Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Poligami No, Kawin Kontrak Yes

Tim kesetaraan gender Departemen Agama menawarkan draf hukum persamaan derajat antara suami dan istri. Mereka dituding murtad.

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperempat abad menjadi penghulu, belum pernah Budiman alias Imam Ghazali segugup sekarang. Lelaki 59 tahun itu tak sedang menghadapi pasangan yang sedang bertengkar hebat. Ia juga bukan tengah bertemu dengan orang tua yang hendak menikahkan anak yang hamil di luar nikah. Di depannya hanya setumpuk kertas bertajuk "Pembaharuan Hukum Islam: Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam". "Saya takut dosa. Saya takut menikahkan orang. Saya mau pensiun saja," kata penghulu Kelurahan Kebonsari, Jember, Jawa Timur itu.

Apa yang ditakutkan Budiman adalah sebuah usul pembaruan hukum Islam yang diajukan tim pengarus-utamaan gender Departemen Agama. Lebih dari sebuah usulan, draf setebal 118 halaman itu mengajukan pasal-pasal yang menyentak karena menyangkut isu sensitif. Draf itu misalnya melarang seseorang berpoligami. Seorang perempuan, asalkan telah berusia 21 tahun, boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali dan orang tua. Pasangan yang mau kawin kontrak (kawin dengan jangka waktu tertentu untuk kemudian bercerai) juga dibolehkan. Nikah juga dinyatakan bukan ibadah?sesuatu yang diyakini pemeluk Islam selama ini. "Ini hukum iblis," kata K.H. Ali Mustafa Ya'cub, anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia.

MUI tak hanya berteriak. Sabtu lalu mereka membahas draf ini dalam sebuah pertemuan di lantai dasar Masjid Istiqlal Jakarta. Para kiai sepakat menolak draf yang mereka nilai sesat ini. Sebagian kiai bahkan mengusulkan agar MUI memanggil dan mengadili kiai Majelis Ulama yang terlibat dalam penyusunan draf. Yang lain mengusulkan agar naskah ini dibiarkan saja. Toh, nanti masyarakat yang bakal menolak. Satu jam mengunci diri dalam rapat tertutup, Komisi Fatwa memutuskan untuk membawa kasus ini kepada Dewan Pimpinan MUI, Selasa pekan ini.

Kontroversi ini berawal tiga tahun lalu. Ketika itu Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mencetuskan kebijakan toleransi nol (zero tolerance policy) untuk semua jenis kekerasan terhadap perempuan. Kebijakan ini ditangkap oleh tim pengarus-utamaan gender Departemen Agama.

Kebetulan saat itu Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Mahkamah Agung tengah mengusulkan agar status Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diterbitkan pada 1991 ditingkatkan statusnya dari instruksi presiden (inpres) menjadi undang-undang. Dari tiga soal yang termaktub dalam inpres itu, soal wakaf malah sudah disahkan menjadi undang-undang. Soal perkawinan dan waris masih dibahas.

Padahal Kompilasi lama yang mengadopsi mazhab Syafi'i ini dianggap tak memihak kesetaraan gender. Rancangan undang-undang itu dianggap bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Juga UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yang menekankan perlindungan dan penguatan terhadap kaum hawa.

Selama ini Kompilasi yang lama merupakan rujukan utama penghulu dan hakim pengadilan agama seperti Budiman. Landasan hukum yang mengatur soal perkawinan, perwakafan, dan kewarisan itu muncul untuk menyeragamkan hukum sebagai pedoman para hakim peradilan agama. Sebelum Kompilasi Hukum Islam 1991 keluar, hakim peradilan agama sering mengambil keputusan beragam untuk kasus yang serupa. Soalnya, mereka mengambil keputusan berdasarkan ijtihad masing-masing, yang sumbernya dari bacaan kitab fikih mereka sendiri.

Tim pengarus-utamaan gender bekerja mulai Juli 2001. Tujuannya memberikan alternatif kepada publik, sambil berharap siapa tahu draf mereka bisa menahan laju Kompilasi Hukum Islam lama, yang saat ini sudah sampai ke meja Presiden Megawati. "Kami mengumpulkan sejumlah desertasi, tesis, dan hasil penelitian yang menunjukkan perlunya adanya revisi terhadap Kompilasi Hukum Islam," kata Dr. Siti Musdah Mulia, ketua tim Departemen Agama itu.

Diskusi digelar dan berlangsung seru. Tim menginventarisasi setidaknya ada 23 isu yang bakal memancing pro dan kontra. Selain soal poligami dan kawin kontrak, draf itu juga mengatur soal kesetaraan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan, perkawinan beda agama, hingga soal mahar (lihat tabel).

Siti Musdah Mulia, ketua penyusun KHI Gender ini, menyadari sejak awal beberapa persoalan itu memang bakal menjadi kontroversi. "Diskusi saat penyusunannya saja sudah berjalan alot," kata pengajar pascasarjana Universitas Islam Syarif Hidyatullah Jakarta ini (lihat Poligami Haram karena Eksesnya).

Sebut saja soal kawin kontrak?Musdah lebih suka menyebutnya dengan istilah perjanjian perkawinan. Pada pasal 28 disebutkan, apabila calon suami istri bermaksud menentukan jangka waktu perkawinan, kedua pihak harus membuat perjanjian perkawinan secara tertulis. Memang bisa saja seseorang menjalin kontrak untuk menikah selama seminggu saat bervakansi ke Bali, untuk kemudian bercerai setelah masa liburan usai.

Tapi, "Jangan lupa, Anda terikat dengan pasal-pasal lain dalam undang-undang ini," kata Moqsith Ghazali, salah satu anggota tim. Pertama soal larangan berpoligami yang diatur pada pasal 3. Kemudian pada pasal 88, baik suami maupun istri terikat masa idah (masa menanti setelah perceraian) selama tiga bulan. Mantan istri juga wajib dibiayai selama masa idah. Dan yang terpenting, "nikah vakansi" itu harus dicatat oleh catatan sipil yang merupakan organ negara. "Pencatatan nikah adalah pagar agar undang-undang ini tidak disalahgunakan," kata Moqsith, aktivis Jaringan Islam Liberal.

Menurut Imam Nakho'i, pengajar pada Ma'had Aly, Pesantren Asembagus, Situbondo, salah seorang peserta diskusi, soal kawin kontrak ini alot diperdebatkan. "Yang tidak setuju berpegang pada literatur Islam non-Syi'ah serta pertimbangan suasana sosiologis umat Islam di Indonesia. Yang setuju berpegang pada literatur Syi'ah yang memang membolehkan nikah mut'ah," kata Imam.

Hal lain yang juga ramai dibela dan diserang adalah soal mahar atau mas kawin. Selama ini pemberian mahar yang hanya dilakukan calon suami kepada pasangannya terselubung maksud pembelian. "Terdapat anggapan di alam bawah sadar seorang suami bahwa dirinya telah membeli (alat kelamin) istri sehingga leluasa memperlakukannya," begitu kesimpulan tim, seperti tertera dalam pengantar draf. Karena itu, pada pasal 16 disebutkan calon suami maupun calon istri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya dengan disesuaikan dengan adat-istiadat setempat.

Pasal-pasal yang mengegerkan itu kemudian disusun lagi oleh tim yang terdiri dari 11 orang. Mereka juga mengundang 16 akademisi dan peneliti dari berbagai institusi di daerah sebagai kontributor. Namun, dalam pembahasan yang mereka lakukan di salah satu hotel di Jakarta, April lalu, tidak terjadi perdebatan sengit. Seperti juga anggota tim inti, para kontributor ini juga dikenal sebagai orang-orang yang peduli dan kerap mengkampanyekan kesetaraan gender.

Sebutlah misalnya wakil dari Jawa Timur, Imam Nakho'i. Dia mengaku bekerja selama tiga bulan dengan dibantu para santrinya. Setelah membolak-balik aneka kitab klasik, hasilnya memang menakjubkan. Ternyata, dari semua poin yang diajukan kepadanya, semuanya terdapat rujukannya dalam kitab-kitab lama. "Tugas saya mencari pembenaran dari kitab-kitab kuning," kata Nakho'i.

Dari Yogyakarta hadir Dr. Hamim Ilyas, M.A., dosen IAIN Sunan Kalijaga yang aktif dalam berbagai kegiatan organisasi pembela perempuan. Diundang pula Fatimah Amelia, seorang aktivis perempuan. "Pembahasan itu memang tidak seru karena yang hadir di sana sudah sealur," kata Hamim, yang mendapat jatah membahas masalah nafkah suami dan istri.

Setelah semua beres, draf lalu dicetak rapi. Materi itu Senin pekan lalu dipresentasikan dalam sebuah seminar. Pro dan kontra pun merebak. Siti Musdah mengaku sehari setelah seminar itu ia didatangi aktivis Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Belum sampai marah-marah memang, "Mereka hanya meminta draf untuk dipelajari lebih lanjut," kata Musdah.

Suara keras justru datang dari MUI. "Jika diikuti, kita bisa menjadi murtad," kata K.H. Ali Mustafa Ya'cub. Selama ini, kata Ali, UU Perkawinan Tahun 1974 dan Inpres No. 1 Tahun 1991 sudah cukup baik dan tak menimbulkan masalah. "Menteri Agama harus bertanggung jawab soal ini," katanya.

Fatimah Amelia mengkhawatirkan KHI Gender ini memunculkan tirani baru. Sebab, sebelumnya perempuan berada pada posisi lemah. "Sebelum disahkan, KHI Gender itu harus dibahas secara sungguh-sungguh. Jangan kemudian muncul kekhawatiran tersebut," katanya.

K.H. Mas Ahmad Subadar, pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Ulum, Besuki, Pasuruan, bahkan bertekad mengganjal draf ini dengan mempengaruhi ulama-ulama yang kini duduk di DPR. "Draf ini hukumnya wajib dilanggar," kata Kiai Nahdlatul Ulama itu.

Pembelaan datang dari kalangan feminis dan aktivis Islam liberal. "Itu revolusioner. Sebuah upaya untuk menanamkan semangat kesetaraan gender dan pluralisme," kata artis Nurul Arifin (lihat Menuding Komik, Mendukung Gender).

Ulil Abshar Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal, berpendapat senada. "Usaha untuk menggeser batas-batas yang mungkin diperbaharui dalam hukum Islam layak terus-menerus dicoba. KHI (baru) adalah ladang untuk percobaan itu," tuturnya (lihat Percobaan Pembaharuan).

Lalu akankah draf ini mulus melaju menjadi undang-undang? Banyak yang meragukannya. "Saya mendengar Mahkamah Agung sudah bertekad menjegal draf ini," kata Moqsith Ghazali.

Menurut Wahyu Widiana, Direktur Pembinaan Peradilan Agama Mahkamah Agung, KHI Gender termasuk materi yang masih didiskusikan Departemen Agama dan sejumlah ahli. "Kita lihat saja apakah nanti akan dipakai atau dibuang," katanya.

Di DPR, ranjau juga bertebaran. Politisi Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang, dan Partai Persatuan Pembangunan diduga akan mengganjal rancangan ini. Tapi Siti Musdah tak berkecil hati. "Paling tidak kita sudah berusaha," katanya.

Arif Zulkifli, Agung Rulianto, Agus Hidayat, Syaiful Amin (Yogyakarta), Mahbub Djuanidi (Situbondo)


Perjalanan Panjang Hukum Islam

Juni 1937Pemerintah penjajahan Belanda mengeluarkan ordonansi tentang perkawinan tercatat.

1950Pemerintah mencoba mengajukan RUU Perkawinan. Gagal, karena penolakan masyarakat, termasuk organisasi perempuan berbasis keagamaan.

31 Juli 1973 Pemerintah menyampaikan RUU Perkawinan ke DPR. Pembahasan di parlemen diwarnai demo di ruang sidang.

22 Desember 1973Undang-Undang Perkawinan disetujui parlemen.

1989Undang-Undang No. 7 tentang Peradilan Agama disahkan. Di sana diatur hak pengadilan agama untuk mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah wakaf, dan sedekah.

1991Kompilasi Hukum Islam berbentuk instruksi presiden disahkan. Di dalamnya diatur hukum perkawinan, pewarisan, dan perwakafan.

23 September 1999Presiden B.J. Habibie mengesahkan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

28 September 2004 DPR menyetujui RUU Wakaf yang diajukan pemerintah.

Darmawan Sepriyossa


Kompilasi Hukum Islam:Lama versus Baru

Hukum Perkawinan
Isu KrusialKHI ?Lama?Draf KHI Baru
PernikahanPelaksanaannya merupakan ibadah (pasal 2).Bukan ibadah, hanya kontrak yang didasarkan pada kesepakatan kedua pihak (pasal 2).
Wali nikahMerupakan rukun perkawinan (pasal 14).Bukan rukun perkawinan (pasal 6).
PencatatanTidak termasuk rukun perkawinan (pasal 14).Merupakan rukun perkawinan (pasal 6).
Kesaksian perempuan dalam perkawinanPerempuan tak boleh menjadi saksi (pasal 25).Seperti laki-laki, perempuan boleh menjadi saksi (pasal 11).
Batas minimal usia perkawinan16 tahun bagi calon istri, 19 tahun bagi calon suami (pasal 15).19 tahun, dengan tidak membedakan calon istri dan suami (pasal 7).
Perkawinan seorang gadis (perempuan yang belum pernah kawin)Berapa pun usianya, gadis dikawinkan oleh wali atau yang mewakilinya (pasal 14).Gadis pada usia 21 tahun dapat mengawinkan dirinya sendiri (pasal 7).
MaharDiberikan calon suami kepada calon istri (pasal 30).Mahar dimungkinkan diberikan oleh calon istri kepada calon suami (pasal 16).
Kedudukan suami-istriSuami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga (pasal 79).Kedudukan, hak, dan kewajiban suami-istri adalah setara (pasal 49).
Perjanjian perkawinan berjangkaTidak diaturDiatur, sehingga perkawinan dinyatakan bubar bersamaan dengan berakhirnya masa perkawinan (pasal 22 dan 28).
Pencarian nafkahKewajiban suami (pasal 80).Kewajiban bersama suami dan istri (pasal 51).
Kawin beda agamaMutlak tidak boleh (pasal 44 dan 61).Boleh, selama dalam batas untuk mencapai tujuan perkawinan (pasal 54).
PoligamiBoleh, dengan catatan (pasal 55-59).Mutlak tidak boleh (pasal 3).
IdahIdah hanya untuk istri (pasal 153).Idah berlaku bagi istri dan suami (pasal 88).
Idah akibat perceraianDidasarkan pada terjadinya dhuhul (pasal 153).Didasarkan pada terjadinya akad, bukan pada dhuhul (pasal 88).
Ihdad (artinya sama dengan idah)Ihdad hanya untuk istri (pasal 170).Selain istri, ihdad juga dikenakan buat suami (pasal 1112).
Nusyuz (membangkang terhadap kewajiban)Nusyuz hanya dimungkinkan oleh istri (pasal 84).Nusyuz juga bisa dilakukan suami (pasal 53).
Khulu (perceraian atas inisiatif istri)Khulu dinyatakan sebagai talak bain sughra, sehingga tidak boleh rujuk melainkan harus akad nikah baru (pasal 119).Khulu dan talak adalah sama sehingga pelakunya boleh rujuk (pasal 1 dan 59).
Hak rujuk (bersatu kembali)Hak rujuk dimiliki suami, bukan istri (pasal 163).Suami maupun istri memiliki hak untuk rujuk (pasal 105).
Hukum Pewarisan
Isu KrusialKHI ?Lama?Draf KHI Baru
Waris beda agamaBeda agama menjadi penghalang proses waris-mewarisi (pasal 171-172).Beda agama bukan penghalang proses waris-mewarisi (pasal 2).
Anak di luar perkawinanHanya memiliki hubungan waris dari ibunya, sekalipun ayah biologisnya sudah diketahui (pasal 186).Jika diketahui ayah biologisnya, si anak tetap memiliki hak waris dari ayah biologisnya (pasal 16).
Aul dan Radd (penambahan dan pengurangan proporsi hak waris)Dipakai (pasal 192 dan 193).Dihapus.
Pembagian waris bagi anak laki-laki dan perempuanBagian anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1.Proporsinya sama, 1 : 1 atau 2 : 2 (pasal 8).
Hukum Wakaf
Isu KrusialKHI ?Lama?Draf KHI Baru
Hak kekayaan intelektual sebagai barang wakafTidak diatur.Diatur (pasal 11).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus