Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pesantren mekah dalam cara sorogan

Pesantren alwi al-maliki di mekah yang sekarang di ketuai syekh muhammad ibn alwi ibn abbas al-maliki dikenal di kalangan para santri. hampir 80% diantara para santrinya berasal dari indonesia.

2 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERAKHIR, sejumlah pondok pesantren berdiri di beberapa daerah. Ada Dar al-Tawhil di Malang dan Pamekasan, Dar al-Lughah bi al-Da'wah (Bangil), Dar al-Salam di Surabaya. Beberapa pesantren lain, masih di Jawa Timur, berdiri di Sumenep (Madura), Lamongan, Gresik, Probolinggo, Bondowoso, Banyuwangi, Tuban. Juga ada di daerah Jawa Barat, seperti Jatibarang dan Cirebon. Di Cililitan, Jakarta, ada al-Ha~i, di Palembang ada al-Riyadi, di Lombok ada Nahdlatul Wathan. Bahkan juga ada di Sulawesi. Yang diajarkan masalah-masalah agama yang "murni" seperti tafsir Quran, hadis, tarikh, fiqh. Pelajaran diselen~garakan dengan cara halaqah, yang oleh santri diJawa disebut sorogan. Yaitu: kiai membuka kitab, membaca, dan menjelaskan artinya, sementara para santri yang duduk lesehan mengelilingi sang kiai, mendengar, mencatat, dan menyimak kitab yang sama. Kadang-kadang terjadi diskusi dalam arena kecil itu. Yang mereka kaji ialah "kitab kuning" - buku pelajaran agama dalam bahasa Arab yang dicetak pada kertas berwarna kuning karangan ulama-ulama terkenal, terbitan Kairo, Madinah, Istambul, Beirut. Pendeknya, tak ubahnya seperti pengajaran di pondok pesantren yang sudah lama mentradisi di Indonesia. Dan para kiai pendiri pesantren itu adalah lulusan sebuah pesantren di Mekah. Manakala mereka mencicip ilmu di Mekah sesungguhnya tak aneh. Sebab, para kiai generasi sebelumnya juga melakukannya. Seperti Almarhum K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri pesantren Tebuireng, Jombang, yang juga pendiri Nahdlatul Ulama, K.H. As'ad Syamsul Arifin, yang kini jadi tokoh sentral N.U., K.H. Anwar Musyaddad, pendiri pesantren alMusyaddadiyyah di Garut, Jawa Barat, Almarhum K.H. Abdullah Syafi'i, pendiri pesantren al-Syafiiyyah, dan K.H. Thahir Rahily, pendiri pesantren al-Rahily, dua-duanya di Jakarta. Yang menarik, sumber ilmu mereka juga sama. Hasyim Asy'ari pernah sekelas dengan Syekh Alwi ibn Abbas al-Maliki di madrasah al-Falah Mekah, sementara As'ad Syamsul Arifin, Abdullah Syafi'i, Anwar Musyaddad, dan Thahir Rahily, pernah berguru kepada Syekh Alwi, guru besar Masjid al-Haram, Mekah itu. Sedang para pendiri pesantren baru yang disebut di awal tadi telah berguru kepada putra Syekh Alwi. Dialah Syekh Muhammad ibn Alwi ibn Abbas al-Maliki. Sejak usia belasan tahun sudah mengajar di Masjid al-Haram menggantikan ayahnya yang pada 1971 meninggal dunia, pada 1975 Alwi al-Maliki yunior mendirikan pesantren sendiri di rumahnya, di Utaybiyyah Jarwal, di pusat Kota Mekah. Entah bagaimana, hampir 80% di antara santri di pesantren yang sistem pengajarannya juga dengan cara halaqah alias sorogan itu berasal dari Indonesia. Ada yang istimewa dari pesantren Alwi al-Maliki yunior yang tanpa nama ini. Seluruh santri -- tentu setelah melalui seleksi ketat -- gratis belajar di Mekah itu. Bahkan berangkatnya dari Indonesia dibiayai, sementara sandang, pangan, dan papan selama 6-7 tahun belajar di Tanah Suci ditanggung oleh Syekh. Bahkan mereka mendapat uang saku RS 200 (sekitar Rp 84.000,00) setiap minggu. "Pokoknya, kami tinggal mengaji saja," ujar K.H. Muhyiddin Noor, pimpinan pesantren Dar al-Salam di Surabaya, yang pernah dididik Syekh Alwi selama 8 tahun. Dewasa ini sekitar 80 orang santri sedang mengaji di sana. Selain Syeh Alwi al-Maliki sendiri, di pesantren itu juga mengajar beberapa guru dari Mesir, Aljazair, Tunisia. Secara khusus, Syekh Alwi al-Maliki mengajarkan tafsir Quran, lengkap dengan hadis, termasuk Kutub al-Sittah, ialah enam kitab hadis yang teramat kondang. Ia juga mengajarkan tauhid, fiqh, bahkan juga tasawuf. Ada tiga kitab utama yang menjadi rujukannya, masing-masing Bidayah al-f~idayah dan Ihya Ulum al-Din, karangan Imam Ghazali yang terkenal, serta al-llikam-nya Ibn Atho'illah al-Iskandary. Para lulusan pesantren Alwi al-Maliki selalu dianjurkan mendirikan pesantren di tempat tinggal masing-masing. Bahkan mereka juga mendapat "suntikan dana" yang berasal dari beberapa dermawan Arab Saudi dan negara-negara Islam lainnya. Ada sebuah pesantren yang mendapat Rp 600 juta. Menurut K.H. Ihya Ulumuddin, pendiri pesantren Nur al-Haramain di Malang, lulusan pesantren Mekah yang berasal dari Indonesia kini berkisar 40 ang. Keakraban antara Syeikhuna (guru kami) dengan para santrinya selalu dibina dengan baik. Syekh Alwi al-Maliki sering menyertai santri-santrinya yang telah lulus lalu pulang ke Indonesia seperti kunjungannya kemari medio November lalu, setelah dari Islamic Centre, London. Bahkan ia juga tinggal di sini sebulan, untuk tajdid al-shilah (memperbarui kekerabatan) dengan para bekas santrinya yang telah mendirikan pesantren. Pada 1971 ia ke Indonesia dan diterima Presiden Soeharto. Dalam kunjungannya bulan lalu itu, Syekh Alwi al-Maliki menginap enam malam di pesantren Dar al-Salam di Tambak Anakan, Surabaya. Puluhan mobil mewah berderet di pelataran pesantren, sementara ratusan santri dan puluhan ribu umat Islam menyambutnya. Para santri dan umat Islam Juga menyemut menyambutnya ketika ia berkunjung ke pesantren Nahdlatul Wathan di Lombok. Setelah dari Indonesia, ia ke Malaysia, lalu ke Tunisia, Aljazair, dan Kuwait. Syeikhuna selain sangat populer juga berpengaruh. Tapi itu tak berarti posisinya cukup "aman" di negerinya sendiri. Terutama di kalangan para ulama penganut Wahabi -- paham resmi di Arab Saudi -- Syekh Alwi al-Maliki tak begitu disukai. Bahkan ia pernah dicap musyrik dan kafir -- meskipun belakangan pemerintah melindunginya secara halus. Ceritanya dimulai ketika Syekh Alwi memperdengarkan pengajiannya mengenai kecintaan kepada Nabi Muhammad saw. dan keluarganya, lewat radio Mekah. Kemudian tahun 80-an ia menyelenggarakan peringatan maulid Nabi. Setelah itu, muncul desas-desus: Alwi al-Maliki terlalu mengkultuskan Nabi Muhammad -- hal yang dianggap tabu di kalangan kaum Wahabi. Bahkan belakangan ia menerbitkan buku al-Dakhair al-Muhammadiyyah (Yang Terpendam dari Muhammad). Dalam buku itu ia mengungkap sejumlah hadis -- yang selama ini kurang dikenal orang -- tentang kebesaran Muhammad. Lebih gawat lagi ia juga menegaskan: tawassul, berdoa kepada Allah dengan perantaraan Nabi Muhammad, itu boleh saja. Begitu pula membaca shalawatfatih tidak dilarang. Selawat yang biasa diucapkan oleh penganut tarekat Tilaniyah itu merupakan doa menghalau segala kesulitan. Buku itu kontan disambut Abdullah ibn Sulaiman ibn Munik, ulama dari Riyadh, dengan kitabnya Hiwar ma'a al-Maliki fi Munkiratihi wa Dlalalatihi (Polemik dengan Maliki dalam Hal Kesalahan dan Kesesatannya). Dalam booklet yang diterbitkan Pusat Penelitian, Fatwa, Da'wah dan Irsyad pemerintah Arab Saudi itu, Ibn Munik mengkritik pendapat tentang tawasul dan shalawatfatih. Bahkan ia menuduh Alwi al-Maliki kafir dan musyrik. Tak ayal, para ulama Wahabi -- yang kebanyakan duduk di pemerintahan -- ramai pula menyerang Alwi al-Maliki, hingga media cetak Arab Saudi pada 1983-1985 penuh dengan kecaman atas diri Alwi alMaliki. Doktor ilmu hadis dari Universitas al-Azhar juga dituduh menyimpang dari ajaran Islam yang prinsipiil itu bahkan dituntut bertobat. Ia malah diminta mundur sebagai pengajar di Masjid al-Haram. Tetapi pemerintah Saudi agaknya bersikap netral. Dengan halus, pesantren di Utaybiyyah Jarwal di pusat Kota Mekah itu masih boleh dibuka, tapi dipindahkan dengan dana pemerintah -- ke al-Rosfiyyah di pinggir kota. Barangkali itu dimaksudkan agar konflik antara Alwi al-Maliki dan ulama Wahabi tak mencuat. Tapi mungkin pula lantaran pengaruh Syekh Zaki Yamani, bekas Menteri Perminyakan Arab Saudi itu, yang juga pernah mengaji pada dosen Fakultas Syari'ah Universitas King Abdul Aziz itu. Pada 1984, Alwi al-Maliki, yang telah menulis lebih dari 50 buku - antara lain al-lnsan al-Kamil, sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia (1982) oleh Hasan Baharun, Surabaya - menerbitkan Mafahim Yajibu an Tushahhah (Paham-Paham yang Mesti Diluruskan). Ia menangkis kritikkritik yang diterimanya. Tak kurang dari 15 ulama terkenal mendukung dalam kata pengantar mereka, panjangnya 20 halaman - sebagian anggota Rabithah Alam Islami asal Maroko, Mesir, Tunisia, Mauritania, Bahrain. Di antaranya Husnain Muhammad Makhluf, bekas Mufti Besar Mesir dan Abdul Majid Hasyim, guru besar al-Azhar. Quraisy Syihab, 47 tahun, dosen pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, menilai argumentasi Alwi al-Maliki dalam Mafahim sangat kuat. Dalam hal ziarah kubur Nabi Muhammad saw. yang dilarang (berbuat syirik) oleh kaum Wahabi, misalnya, Alwi al-Maliki merujuk pada pendapat Ibn Taimiyyah -- "kakek" reformis Islam asal Damaskus yang wafat dalam penjara pada abad ke-13 justru lantaran mempertahankan pendapatnya mengenai ziarah kubur. Lebih dari itu, Alwi al-Maliki juga menunjuk argumen Muhammad ibn Abdulwahhab (wafat pada abad ke18), pendiri paham Wahabi sendiri. Pada tahun itu juga, 1984, muncul dua buku mendukung pendapat Alwi al-Maliki: al~ahdzir min al-lghtirar bima Ja-a fi Kitab alHiwar (Awas Tertipu oleh Isi Buku Polemik), susunan Abd al-Hayy Umari dan Abd al Karim Murad, dua-duanya dari Fez, Maroko, dan Adillat Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah (Argumentasi Ahli Sunah wal Jama'ah), karya Yusuf Sayyid Hasyim Rifa'i, ulama dari Kuwait. Kedua buku yang mengemukakan puluhan hadis sahih mendukung pendapat Alwi al-Maliki itu juga sangat menyayangkan Ibn Munik dalam bukunya Hiwar yang mengafirkan Alwi al-Maliki. Bagi Quraisy Syihab, munculnya Alwi al-Maliki merupakan fenomena baru di dunia Islam. Memang ironis bahwa Arab Saudi, tempat lahirnya Islam, sempat memasung kebebasan berpendapat. Ulama besar seperti Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi itu, dan Ibn Taimiyyah sempat menghabiskan usia mereka dalam penjara. "Padahal, bagi kita di Indonesia, soal ziarah kubur dan tawassul itu soal biasa. Dan itu sebenarnya soal lama," ujar Quraisy Syihab. Bisa dimaklumi. Sebab, sampai kini, menurut doktor tafsir Quran dari al-Azhar itu, tak sedikit ulama Arab Saudi yang masih konvensional. "Malah ada di antara mereka yang sampai sekarang tidak percaya sudah ada manusia menginjakkan kakinya di daratan bulan," katanya. Budiman S. HArtoyo, Ahmadie Thaha (Jakarta) & Wahyu Muryadi (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus