Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Perjanjian di malang

Sekitar 500 orang mendirikan ikatan cendekiawan mu slim indonesia di malang. akan dibuka resmi oleh presiden. kata cendekiawan sering dirancukan dgn pengertian sarjana.berbagai peristiwa dan masalah.

8 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU peristiwa patut dicatat dan diamati pekan ini di Malang, Jawa Timur. Sekitar 500 pria dan wanita datang berhimpun untuk mendirikan sebuah organisasi baru, Ikatan Cendekiawan Muslim. Presiden Soeharto akan membuka pertemuan itu. Wakil Presiden Sudharmono yang akan menutupnya. Dalam proses itu, tampaknya B.J. Habibie, Menteri Negara Riset dan Teknologi, pegang peran penting. Para pesertanya terdiri dari pelbagai nama intelektual Muslim tenar. Ini boleh dikatakan sebuah indikasi bahwa niat yang dicetuskan di Malang bukanlah main-main. Itulah sebabnya laporan ini diturunkan. Namun, tidak berarti semua hal sudah terang. Dalam penggunaan dalam bahasa Indonesia, kata "cendekiawan" -- sebagai terjemah dari kata "intelektual" -- sering dirancukan dengan pengertian "sarjana". Kata "sarjana" sendiri dalam bahasa Indonesia umumnya hanya berarti "lulusan perguruan tinggi". Dengan kata lain, tidak sama dengan pengertian yang dalam bahasa Inggris disebut scholar. Kata scholar menunjukkan keahlian di dalam suatu disiplin ilmu ataupun dalam suatu masalah. Namun, seorang scholar bukan sekadar "pakar". Ia mengandung suatu komitmen terhadap penelitian dan penjelajahan ilmiah, juga suatu pengakuan atas suatu tingkat prestasi dalam bidangnya. Namun, dalam pengertian aslinya, seorang scholar, seperti halnya seorang penemu, atau seorang dokter ahli, atau seorang teknokrat, tak dengan sendirinya seorang intelektual. Maka, apa arti "cendekiawan" di sana? Tampaknya, bukan sekadar "sarjana" yang berarti "punya gelar akademis". Emha Ainun Nadjib, misalnya, tak punya gelar akademis, tetapi jelas ia "cendekiawan". Seorang "cendekiawan" dalam arti "intelektual" memang mengandung syarat-syarat tertentu. Kita ingat almarhum Soedjatmoko. Ia seorang yang tak pernah lulus perguruan tinggi, tetapi ia diakui sebagai cendekiawan besar: ia adalah orang yang dikenal karena melahirkan discourse di bidang ide-ide sosial dan kemanusiaan -- suatu penguraian buah renungan, umumnya dalam bentuk tulisan yang ditujukan ke publik, dengan tekad mencari alternatif, dan tak jarang lahir dari polemik dan mengundang perdebatan. Esensinya adalah kemerdekaan berpikir, kebebasan menjelajah, kemandirian sikap, dan keberanian mengartikulasikan semua itu. Menarik untuk melihat sejauh mana nanti pengertian "cendekiawan" akan mendapatkan maknanya dalam pertemuan penting di Malang pekan ini. Demikian pula pengertian "muslim". Pernah ada masanya, bahwa seorang "tokoh Islam" per definisi harus punya credentials yang lazim: ia berasal dari kalangan santri, pernah atau masih aktif dalam organisasi sosial atau politik yang berajektif Islam, dan rapi dalam menjalankan syariat agama. Namun, tampaknya, perubahan sosial-politik Indonesia selama dua dasawarsa terakhir membawa perubahan yang berarti. Meskipun kadang-kadang tak diakui oleh sementara aktivis Islam, pemerintahan Orde Baru secara nyata telah memungkinkan syiar Islam berkumandang -- dan bersamaan dengan itu batasan-batasan lama memudar. Orang bisa santri sekali meskipun tak dikenal berasal dari keluarga santri, dan seorang kiai tak selamanya duduk mewakili partai yang mengibarkan panji Islam. Ini semua mungkin akan tampak dalam Ikatan Cendekiawan Muslim: sejauh mana pengertian "cendekiawan" dan "Muslim" akan mendapatkan artinya -- yang kemudian bisa berpengaruh bagi kehidupan pemikiran (dan mungkin juga kehidupan politik) di Indonesia. Karena masalahnya tidak hitam-putih, laporan ini mengungkapkan beberapa hal. Di bagian pertama (hal. 26) akan Anda dapatkan cerita bagaimana gagasan pertemuan di Malang itu lahir dan ditanggapi. Di bagian berikutnya, kami tampilkan perbedaan tanggapan yang lebih rinci dari sejumlah tokoh, baik yang pro maupun yang kontra. Di halaman 35, kami kemukakan sejarah hubungan golongan Islam dengan pemerintahan-pemerintahan di Indonesia. Tak lupa kami ceritakan awal lahirnya ide pertemuan di Malang, dan last but not least, suatu profil B.J. Habibie, tokoh sentral pertemuan yang akan melahirkan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia itu. Banyak orang yang mencalonkannya untuk menjadi Sang Ketua. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus