Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Sleman - Seorang pengajar sekolah luar biasa di Jember, Jawa Timur, terenyuh ketika membaca berita sekelompok remaja difabel terjerumus pergaulan bebas. Pria bernama Masrorul Mais ini prihatin karena remaja tuli yang masih duduk di bangku SMP itu saling berganti pasangan dalam kelompok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya sedih karena mereka sebenarnya tidak tahu batasan dalam berhubungan," kata Mais saat ditemui Tempo di sela acara National Youth Camp Sexual and Reproductive Health and Rights atau SRHR di Embung Kaliaji, Desa Donokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, pada pertengahan Juli 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ingin hanya mengelus dada, Masrorul Mais yang juga dosen di IKIP Jember ingin agar para calon guru yang dia didik mengetahui bagaimana cara menyampaikan pengetahuan kesehatan reproduksi ke peserta didik penyandang disabilitas. Program Studi Pendidikan Luar Biasa di IKIP Jember yang dikepalai oleh Mais juga kerap menjadi rujukan polisi yang sedang menangani kasus pidana berkaitan dengan difabel.
Ketua Program Studi Pendidikan Luar Biasa IKIP Jember, Masrorul Mais. TEMPO | Pito Agustin Rudiana
Masrorul Mais menjelaskan mayoritas difabel yang rentan mengalami pelecehan dan kekerasan seksual adalah tuli dan difabel mental. Musababnya, tingkat pemahaman mereka tentang kesehatan reproduksi, bagaimana berinteraksi dengan lawan jenis, bagaimana menolak ajakan berhubungan seksual, masih minim didapatkan di daerah.
"Yang sekolah saja belum tentu dapat, apalagi yang enggak sekolah," kata Mais. Dengan begitu, pengetahuan kesehatan reproduksi bagi anak berkebutuhan khusus penting untuk dibahas. Mais yang sehari-hari menggunakan kursi roda itu menangkap peluang di awal 2013. Saat itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan agar perguruan tinggi membuat kurikulum Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia atau KKNI.
Setiap empat tahun sekali, kurikulum itu akan diperbarui agar tak ketinggalan zaman. Terlebih pembaruan kurikulum Pendidikan Luar Biasa amat dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan riil calon guru, khususnya pengajar anak berkebutuhan khusus
Ketika Mais meminta masukan dari para guru anak berkebutuhan khusus dan pengawas sekolah luar biasa, sebagian besar dari mereka membenarkan bahwa kebutuhan pengetahuan kesehatan reproduksi sangat mendesak. Terlebih di era keterbukaan informasi yang membuat orang bebas mengakses informasi lewat jaringan internet, tanpa tahu dasar ilmunya lebih dulu.
"Kalau informasi ini dikonsumsi oleh anak berkebutuhan khusus, tapi tidak disikapi dengan baik, tidak diajari mengelola hasrat seksualnya, maka bisa menjadi bom bagi mereka," kata Mais. Kesempatan itu kemudian menjadi momentum bagi Mais untuk memasukkan kurikulum pendidikan kesehatan reproduksi di kampus tempatnya mengajar. Mais memasukkan materi dan argumentasi untuk dipresentasikan dalam rapat komisi di hadapan dekanat dan rektorat IKIP Jember.
Benar saja, tantangan awal harus dihadapinya di meja dekanat dan rektorat. Mereka mempertanyakan urgensi mata kuliah kesehatan reproduksi di Program Studi Pendidikan Luar Biasa. Mereka menganggap mata kuliah itu akan mengupas tuntas organ kelamin manusia. Lagi-lagi budaya timur masih menganggap tabu urusan reproduksi manusia, bahkan kesehatannya. "Mereka mulai memahami ketika saya memaparkan. Kejadian dan korban sudah ada. Kami tak ingin ada kejadian dan korban baru lagi," kata Mais.
Sejak 2013 itulah mata kuliah kesehatan reproduksi ada di IKIP Jember. Bahkan Mais berani memastikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa dengan memasukkan mata kuliah kesehatan reproduksi untuk anak berkebutuhan khusus baru tersedia di IKIP Jember. Dia berharap mata kuliah tersebut juga diajarkan di kampus lain.
Selanjutnya:
Masrurol Mais menyiasati agar mata kuliah kesehatan reproduksi menjadi wajib di IKIP Jember
<!--more-->
Kendati usulannya sudah diakomodir, mata kuliah kesehatan reproduksi belum bisa menjadi mata kuliah wajib karena terbentur aturan kolegial Program Studi Pendidikan Luar Biasa se-Indonesia. Di situ tertera mata kuliah yang terkait kesehatan dan psikologi masuk kategori mata kuliah pilihan. "Meski pilihan, saya mewajibkan mahasiswa untuk memilihnya," kata Mais sambil tertawa.
Dalam penerapannya, Mais masih terganjal beberapa tantangan. Mulaya mahasiswa yang notabene 90 persen guru yang sudah mengajar dan sisanya adalah calon guru masih malu-malu. Mereka menganggap kesehatan reproduksi sebagai sesuatu yang tak patut dibahas. Namun setelah dijelaskan bahwa itu adalah pembahasan akademis, mahasiswa mulai tertarik.
Terlebih ini adalah pengetahuan yang menyangkut anak berkebutuhan khusus. Misalnya, bagaimana menjelaskan kesehatan reproduksi kepada anak berkebutuhan khusus sesuai karakteristik disabilitas, usia, dan kemampuannya. Juga bagaimana memahamkan konsep-konsep abstrak dalam kesehatan reproduksi kepada anak berkebutuhan khusus.
Difabel tuli mempunyai keunikan karena sulit memahami konsep atau istilah yang abstrak, seperti bagaimana menjelaskan konsep hubungan lawan jenis yang tepat. "Karena kosakata tuli itu terbatas, miskin bahasa," kata Mais. Selain pemahamannya perlu diajarkan sejak dini, juga pengajarannya lebih banyak dilakukan lewat alat bantu media, semisal alat peraga dan video.
Mais mencontohkan. Dalam seks bebas yang dijelaskan adalah soal risiko yang ditimbulkan. Seperti penyakit kelamin, semacam AIDS dan sifilis. Bentuk konkret lainnya, seperti akibat hamil di luar nikah, yakni keluarga malu. "Pengajarannya secara konkrit dijelaskan dalam bentuk gambar atau video, atau dengan boneka peraga," kata Mais.
Begitu pula pemahaman terhadap difabel mental juga disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan dengan gambar. Lantaran pemahaman bahasa yang kompleks bagi difabel mental masih minim. Selain itu pelibatan orang tua diperlukan untuk telaten mengulang di rumah dari yang telah diajarkan di sekolah. "Difabel grahita cenderung mudah lupa pada apa yang telah diajarkan. Jadi harus terus diulang supaya ingat," ucap dia.
Tantangan lainnya adalah, tak semua dosen mau dan mampu mengampu mata kuliah tersebut. Butuh banyak membaca literatur, kajian, serta punya pengalaman dan pelatihan soal kesehatan reproduksi. Sementara buku panduan lengkap, literatur, dan komponen pendukung pembelajaran mata kuliah pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak berkebutuhan pun terbatas.