Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Enam Belas Bintang Minyak

Memasuki usia seabad perminyakan, Menteri Subroto memberikan penghargaan kepada 8 orang Indonesia & 8 orang asing sebagai pelopor minyak & gas bumi. Mereka a,l Teuku Moehammad Hasan, Anondo, Ibnu Sutowo.(nas)

12 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA boleh dibilang sudah termasuk kategori kakek. Berusia mendekati atau lebih dari 70 tahun, bahkan seorang telah 81, dan tiga orang telah almarhum. Mereka, semuanya 16 orang - delapan orang Indonesia, lima orang Amerika, dan tiga orang Jepang - Selasa pekan ini menerima penghargaan sebagai pelopor minyak dan gas bumi Indonesia dari Menteri Pertambangan dan Energi Subroto. Inilah, agaknya, satu kegiatan pihak departemen tersebut dalam memperingati seabad dunia minyak Indonesia. Sejarah minyak Indonesia dimulai pada 15 Juni 1885, ketika untuk pertama kalinya ditemukan tambang minyak yang cukup komersial di Telaga Said, Sumatera Utara. Tentu, Indonesia waktu itu masih bernama Hindia-Belanda. Dan sampai dengan 1911, satu-satunya perusahaan minyak yang beroperasi di sini hanyalah BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) milik Belanda. Baru kemudian datang perusahaan dari Amerika (Standard Vacuum Oil), lalu Caltex. Dan di tahun 1985 ada 40-an perusahaan minyak yang punya kontrak dengan Pertamina. Hingga 1928 perusahaan minyak di Indonesia memperoleh konsesi selama 75 tahun. Sesudah tahun itu, hak tersebut diubah menjadi konsesi 40 tahun. Tentu saja, makin banyaknya minyak bisa ditambang ini merugikan bagi negeri si empunya minyak. Konsesi hanya berarti penguasa negeri hanya berhak memungut pajak keuntungan. Dan hal ini berlanjut hingga zaman kemerdekaan, yaitu dengan lahirnya Republik Indonesia, 1945. Untunglah, pihak RI cepat berpikir. Ide awalnya muncul dari kepala Mr.Teuku Moehammad Hasan, Ketua Komisi Perdagangan dan Industri DPR (Sementara) pada 1951. Tahun itu, tertanggal 2 Agustus, Moehammad Hasan memelopori mosi untuk mengganti peraturan konsesi dengan sistem kontrak. Mosi ini berhasil dan dikenal dengan Mosi Teuku Moehammad Hasan. Orang inilah, sekarang berusia 79 tahun, salah seorang 16 pendekar minyak itu. Tapi untuk menyusun peraturan baru, negara baru yang lagi berusia enam tahun itu membutuhkan waktu lebih dari delapan tahun. Baru pada 1960 lahir UU no. 44 yang menentukan bahwa pihak kontraktor hanya berhak 40% keuntungan. Sisanya untuk pihak yang memberikan kontrak (waktu itu ada tiga perusahaan minyak negara: Permigan, Pertamin, dan Permina). Dua orang, Ir.Anondo, kini 73, bekas Pembantu Menteri Urusan Pertambangan, dan Mr.Loekman Hanafiah almarhum, dulu Penasihat Ahli Menteri Perindustrian Dasar, mendapat penghargaan karena kegigihannya melaksanakan UU no.44 itu. Juga, Bernie Mills van Benschoten, 73, bekas Sekretaris Dewan Komisaris PT Caltex Pacific Indonesia (CPI). Dalam hal tokoh ini, ia dinilai oleh tim juri yang diketuai oleh Sudarmo Martosewojo, Dirjen Migas, melancarkan proses pelaksanaan UU no.44. Di zaman peralihan, yakni ketika Jepang kalah perang dan Indonesia merdeka, siapa yang berkuasa atas tambang-tambang minyak menjadi tidak jelas. Di waktu itulah ada tiga orang yang berjasa. Hadi Gondowardojo almarhum, bekas Direktur Perusahaan Tambang Minyak Rakyat Indonesia, R. Soedarsono, 73, bekas Wali Kota Jambi, dan Brigjen (purnawirawan) H. Johanes Marcus Pattiasina, 73, bekas Kepala Divisi Proyek-Proyek Pertamina. Mereka berjasa mengambil kilang minyak dari Jepang dan memanfaatkannya di zaman Perang Kemerdekaan. Adapun Pattiasina adalah orang yang menggerakkan pengambialihan kilang minyak di Sumatera Selatan: Sungaigerong, Pendopo, Mangunjaya, dan Prabumulih. Di tempat terakhir itu ia mendirikan Permiri. Kepada Moebanu dari TEMPO, Pattiasina yang Senin malam hadir dalam peringatan seratus tahun minyak Indonesia di Pertamina Pusat, merasa "pantas mendapat penghargaan karena saya sudah sejak 1933 hidup dalam minyak". Masih di tahun 1950-an, yakni pada 1958 untuk pertama kalinya PT Permina berhasil mendobrak pasaran luar negeri. Dan ini adalah atas jasa Harold Hutton almarhum, yang waktu itu menjadi Presdir Refican, perusahaan pengilangan minyak Kanada. Hutton termasuk lolos seleksi juri kepeloporan minyak ini. Kemudian termasuk dianggap layak diberi penghargaan adalah Frederick Todd, bekas Presdir IIAPCo, yang memelopori pengeboran minyak lepas pantai. Dua kulit putih yang juga mendapat penghargaan adalah Arthur Benson Brown, 81, Presdir PT CPI, dan Roy Michael Huffington, Ketua Eksekutif Huffco. Yang pertama karena jasanya meningkatkan investasi PT CPI. Yang kedua karena ikut mendorong pengusahaan gas bumi dan ekspor LNG. Adapun tiga orang minyak Jepang, adalah Shigetada Nishijima, 74, bekas direktur perusahaan minyak Nosodeco. Dialah yang melancarkan hubungan PT Permina dan Kobayashi Group, hingga yang terakhir mau memberikan kredit US$ 53 juta pada 1958, guna pengadaan peralatan teknik dan mesin-mesin. Kemudian Sumio Higashi, 73, Presdir Far East Oil Trading Company, penerobos pintu Jepang bagi minyak Indonesia. Jepang ketiga adalah Kunyo Ito, 70, Wakil Presiden Eksekutif Kansei, sebuah perusahaan listrik, pelopor kontrak pembelian LNG pertama dari Indonesia. Tapi dari semua itu barangkali yang menarik adalah disebut nama Julius Tahija, 69, Ketua Dewan Komisaris PT CPI sejak 1977, seturunnya dia dari jabatan ketua dewan direksi perusahaan minyak Amerika itu. Pertimbangan-nya tentulah karena orang Maluku yang lahir di Surabaya, dan tampaknya dekat dengan kerabat Kasunanan Solo, inilah yang konsekuen melakukan pengindonesiaan PT CPI, terutama pada tingkat pimpinan. Terakhir, Ibnu Sutowo. Ia dipuji-puji sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan sistem bagi-hasil (production sharing), yang untuk pertama kalinya pemilikan berada di pihak Indonesia. Sedang sistem kontrak karya, sekalipun lebih baik dari sistem konsesi, masih mengenal pemilikan langsung orang asing, seperti halnya PT CPI dan PT Stanvac dulu. Adalah Ibnu Sutowo pula yang melihat masa depan LNG akan penting, di saat harga minyak masih naik daun. Tapi di bawah tokoh minyak itu pula, Pertamina, yang kemudian berusaha di macam-macam bidang, nyaris tenggelam dililit utang besar sekitar US$ 10 milyar, sehingga menguras habis cadangan devisa Bank Indonesia pada 1976. Di saat-saat itu pula Bank Indonesia membuat utang komersial dari perbankan internasional, guna mencicil utang-utang Pertamina. Ibnu sendiri di masa jayanya gemar membangun lapangan golf, di samping membantu Perguruan Tinggi Ilmu Quran di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus