Cak Dur tak mau masuk ICMI. Tapi sejumlah tokoh mendukung lahirnya wadah intelektual Islam itu. Berikut komentar tentang lahirnya ICMI dan calon kuat ketuanya, Habibie. Dr. Ahmad Watik Pratiknya, 42 tahun. Direktur Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijaksanaan (PPSK) Yogyakarta, dan dosen FK UGM. Salah seorang pengurus PP Muhammadiyah. Kenapa kami memilih B.J. Habibie selaku Ketua ICMI? Keberadaan Habibie dalam ICMI sebagai person saja. Kebetulan saja sekarang dia menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi. Kalau yang tidak tahu, akan mencap ICMI bermain-main dengan politik praktis, karena Habibie dekat dengan Pak Harto. Orang boleh berpikir begitu, tapi alasan pemilihan itu semata karena integritas beliau sebagai cendekiawan muslim. Sebagai seorang muslim, Habibie adalah orang yang betul-betul menunaikan ajaran agama secara utuh. Misalnya, beliau tidak pernah lepas puasa Senin-Kamis. Sebagai cendekiawan, saya kira sulit mencari orang yang sepadan dengan dia. Memasuki abad ke-21, semua tahu bahwa masalah teknologi akan menjadi dominan. Jadi, kita pilih Habibie, karena orangnya memang pas untuk menjawab tantangan itu. Tentang reaksi kehadiran ICMI, tentu saja ada yang negatif dan positif. Saya dengar memang ada komentar-komentar dari kalangan non-muslim dan dari kalangan muslim sendiri, yang kurang sependapat. Sebetulnya itu tak perlu terjadi, kalau mereka memahami betul misi ICMI, yakni: untuk menggalang potensi intelektual muslim yang cukup besar di negeri ini, yang diharapkan bisa ditingkatkan partisipasinya dalam pembangunan. H. Abdurrahman Wahid, 50 tahun, Ketua Tanfidziyah PB NU. ICMI akan berdiri? Silakan. Biar saya di luarnya saja mengurusi muslim kaki lima, supaya ada golongan Islam yang merawat mereka. Mereka itu kan ada di daerah bebas. Kalau masjid kan daerah aturan dan sudah banyak yang mengatur. Pokoknya, silakan. Saya nggak ada rasa pro atau kontra. Apalagi antipati. Cuma, kalau saya masuk ke sana, saya meninggalkan cita-cita semula. Saya kok merasa tanggung jawab moral saya kepada yang di luar itu terlalu berat, ndak tertunaikan. Mudah-mudahan semuanya ikut, biar saya tinggal sendirian di luar, itu enak. Artinya, tugas saya membawa mereka selama ini ke alun-alun Islam berhasil, sehingga mereka mau masuk masjid Islam. Memang beban saya berat, ngurusi mereka dan ngurusi NU. Ini kan peranan yang selalu bertentangan. Kalau sudah selesai, tugas saya bisa dioper yang lain, monggo. Kalau ada orang NU, itu hanya pribadi-pribadi. Maaf, NU nggak pernah mengadakan rapat soal itu. Itu hak masing-masing. Anggap saja masuk pasar malam, kan semua juga boleh. Yang jelas, intelektualitas tak bisa diukur dengan lembaga. Lima puluh ribu intelektual yang tak bekerja, tak berpikir, kalah dengan seorang yang berpikir. Intelektualitas itu pemikiran. Intelektualitas tak bisa diwakili oleh lembaga. Dan tak bisa dilahirkan oleh lembaga. Saya menolak suatu sikap memutlakkan lembaga. Lha wong NU saja kita terus ubah, kok. Saya di NU kan merasa ditugaskan, ndak perlu saya menganggap NU itu sakral. Dia alat perjuangan, yang harus selalu berubah sesuai dengan kebutuhannya. Saya tak bisa masuk ke sana, karena sudah 20 tahun ini saya berkumpul dengan yang kaki lima tadi. Wis kadung keno blethok (sudah telanjur belepotan lumpur, Red.). Kok mau mentas, nggak usahlah, tunggu sampai panen saja. Panennya berupa Indonesia yang memiliki integrasi nasional penuh. Tak ada lagi orang merusak kantor orang lain, tak ada masalah kebencian antaragama, tidak ada khatib yang mengafirkan orang lain. Ghirah (komitmen, Red.) saya adalah Islam yang berfungsi secara alami dan wajar, ngayomi semua orang. Inilah Islam yang saya impikan. Nggak bisa disekat-sekat dengan lembaga. Saya tak pernah dihubungi, dikonsultasi, ya, nama saya jangan ditaruh, dong (kabarnya, sebagai penasihat ICMI, Red.). Itu bahasa Islamnya ghasab, menggunakan hak orang lain tanpa izin. Saya anggap ada orang dengan niat baik, tapi tempat saya bukan di situ. Walau sejak awal diajak, saya ndak mau. Di mana ada gerakan intelektual yang sifatnya kelompok, saya ndak mau. LIPI mengajak, saya berangkat, karena di situ tak ada sekat-sekat agama, sekat primordial, dan kita bisa berpikir. Kalau belum-belum sudah ada merek-merek yang menyekat kita dari orang lain, kapan saya akan berpikir. Saya tidak kenal Habibie. Namun, saya hormat karena dia pembantu presiden, saya dengar dia perancang pesawat dan dihormati di luar negeri. Saya turut bangga. Saya cuma berdoa supaya wadah itu sukses. Ketuanya Habibie atau bukan, yang penting sukses. Tapi, ya, tempat saya ndak di situ. Ndak pernah saya menangisi atau puyeng dengan institusi. Kalau saya bisa kerja full dengan perasaan lega, gairah tinggi, kan enak. Tak perlu semua baris ke satu arah. Kalau saya dianggap menentang arus, karena cendekiawan ngalor (ke utara, Red.), saya ngidul (ke selatan, Red.), alhamdulillah. Sebab, kalau semua ngalor, bedanya cendekiawan dengan hansip lalu apa? Dr. Nurcholish Madjid, 51 tahun, staf peneliti LIPI, Ketua Yayasan Paramadina, Ketua Pengurus Besar HMI periode 1966-1971. Sebenarnya organisasi ini dirancang untuk menjadi forum pertemuan semua kelompok dan dimaksudkan sebagai wadah penyalur bagi aspirasi masyarakat untuk pembangunan. Orientasinya tidak ideologis dan tak politis. Kedua soal tersebut dalam forum ini harusnya sudah dianggap selesai. Karena, kita sudah punya platform, yaitu Islam secara intern dan secara ekstern, ya, Pancasila. Kalau politik dalam artian formal mungkin tak menjadi tujuan. Tapi tentunya berdampak juga sedikit banyak, pada politik dalam arti aspirasi sosial. Organisasi ini diwarnai oleh semangat nonsektarian, makanya berfungsi sebagai organisasi yang longgar. Bahwa yang berkumpul sebelumnya sudah punya eksistensi cukup mapan secara sendiri-sendiri. Ini menjadi tantangan untuk mampu menarik persoalan ke atas, ke tingkat yang lebih umum, mengatasi bidang garapan masing-masing. ICMI merupakan konsekuensi dari pertumbuhan masyarakat Islam sendiri. Dulu kan ada semacam gap antara keinginan dan kemampuan. Sekarang gap itu lebih banyak bertemu, sehingga kaum Islam bisa bersikap lebih positif dalam memberikan kontribusi untuk pembangunan. Momen di Malang nanti, ya, sebuah indikator semakin dewasanya umat Islam Indonesia. Bahwa ada yang skeptis terhadap upaya pembentukan forum ini, ya, wajar saja. Ini kan semacam percobaan baru berskala besar. Bagi saya, ini merupakan saat yang menentukan, terutama dalam pertumbuhan intelektualitas umat Islam. Prof. Dr. Emil Salim, 60 tahun, Menteri KLH. Saya tak sependapat, jika kehadiran ICMI dianggap sebagai upaya membangkitkan primordialisme. Saya pendukung ini. Dan apakah pengkotakan itu identik dengan primordialisme? Saya kira tidak. Saat ini, di seluruh dunia: Eropa Timur, Uni Soviet, RRC, Jepang, Eropa Barat, sudah berada dalam posisi orang mulai bertanya, pembangunan ini untuk apa. Kalau untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka sudah dapat memenuhinya, termasuk Indonesia. Sekarang, pembangunan sudah masuk tahap lanjutan. Pada tahap ini, apakah kebutuhan akan menjurus ke arah materialisme, konsumerisme, dan segala macam itu? Kalau ini dilecut sedemikian rupa, sumber alam tak akan mampu menopang, bisa ambles semua. Dalam arah pembangunan yang ditempuh negara maju, telah terjadi something wrong, mengarah ke pola tadi. Nah, untuk itu perlu dikaji ulang. Di sinilah pentingnya dimensi spiritual masuk. Dalam konteks ini perlu dipadukan antara spiritualisasi dan intelektualitas. Saya menilai, para cendekiawan muslim bisa mengemban tugas itu. Saya tak melihat hadirnya ICMI sebagai suatu langkah testcase untuk menghadapi isu kristenisasi. Justru saya ingin agar potensi Islam yang ada bisa mendorong proses pembangunan dan mampu menjawab problematik sosial. Karena itu, seyogianya orientasi ICMI ke arah pembangunan bukan ke alur politik. Soal siapa ketua, terserah putusan anggota, jangan disetir. Yang jelas, kita tidak akan main droping-dropingan. Kalaupun Bung Habibie terpilih, baik juga. Kita kenal Bung Habibie karena intelektualitas dan kepolosannya. Cuma masalahnya, apakah dia punya waktu. Ridwan Saidi, 48 tahun. Pernah menjadi ketua PB HMI periode 1974-1976. Kelahiran ICMI adalah fenomena politik. Mereka akhirnya akan menjadi wakil umat Islam. Kalau kita sudah berbicara wakil, representant, konotasinya politis. Nantinya di ICMI kan ada batasan. Ada seleksi. Kalau sudah ada seleksi, itu juga sudah berkonotasi politis. Sulit untuk mengatakan mereka itu tidak punya kecenderungan politik karena setiap penghimpunan dan pemanfaatan kekuatan itu sudah politik. Dalam kerangka politik, ICMI nantinya antara lain akan membikin statemen-statemen politik. Peranan mereka nantinya bukan seperti para ekonom dalam orde baru, membikin alternatif konsep. Tapi, ICMI hanya memberi masukan dari sejumlah masukan lain kepada Wanhankamnas. Dari segi politik, nantinya ICMI akan sama saja seperti Satkar Ulama dan MUI. Dari sisi yang lebih luas, munculnya ICMI karena ketidakpuasan terhadap sistem. Kalau mereka senang terhadap sistem, ICMI tidak perlu lahir karena ketiga orsospol sudah mempunyai departemen cendekiawan. Seharusnya, pikiran mereka bisa disalurkan melalui ketiga orsospol ini. Lalu kenapa ICMI lahir, kalau bukan karena ketidakpuasan terhadap struktur? Lahirnya ICMI sebagai koreksi terhadap struktur akan menimbulkan korban. Waktu MUI didirikan Buya Hamka, dikatakan bahwa pengertian ulama itu luas, karenanya ditampilkan juga cendekiawan dalam MUI. Lo kok sekarang ada cendekiawan tersendiri, padahal sudah ada MUI? Soetjipto Wirosardjono, 53 tahun, Wakil Kepala Biro Pusat Statistik ICMI sebenarnya impian lama tentang bagaimana umat Islam bisa berdialog. Pluralitas umat Islam di Indonesia justru semakin mendorong diperlukannya forum dialog tersebut. Kurangnya dialog sering menimbulkan prasangka. Kadang prasangka tersebut belum dikomunikasikan, di mana seseorang bisa menghalalkan darah temannya ketika mengajukan pendapat yang bertentangan dengan prinsip dasar akidah Islam. Saya sendiri tak membayangkan forum itu jadi ajang menyatukan pendapat. Dengan aspek pluralitas tadi, yang bisa dilakukan adalah saling mencocokkan pendapat. Juga tatkala merefleksikan rasa keimanan dan saling menguatkan semangat ukhuwah Islamiyah. Soal beragamnya pemikir yang dihimpun, saya lebih menggarisbawahi pada bentuk forum dialog. Lihat saja. Dulu, kepedulian cendekiawan Islam bisa dilihat dari bentuk diskusi model Paramadina atau lainnya. Tapi itu mencakup tingkat-tingkat tertentu saja. Atau segmen tertentu. Rasanya belum cukup ada diskusi, sehingga sering terjadi mis-komunikasi. Belum lagi bicara soal individu yang mewarnai dinamika pemikiran Islam seperti Amien Rais, Kuntowijoyo, Yahya Muhaimin, atau Saleh Aljufri di Surabaya. Saya lihat dialog di antara mereka belum ada. Bahkan ada yang ekstrim, lho, sampai untuk bertemu saja tak mau. Jadi, dengan adanya ICMI, kalangan cendekiawan muslim sekurang-kurangnya punya wadah yang sah, legitimate, untuk menyatakan pendapat kelompok. Selama ini kan yang lebih kaya adalah visi-visi individual. Dr. Marwah Daud Ibrahim, 34 tahun. Staf Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Pernah menjadi Sekjen PB HMI. "Trend keilmuan di dunia sekarang ini berubah dari sangat rasionalistis menjadi spiritualistis. Di Indonesia sendiri, image itu berubah total karena banyak umat Islam pulang belajar dari luar negeri. Gelombang ini tentu berpengaruh mengubah image seperti, Islam itu sarungan, Islam itu fanatik. Islam ternyata universal, sangat terbuka, kosmopolit, jadi banyak tokoh muncul tanpa malu-malu. Itu merupakan sumbangan dari apa yang terjadi di Indonesia sekarang. Di kampus ITB, Unibraw Malang, Unhas Ujungpandang, ribuan mahasiswa berkumpul, mengkaji ilmu dengan Al Quran di tangan. Setelah 10 tahun di luar negeri, terus terang saya tergetar menyaksikan itu. Di hotel-hotel mewah juga ada pengajian yang melibatkan birokrat dan kaum elite lainnya. Alirannya macam-macam. Di kampus, pemuda-pemuda Islam berkumpul, begitu juga di Muhammadiyah dan di NU. Ini sudah masanya orang bangga menjadi Islam, tanpa merasa lebih dari yang lain. Orang selama ini menganalisa, ICMI didirikan untuk kepentingan politik. Itu terlalu kecil, orang sudah bicara global jadi kenapa harus ke politik. Terus terang, saya belum pernah melihat organisasi semacam ICMI di luar negeri. ICMI ini unik, ini cross sectional, wadah bertukar keahlian karena merasa sama-sama Indonesia dan Islam. Wadah politik? Orang semakin yakin politik tak bisa menyelesaikan semua hal. Sistem pemerintahan bisa berubah, kondisi masyarakat tak berubah. Dawam Rahardjo, 48 tahun, Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), Jakarta. Untuk mengetahui mengapa ICMI perlu, kita harus melihat latar belakangnya. Seandainya ICMI dibentuk tahun '70-an, mungkin tidak jadi. Sekarang ini ada ledakan sosiologis, keluarga muslimin memasuki sekolah-sekolah, bahkan banyak di antara mereka yang sekolah di luar negeri dan memperoleh gelar Ph.D. Mereka, pada awal '80-an mulai berdatangan, seperti Amien Rais, Kuntowijoyo, Yahya Muhaimin, dan Marwah Daud. Generasi yang lebih senior dari mereka juga banyak. Kita lihat, alumni HMI sudah banyak yang menduduki jabatan di pemerintahan. Paling tidak sudah ada delapan menteri, sekian dirjen dan manajer. Mereka menyebar, tidak hanya di pemerintahan, tapi juga di dunia bisnis dan perguruan tinggi. Jadi, kelahiran ICMI itu tidak bisa dipaksakan. Ia lahir begitu saja, ketika ada momentum, dan ketika ada yang menggerakkan. Saya bilang pada teman-teman mahasiswa: seandainya yang mengambil inisiatif itu satu di antara kita yang sudah senior, belum tentu ada ICMI. Sama halnya waktu Wahidin Soedirohoesodo punya gagasan. Ia sudah kampanye di seluruh Jawa, menghubungi para pejabat dan orang Belanda, toh tak berhasil. Tapi ketika ketemu mahasiswa, Soetomo, Soewardi Soerjoningrat, dan sebagainya, jadilah tercetus. Karena mahasiswa memang suka mendobrak, dan masih murni. Kalau kita-kita, banyak pertimbangan, sudah vested, sudah banyak ketakutannya. Kalaupun ada inisiatif, biasanya gagal. Contohnya tatkala Imaduddin berusaha menyatukan firqah-firqah di Yogya. Soal keterlibatan Habibie dalam pembentukan ICMI, itu gejala yang menarik. Saya tidak tahu, sejak kapan ia sembahyang. Namun, akhir-akhir ini, Islamnya luar biasa. Yang menarik, kenapa sekarang banyak pejabat tertarik kepada Islam. Tapi ini yang menurut saya merupakan latar belakang sosiologis timbulnya ICMI. Bahkan banyak orang, termasuk Ginandjar dan Hartarto, yang 'tersinggung': "kenapa saya tak diajak? Apa saya bukan muslim?" Tapi itu masalah teknis saja. Buktinya, beberapa menteri sudah masuk di Paramadina. Timbulnya ICMI, tak lain, karena sudah merupakan keharusan sejarah. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc., 41 tahun. Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi dan Fakultas Pascasarjana Universitas Padjadjaran dan Direktur LPII -- Lembaga Pengkajian Ilmu-Ilmu Islam -- Bandung. Dengan membentuk ICMI berarti cendekiawan muslim sudah mengorganisasikan dirinya dalam satu wadah. Dengan begitu, ICMI dapat memberi kontribusi pada pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan. Dulu cendekiawan muslim hanya bisa menyumbangkan gagasan, tapi tidak bisa mendesakkan gagasannya. Sekarang, paling tidak, gagasan itu bisa didesakkan untuk diterima. Kehadiran ICMI menjadi salah satu unsur yang harus dipertimbangkan saat ini. Apalagi menjelang pemilu. Mengapa? Tak lain karena ICMI bisa memobilisasi dan mengorganisasikan massa. Lembaga ini tentu punya bobot untuk dipertimbangkan dalam pemilu. Ide pembentukan ICMI bukan berasal dari pemerintah untuk merangkul umat Islam, tapi muncul dari cendekiawan. Ia merupakan kerja sama atau bentukan bersama antara pemerintahan para cendekiawan muslim. Dua-duanya saling membutuhkan. Ada semacam simbiose mutualisme. Walau dari berbagai disiplin ilmu, cendekiawan muslim punya kepentingan sama. Yaitu lebih mengekspresikan aspirasi Islam. Atau, para cendekiawan muslim ingin lebih berperan dalam proses pembangunan ini. Kita bisalah berbuat sesuatu untuk negeri ini, mungkin begitu. Dengan berkumpul dalam satu wadah, mereka bisa berbagi pengalaman. Misalnya, antara Fuad Amsyari yang berlatar belakang kedokteran dan Imaduddin yang teknik industri. Dan bila sudah berkumpul, maka urgensi berikutnya yaitu ada satu ikatan dan misi yang diembannya. Setelah Orde Baru, kelompok cendekiawan inilah yang muncul dalam panggung kepemimpinan umat. Begitulah pembicaraan yang berkembang di masyarakat. Sebabnya, para ulama tidak bisa menjawab beberapa tantangan umat. Dr. Fuad Amsyari, 48 tahun. Ketua Cendekiawan Muslim Al Falah Surabaya. Staf Ahli Menteri KLH. Secara ide, organisasi ini sudah lama saya lakukan. Rupanya, ICMI ini kemudian diproses dari Jakarta. Tapi yang penting kan forum itu ada. Tapi kuncinya adalah follow up dari forum itu. Forum ini tidak akan punya arti kalau tidak dimulai dengan satu ciri masyarakat ilmiah. Yakni, adanya forum yang demokratis. Kalau misalnya ada rekayasa yang mengarah pada visi tertentu, itu sudah mulai tidak sehat. Menurut saya, cendekiawan muslim itu harus berciri kecendekiawanan dan kemusliman. Kecendekiawanan itu tak identik dengan sarjana. Apalagi dibatasi untuk para doktor. Tapi ada sejumlah unsur seperti pers business man, ABRI, ulama. Maka, otomatis nanti komunitinya bersifat cendekia. Karena itu, harus berperilaku keilmuan. Bukan perilaku politik atau massa. Ciri kemusliman tak selonggar asal mempunyai KTP Islam. Tapi lebih dikaitkan dengan komitmen keislaman seseorang. Walaupun ia seorang doktor, kalau tak punya komitmen keislaman, saya kira tak pantas menyebut dirinya muslim. Jika ada orang bilang pemerintah akan mengendalikan cendekiawan muslim? Menurut saya, kita kan hidup di Indonesia. Bagi saya, antara pemerintah dan yang diperintah akan terjadi proses yang dinamis. Mana yang lebih dominan? Sewaktu-waktu mungkin pemerintah, lain waktu mungkin juga sebaliknya. Wadah ini merupakan sikap reaktif terhadap kekuatan non-Islam? Saya kira dalam masyarakat heterogen selalu terjadi persaingan sosial. Dan ini akan dimenangkan kelompok yang mempunyai kekuatan dan kesempatan lebih besar. Kalau ada kelompok muslim yang melakukan konsolidasi diri, saya kira wajar. Dr. Deliar Noer, 64 tahun. Penulis buku dan dosen pascasarjana UI. Pernah menjadi Ketua PB HMI 1953-1955. Sulit bagi saya untuk menilai organisasi ICMI. Tentu maksudnya baik, tetapi mereka bukan termasuk dalam gerakan modern seperti yang saya maksudkan dalam buku karangan saya: Gerakan Modern Islam. Karena organisasi ini tidak mandiri. Ketuanya sudah dipersiapkan sejak dulu. Sejak Agustus lalu, saya sudah disodori surat yang harus ditandatangani untuk mendukung Habibie. Saya menolak, karena saya tak kenal Habibie. Jalan pemikirannya, terutama tentang Islam, saya tidak tahu. Dia tak pernah ada dalam organisasi Islam. Mudah-mudahan, sih, pembentukan organisasi itu tidak ada hubungannya dengan Pemilu 1992. Yang saya inginkan, masyarakat itu mandiri, dan organisasi kemasyarakatan juga mandiri. Permainan seperti itu, di mana pengaturan ketua sudah dipersiapkan, semestinya tak perlu terjadi. Apalagi menyangkut cendekiawan. Kalau umpamanya Habibie ingin membaktikan dirinya bagi kemajuan Islam, tidak perlu dia harus ditarik jadi ketua. Tunjukkan dulu apa yang dia inginkan dalam memajukan Islam ini. Saya lebih suka melihat ketua itu dipilih lewat sidang. Andaipun akhirnya Habibie yang terpilih, tanpa dipersiapkan terlebih dahulu seperti sekarang ini, tentu kita semua akan mendukung. Kalaulah tidak mendukung, paling tidak, ya okelah, silakan jalan. Muslimin Nasution, 50 tahun. Ketua Badan Litbang Departemen Koperasi dan Ketua Dewan Mahasiswa ITB, 1964-1965. Sekjen Himpunan Peminat Ilmu Pengembangan Koperasi (Hipikop), dan anggota Perhimpunan Mahasiswa Bandung. Saya yakin bahwa ini ide spontan mahasiswa. Saya merasa dimasukkan dalam arus anak-anak ini. Sebagai orang pemerintah, saya jamin kalau ini tidak direkayasa dari atas. Semula mereka meminta Pak Habibie untuk bicara di Malang. Beliau mau bicara asal ada yang mendukung dan sekaligus dianggap sebagai tokoh di kalangan cendekiawan muslim. Karena saya yang diminta pertama kali, ya saya tandatangani saja. Apalagi Pak Habibie yang ditokohkan. Yang penting kan niatnya baik. Siapa saja mau jadi Ketua ICMI boleh. Habibie saya lihat oke, dilihat dari segi cendekiawan. Kalau misalnya mahasiswa itu memintanya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia, misalnya, ya nanti dulu. Apalagi dalam era mendatang, saat teknologi semakin pesat, kita memerlukan seorang Habibie. Saya merasa surprised, ini akal-akalan anak-anak. Kalau rekayasa dari atas, tidak mungkin. Berani sumpah. Saya koordinator 20 orang yang merancang anggaran dasar, mereka punya integritas. Lalu, siapa yang bisa merekayasa mereka itu? Kalau di abad teknologi yang makin pesat ini, cendekiawan muslim tak bikin jaringan, akan membuat mereka keblinger. Mereka bisa bingung mana yang akidah dan mana yang bukan. Setiap pembangunan kan meng-induce kelembagaan. Kalau kita tidak bersatu dari sekarang, memikirkan umat, kita bisa terseret. H. Mahbud Djunaidi, 57 tahun. Kolumnis dan anggota Mustasyar NU. Asal organisasi itu bersifat kemasyarakatan, bebas, dan terbuka, saya setuju saja ICMI dibentuk. Ketiga unsur itu penting, apalagi ICMI organisasi kaum intelektual. Ini artinya, ICMI harus tumbuh dari keinginan dan kebutuhan kaum cendekiawan muslim sendiri, bukan bentukan pemerintah. Kalau ICMI dibentuk pemerintah, ya susah. Itu bukan lagi organisasi kemasyarakatan yang bebas. Biarkan cendekiawan muslim mengembangkan pemikiran sendiri dalam suasana bebas dan terbuka. ICMI kan bukan organisasi politik. Saya percaya lahirnya ICMI akan mengembuskan angin segar untuk memacu kreativitas para cendekiawan muslim apalagi konon akan dipimpin oleh Pak Habibie, Menristek kita. Sudah waktunya para cendekiawan muslim bangkit menjawab tantangan zaman, seperti halnya di abad pertengahan tatkala Eropa masih tidur. Asal itu tadi: ICMI bersifat organisasi kemasyarakatan yang bebas dan terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini