JENDERAL (pur.) Soemitro, 58, dikenal sebagai salah seorang pemikir yang seorang menulis di media massa. Bekas Wapangab/Pangkopkamtib yang kini telah mencukur habis kumisnya ini pekan lalu ditemui Zaim Uchrowi dari TEMPO. Berikut sebagian wawancara dengan Soemitro itu, khususnya mengenai hubungan antara ABRI dan sipil nanti serta alih generasi. Untuk jangka waktu mendatang, setidaknya tahun 1988, saya melihat perlunya ABRI mengurangi intensitas keterlibatannya dalam politik praktis. Dari segi kenyataan saya melihat ini satu keharusan. Salah satu yang saya nilai, misalnya, adalah infrastruktur ABRI yang terbatas kapasitasnya. Akabri maupun Seskoad hanya mampu memenuhi kebutuhan tenaga dalam organisasi ABRI saja. Jangan harapkan perwira-perwira muda mau jadi bupati nanti. Namun, bukan berarti itu merupakan penarikan anggota ABRI dari semua jabatan di luar organisasi induk. Ada jabatan-jabatan strategis yang harus dipertahankan untuk tetap bisa mempertahankan Pancasila. Misalnya Golkar. Fraksi ABRI juga. Mutlak itu, karena di situ adalah last minute check pada legislatif untuk menjaga agar tidak ada yang pelan-pelan menggeser RI menjadi negara lain yang tidak Pancasila. Selain itu (tenaga ABRI harus tetap ada) pada jabatan strategis di pemerintahan, baik di provinsi maupun di luar negeri. Pokoknya, hanya posisi yang merupakan jaminan mutlak terhadap kelangsungan hidup Pancasila. Untuk ini, perlu ketentuan jelas, mana yang harus di pertahankan. Kalau ada jabatan yang harus diisi ABRI, kita harus memilih orang yang sesuai dengan jabatan itu, bukan sembarang orang. Untuk memilih itu, bila jabatan fungsional semata, ABRI yang menentukan. Sedang bila merupakan jabatan politis, Golkarlah yang harus menilai. Jadi, berdasar faktor obyektif tadi, keterlibatan TNI ABRI dalam bidang sosialpolitik harus dikurangi. Kalau keadaan terlalu berbahaya, mungkin ABRI perlu masuk lagi. Tapi selama sipil bisa, mengapa kita lkut serta? Wong kita pernah mengalami era yang sipilnya bisa, kok. Bisa memerintah, bisa marah, bisa mengendalikan. Artinya, firm dan bisa determinasi. Kalau ada sipil semacam itu, mengapa ABRI ikut-ikut? Ndak perlu. Untuk semua itu, perlu semuanya menjadi dewasa. Jangan hanya ABRI saja yang dewasa, dan sipil tidak. 'Kan Indonesia ini bukan negara ABRI. Caranya, ya itu, dengan memberi kesempatan kepada sipil untuk mengisi posisi-posisi yang memang bisa ditangani sipil. Kalau dewasa sendirian, untuk apa? Karenanya, ABRI harus mendewasakan pula sipil, baik di Golkar, PPP, PDI, atau universitas. Media massa juga perlu didewasakan. Saya melihat keadaan makin sulit bagi Indonesia masa mendatang. Penduduk bertambah, sementara tingkat pertumbuhan ekonomi tampak suram. Akibatnya yang dapat diduga adalah meningkatnya pengangguran. Dan itu merupakan ancaman. Ancaman dari luar mudah kita hadapi, karena kita pasti bersatu melawannya. Karena itu, ancaman dalam negeri itulah yang paling berbahaya, karena banyak yang mungkin memanfaatkan suasana suram itu. Untuk itu ABRI perlu memiliki kriteria tertentu untuk menangani. Yang dibutuhkan sekarang adalah kelincahan sosial. Yaitu kepemimpinan sosial. Tegasnya, yang dibutuhkan adalah citra. Untuk itu perlu contoh dari pimpinan ABRI nantinya bahwa hidupnya tidakjauh dari masyarakat umum. Untuk itu ia harus tidak korup, jujur lahir-batin yang terlihat dari wajahnya. Jadi, perwira ABRI nantinya harus benar-benar merakyat, dekat dengan semua partai dan golongan, tanpa harus main politik praktis. Kader-kader baru ini juga harus menghilangkan sifat feodalisme. Citra feodalisme itu terlalu menggantungkan pada pimpinan. Sungkan menyampaikan pendapat. Takut melukai hati pimpinan, takut kehilangan jabatan. Itu dari bawah harus dibina. Kekhawatiran saya terhadap generasi baru ABRI? Ndak ada. Hanya mungkin kematangan politik masih belum sematang angkatan saya. Tapi itu bukan masalah, karena masih dalam proses. Kita pun ndak satu hari matang dalam bidang politik. S.P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini