Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra berharap momentum peringatan Hari HAM Sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Desember dapat menggugah kesadaran bersama terkait pentingnya nilai-nilai HAM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Semoga peringatan malam ini menggugah kesadaran kita bersama akan pentingnya persoalan-persoalan HAM yang menjadi agenda pemerintah baru sekarang untuk kita majukan di masa depan,” kata Yusril saat peringatan Hari HAM Sedunia ke-76 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Selasa malam, 10 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yusril juga berharap agar momentum ini menyadarkan semua pihak bahwa ada persoalan HAM yang perlu ditegakkan dan diselesaikan.
“Semoga peringatan ini mengilhami kita semua, ada persoalan HAM yang harus kita lindungi, kita majukan, dan kita bela bersama, terutama warga masyarakat kita yang mengalami persoalan-persoalan HAM,” ucapnya.
Tidak terperangkap dalam dendam
Di sisi lain, Menko mengimbau semua pihak untuk tidak terperangkap dalam dendam dan permusuhan terkait pelanggaran HAM berat masa lalu. Ia mengajak pihak terkait untuk menyelesaikan persoalan HAM di masa lampau sambil menatap masa depan.
“Kita memang jangan terlalu banyak terperangkap oleh masa lalu. Kita harus melihat ke depan. Kita mencatat peristiwa-peristiwa masa lalu, kita menyelesaikan sejauh mungkin dapat diselesaikan, tapi janganlah kita terlibat di dalam dendam dan permusuhan,” ujar Yusril.
Dalam pidatonya, Yusril bercerita tentang perjuangan penegakan HAM di Tanah Air. Ia mengakui banyak kasus HAM yang terjadi di masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, tetapi negara tetap berupaya untuk menyelesaikannya.
Menurut dia, upaya-upaya tersebut di antaranya adalah amandemen UUD NRI Tahun 1945 dengan menuangkan pasal-pasal menyangkut hak asasi, pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pengesahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Ia menjelaskan, terhadap kasus-kasus masa lalu yang buktinya masih dapat dikumpulkan, pelakunya masih bisa didakwa, dan korbannya masih dapat dihadirkan sebagai saksi di persidangan, maka pemerintah membentuk pengadilan HAM ad-hoc untuk menyelesaikannya.
“Terhadap kasus-kasus yang terjadi di masa sekarang dan di masa depan, kita berhasil membentuk pengadilan HAM biasa untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat,” sambung dia.
Kembali susun UU KKR
Sementara itu, terhadap kasus yang tidak dapat lagi direkonstruksi, Indonesia pernah memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Akan tetapi, undang-undang tersebut telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai tidak memiliki kepastian hukum.
Yusril menyebut, pemerintah akan kembali menyusun UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa yang lalu, tanpa mengenal batas waktu.
Pemerintah, imbuh Menko, berkomitmen menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sekaligus menegakkan dan menghormati nilai-nilai hak asasi.
“Ini merupakan suatu tantangan yang berat bagi kita semua. Kita harus menyelesaikan, banyak persoalan-persoalan HAM yang kita hadapi bersama, baik terjadi di masa yang lalu, masa sekarang, maupun kita harus mencegah hal-hal yang seperti itu agar tidak terulang di masa-masa yang akan datang,” kata dia.
Ia pun menegaskan bahwa pembangunan Indonesia ke depan akan berbasis HAM, sebagaimana konstitusi mengamanatkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Pilihan Editor: Respons Bahlil soal Jokowi Diberikan Jabatan Khusus di Golkar