Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ide setelah membaca kiblat

Asal muasal lahirnya ide pembentukan ikatan cendekiawan muslim indonesia (icmi). berasal dari gagas an lima mahasiswa unibraw malang yang ingin mengada- kan simposium. dari lokal berubah menjadi nasional.

8 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULANYA kelima mahasiswa Universitas Brawijaya Malang itu (Erik Salman, Ali Mudakir, Mohammad Zaenuri, Awang Surya, Mohammad Iqbal) hanya ingin mengadakan simposium pada tanggal 29 September sampai 1 Oktober 1990. Temanya: sumbangsih cendekiawan muslim menuju era tinggal landas. Sebulan sebelum rencana simposium itu, mereka berkeliling ke Yogya, Bogor, Jakarta, menemui beberapa cendekiawan muslim. Dari pertemuan dengan, antara lain, M. Dawam Rahardjo dan Imaduddin Abdulrachim, keinginan untuk mengadakan simposium itu ternyata berkembang jauh. Bahkan kemudian muncul ide untuk membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Kalau kemudian B.J. Habibie yang dicalonkan sebagai ketuanya, bukan cuma karena Dawam menyarankan mereka menemui Menristek itu -- karena termasuk salah satu pembicara simposium. Juga karena kelima mahasiswa fakultas teknik itu mengaku merasa kagum kepada Habibie, setelah membaca riwayat hidup Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) itu di majalah Kiblat. "Kami bingung, karena tak ada seorang pun idola kami," ucap Erik dan Iqbal saat menemui Habibie. "Kami rasa Bapak bisa dijadikan panutan para pemuda muslim." Habibie memang tidak menolak. "Boleh saja. Asal ideologinya pembangunan nasional untuk menyukseskan masa depan Indonesia," kata Habibie kepada para mahasiswa itu. Habibie sendiri, sebagai menteri, tentu harus berkonsultasi dulu dengan Presiden Soeharto. Selain itu Ketua Dewan Riset Nasional ini juga menganjurkan agar mereka menyusun proposal tentang penyelenggaraan simposium dan pembentukan ICMI dengan paling tidak didukung lima cendekiawan. Belakangan penanda tangan itu membengkak jadi 49, dan 45 di antaranya bergelar PhD dan dua orang profesor. Upaya pengumpulan tanda-tangan itu ternyata tidak gampang. Terutama karena dananya berasal dari kantung anak-anak mahasiswa itu sendiri. Tapi mereka pantang menyerah. "Waktu penyusunan proposal yang pertama, kami tidak punya duit sama sekali. Kami mengumpulkan uang dari kantung masing-masing dan terpaksa utang pada percetakan," tutur Erik. Setelah itu, beberapa kali pertemuan diselenggarakan, antara lain di rumah Habibie. Hadir antara lain Rektor Unibraw, Dekan Fakultas Teknik, dan Erik Salman dkk. Akhirnya Habibie mengungkapkan, Presiden Soeharto merestui simposium dan pembentukan ICMI. Sejak itu embrio ICMI tumbuh cepat. Pada 28 September, sejumlah cendekiawan muslim bertemu dan mereka membentuk tiga tim untuk persiapan simposium -- akan diselenggarakan 6-8 Desember -- dan pembentukan ICMI. Tim Acara dan Makalah (diketuai M. Dawam Rahardjo), Tim Anggaran Dasar (Muslimin Nasution), Tim Program Kerja (Sri Bintang Pamungkas). Menurut Dawam, dalam urusan ICMI itu, ia sudah tiga kali terlibat dalam seminar. Yaitu seminar mengenai Indonesia menghadapi era industrialisasi -- yang sengaja mengundang para cendekiawan muslim. Baru pada pertemuan yang ketiga, ide mendirikan ICMI dimatangkan. "Bahkan AD/ART-nya sudah disusun," katanya. Meski belum resmi berdiri, ICMI sudah melangkah lebih jauh. Pada 26 Oktober lalu, di Departemen Agama, ketiga tim tadi melaporkan gagasan pembentukan ICMI dalam rapat terbatas antara MUI dan para cendekiawan muslim. Lalu, pada 19 November barusan, kembali para cendekiawan dan MUI bertemu di BPPT. Tanggal 25-26 November lalu sekitar 22 orang cendekiawan muslim yang bakal tergabung dalam wadah baru tersebut berkumpul di Tawangmangu, Solo. Mereka merumuskan beberapa usulan untuk GBHN 1993 dan Pembangunan Nasional Jangka Panjang tahap kedua, 1993-2018. Sementara itu, Tim Anggaran Dasar telah melaju dengan rancangannya yang digodok dalam puluhan kali pertemuan sejak akhir September. Pada 28 November silam, Habibie berdialog dengan para pencetus ide ini. Mereka diterima di kediamannya, diselingi salat magrib, selama 7 jam. Terakhir, atas undangan MUI, hajat besar di Malang nanti, kembali dibentang di Departemen Agama, Senin pekan ini. Tak kurang Ketua MUI K.H. Hasan Basri, Menpen Harmoko, dan Menristek Habibie sendiri hadir dalam acara itu. Simposium yang semula lokal berubah jadi peristiwa nasional. Wahyu Muryadi (Jakarta), R. Fadjri (Yogyakarta), Zed Abidien (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus