GUBERNUR Jawa Tengah Ismail telah mendirikan pos komunikasi (posko) yang terbuka 24 jam untuk menampung keluhan rakyat. Posko ini tak cuma ditangani aparat pemda, tetapi juga melibatkan DPRD setempat. Berkedudukan di Semarang dan dikendalikan oleh Sekwilda serta Ketua DPRD Ja-Teng. Lahirnya dua hari setelah sekitar 200 petani warga Lomanis, Cilacap, berbondong-bondong ke Depdagri. "Saya ingin menegaskan kembali komitmen kita sebagai abdi negara dan masyarakat, kapan saja dan di mana saja," ujar Ismail. Ternyata, cara penanganan kasus seperti ini didukung sepenuhnya oleh Menteri Dalam Negeri Rudini. Ketika berbicara dengan para wartawan di Jakarta, dua pekan lalu, Rudini bahkan punya gagasan serupa untuk semua daerah. Dan kalau betul-betul berfungsi, menurut Rudini, posko ini akan mengurangi kerepotan Departemen Dalam Negeri dan DPR pusat. Posko yang didambakan Rudini, seperti dikutip koran Suara Pembaruan, adalah keakraban dialog dan sikap cepat tanggap dari para lurah dan camat dalam menampung pengaduan warganya. Jadi, posko dalam konsep Ismail adalah sarana untuk menerima masukan dari semua pihak, dan berusaha menyelesaikannya secara tuntas. "Posko ini bukanlah tong sampah pengaduan," ujar Ismail. Setiap persoalan yang masuk akan dicek ke lapangan. Hasil cek dan recek ini, menurut Ketua DPRD Ja-Teng Ir. Soekorahardjo kemudian dikaji dan dipelajari, untuk selanjutnya baru ditentukan langkah berikutnya. Untuk penyelesaian selanjutnya, menurut Soeparman, tetap dilakukan oleh instansi yang berwenang. Misalnya, masalah tanah akan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional. Tapi, " instansi bersangkutan diwajibkan memberi laporan setiap perkembangan masalah yang sedang digarap," ujar Drs. Soeparman, Kepala Biro Humas Pemda Ja-Teng. "Tugas posko hanya ikut mempercepat proses penyelesaian." Sambutan terhadap keberadaan posko hangat. Buktinya, sampai awal Desember 1990 pengaduan yang masuk mencapai 29 kasus. Masalah yang diadukan cukup beragam, antara lain soal klaim asuransi, pilkades, dan masalah pelayanan aparat. Tapi yang paling dominan adalah kasus pertanahan. Para pelapor ini kebanyakan datang pada malam hari, karena mereka umumnya rakyat kecil, yang pada siang hari sibuk mencari nafkah. "Hampir setiap malam kami pasti menerima rakyat yang datang mengadu," ucap Soekorahardjo. Dijelaskannya bahwa mereka, secara invidu ataupun berombongan, datang langsung dengan membawa berkas-berkas permasalahan. Itulah yang terjadi Selasa malam, 27 November lalu. Muncul 75 orang yang mengaku para awak angkutan pedesaan dari Muntilan, Magelang. Mereka mengeluh bahwa mata pencaharian mereka terancam, akibat kebijaksanaan pemda setempat yang mengizinkan minibus beroperasi pada jalur trayek angkutan pedesaan. Menurut mereka, kendaraan minibus akan mematikan mobil omprengan yang sudah lama beroperasi di sana. Cuma, persoalannya, sampai kapan posko ini mampu bertahan, artinya bisa mengerem rakyat beramai-ramai ke Jakarta. Prof. Dr. Nurimansyah Hasibuan dari Universitas Sriwijaya Palembang meragukan kelanggengan posko ini. "Masyarakat tidak akan pernah puas, jika posko itu hanya sebagai penampungan pengaduan, tanpa langkah penyelesaian yang kongkret," kata guru besar ekonomi ini pada Aina Rumiaty Aziz dari TEMPO. Dambaan rakyat sebetulnya tidak terlalu berlebihan. Kalau itu menyangkut ganti rugi tanah, menurut Nurimansyah, hendaknya sesuai dengan harga pasar. Yang penting, rakyat tidak dirugikan dan rencana pemerintah tidak terhalang. Kalau itu tidak tercapai, rakyat menjadi resah, akhirnya pemerintah sendiri yang repot. Heddy Lugito dan SC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini