SUARA tembakan merobek malam. Wahyudin roboh di semak-semak. Lima temannya yang sedang meronda di pos jaga Desa Maleitojo, Poso, Sulawesi Tengah, langsung kabur. Beberapa menit sebelumnya, Wahyudin, yang tengah bermain kartu dengan temannya, pamit buang air kecil. Ia bertahan hidup. ?Saya dikira sudah mati, karena itu saya ditinggalkan yang lain,? kata Wahyudin. Ia mengaku sempat mendengar serentetan tembakan dari arah pos penjagaan.
Musibah itu terjadi tiga minggu silam. Wahyudin, 25 tahun, kini terbaring dengan sisa pelor bersarang di paru-paru. Saraf yang menghubungkan otak dengan kaki pemanjat kelapa ini rusak. Rumah sakit di Poso tidak mampu menyembuhkan Wahyudin. Marifah, istrinya, yang tengah mengandung tujuh bulan, berpikir keras bagaimana ia harus menghidupi anak laki-lakinya yang baru berumur dua tahun. Sang istri hidup terpisah dari Wahyudin di tempat pengungsian. Wahyudin adalah korban kedua dari aksi penembak misterius sejak awal tahun ini. Penembak gelap itu diduga merupakan gerombolan sekitar 20 orang.
Tak cuma penembakan yang terjadi. Di Poso, sweeping dan penghadangan terhadap kendaraan umum, kendaraan pribadi, ataupun angkutan juga seperti jadi momok menakutkan. Dan semua ini adalah akibat dari pertikaian antara Kelompok Merah, yang Kristen, dan Kelompok Putih, yang Islam, di berbagai penjuru Kabupaten Poso. Sejak awal tahun ini, sudah delapan orang tewas terkena ledakan bom atau tewas dalam aksi saling serang.
Poso pun disergap ketakutan luar biasa. Penduduk memilih diam di rumah setelah pukul delapan malam. Siang hari pun hanya satu-dua kendaraan yang berani melintas. Kesibukan yang paling berarti hanya di sekitar pasar Kota Poso. Sejauh mata memandang, yang tampak hanya rumah-rumah tanpa atap dengan tembok-tembok legam bekas terbakar. Sekitar 5.000 orang mengungsi keluar Poso. Mereka meninggalkan rumah dan tanaman cokelat yang siap dipanen. Padahal, Poso adalah daerah makmur, yang dikenal sebagai kawasan persimpangan dari segala penjuru Sulawesi.
Sejauh ini, aparat keamanan belum bisa mengidentifikasi kelompok penembak, mengetahui modus operandi, apalagi menangkap tersangka pelaku. Satu-satunya petunjuk adalah senapan rakitan yang digunakan penembak misterius itu. Mereka memakai peluru cis dari timah bulat yang dicetak sendiri.
Aksi penembak gelap ini adalah ?sambungan? dari rentetan kerusuhan pada Desember 1998. Reda sebentar, pecah lagi rusuh pada April, Juni, dan September tahun lalu. Poso belum sembuh. Hampir 250 jiwa melayang dalam beberapa periode kerusuhan itu. Kabupaten yang biasa menjadi tempat tujuan pendatang ini sekarang seperti tanah yang ditinggalkan. Beningnya air Danau Poso dan indahnya pantai Teluk Tolo tak mampu menarik pelancong.
Jangankan pelancong, penduduk asli Poso saja memilih tinggal di luar wilayah konflik, seperti di Kelurahan Kasiguncu dan Desa Pinedapa di Kecamatan Poso Pesisir, Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota, serta Kecamatan Lage. Di tempat-tempat itu pun masih sering terjadi pembakaran rumah dan penghadangan oleh kelompok bersenjata. Pos-pos keamanan yang dibangun aparat tidak bisa menjamin rasa aman penduduk. Itu sebabnya sebagian penduduk memilih tinggal berjejal-jejal di Stadion Olahraga Gawalisa, Palu, sejak kerusuhan pertama kali meledak.
Upaya menyelamatkan Poso juga belum beranjak maju. Tim rekonsiliasi yang dibentuk pemerintah setempat tidak mampu bekerja optimal. Menurut ketuanya, Kieman Abdullah, tim mereka baru bersiap bekerja lagi setelah September lalu 14 tetua adat?pernah menghadap Presiden Abdurrahman Wahid?membacakan kesepakatan rujuk Sintuwu Maroso Poso. Kesepakatan untuk mengakhiri kerusuhan itu terbukti tidak mujarab. ?Karena yang membuat janji hanyalah sebatas elite politik,? kata Haji Yahya Al Amrie dari Dewan Ulama Alkhairaat. Malah, kini para elite lebih sibuk mengurusi pemilihan jabatan daerah ketimbang mengupayakan kedamaian di sana.
Padahal, banyak soal belum dilakukan. Misalnya, menangkap orang yang bersalah dari pihak Merah atau Putih, mengembalikan hak yang dirampas kepada pemiliknya, dan melucuti senjata kedua kelompok. Barulah setelah itu mencari penyebab mengapa saling serang kelompok yang berbeda agama ini terjadi. Celakanya, pemerintah Jakarta menganggap konflik tidak serius dan pemerintah Poso menganggap urusan sudah tuntas. Jika salah urus, Poso bisa meledak seperti Aceh dan Ambon
Bina Bektiati, Darlis Muhamad (Poso)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini