanya dua jam. Beberapa saat kemudian, seperti terungkap dalam dokumen persidangan, Nunun menyuruh Arie mengantar cek ke sejumlah politikus.
Dalam salinan dokumen cek dan real time gross settlement (RTGS) Bank Artha Graha ke Bank Internasional Indonesia yang diperoleh Tempo, terungkap bagaimana transaksi superkilat itu terjadi. Cek pelawat itu diketahui dipesan oleh Artha Graha pada 8 Juni 2004 sekitar pukul 08.00. Selanjutnya, pada pukul 08.26 ada transaksi RTGS. Tepat pukul 09.00, cek pelawat itu jadi dan dua jam kemudian diantarkan ke Ferry Yen. Kejanggalannya: tujuh lembar cek Bank Artha Graha yang disebutkan berasa dari First Mujur diterima pada sore hari pukul 16.05. "Artinya, pembelian cek pelawat lebih dulu ketimbang datangnya cek yang disebut Budi Santoso," kata sumber Tempo.
Tomy Winata, lewat Wakil Presiden Direktur Artha Graha Wisnu Tjandra, mengaku tidak mengetahui soal transaksi tersebut. "Beliau bilang tidak tahu," ujarnya.
Menurut Wisnu, soal tudingan menjadi pelindung Nunun, Tomy mengatakan itu hanya halusinasi orang. Otto Hasibuan, kuasa hukum Artha Graha, juga menegaskan tidak ada kejanggalan dalam pembelian cek pelawat. "Artha Graha hanya menjalankan kegiatan perbankan biasa," katanya.
Meski demikian, Ketua KPK Abraham Samad memastikan akan mengusut keterlibatan bank tersebut. "Kami akan cari siapa aktor intelektual dalam kasus ini," ujarnya.
Setri Yasra, Wahyu Dhyatmika, Rusman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo