Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto, menegaskan bahwa kedaulatan negara tidak akan pernah sepadan jika ditukar dengan kepentingan apapun, termasuk buronan Indonesia di Singapura.
“Idealnya kedaulatan negara tidak boleh dibarter dengan kepentingan apapun jika itu merugikan Indonesia,” kata Didik kepada Tempo, Sabtu, 29 Januari 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Didik tersebut menanggapi perjanjian ekstradisi RI-Singapura yang akan diberlakukan bersamaan dengan perjanjian pertahanan (Defence Cooperation Agreement atau DCA) 2007 dan persetujuan tentang penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan Indonesia – Singapura (realignment Flight Information Region atau FIR).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Didik mengatakan, pemberantasan korupsi adalah komitmen dunia, bukan hanya Singapura dan Indonesia. Dalam konteks perjanjian ekstradisi, Didik menilai idealnya RI dan Singapura saling bekerja sama dalam memberantas korupsi tanpa harus barter kepentingan lain.
Politikus Demokrat ini menyinggung perjanjian ekstradisi yang pernah gagal diratifikasi pada 2007. Ia mengatakan, saat itu ada pertimbangan yang cukup fundamental, sehingga DPR harus berhati-hati dalam membahasnya.
“Jika isi perjanjian-perjanjian tersebut mengancam kedaulatan dan merugikan Indonesia, mestinya kita tahu pilihannya, kedaulatan dan keselamatan negara di atas segalanya,” kata dia.
Pada Selasa lalu, Presiden Jokowi dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menyaksikan penandatanganan tiga dokumen kerja sama strategis, yaitu perjanjian FIR, ekstradisi buronan, dan kesepakatan memberlakukan perjanjian pertahanan (DCA) 2007.
Ketiga perjanjian harus diratifikasi lebih dulu di DPR agar bisa diberlakukan. Proses ratifikasi ini pernah mengalami kegagalan pada 2007. Saat itu, RI dan Singapura sepakat agar pengesahan perjanjian ekstradisi sepaket dengan DCA. Namun, Komisi I DPR Periode 2004 – 2009 menolak untuk mengesahkan DCA, sehingga berdampak pada proses ratifikasi Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura. Pasalnya, perjanjian DCA dinilai lebih menguntungkan Singapura dan mengancam kedaulatan Indonesia.
FRISKI RIANA
Baca: Kilas Balik Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura