Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti pihaknya memiliki tiga opsi mekanisme libur yang akan diterapkan pada Ramadhan 2025 mendatang. Ketiga opsi libur Ramadan tersebut merupakan usulan-usulan yang ditemukan di masyarakat, salah satunya adalah dengan menetapkan libur sebulan penuh selama Ramadan. Wacana tersebut mendapat berbagai tanggapan dari sejumlah pihak.
Muhammadiyah Siapkan Paket Khusus
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir menanggapi wacana libur sebulan Ramadan dengan segera menyiapkan paket khusus yang akan digunakan untuk mengganti aktivitas belajar-mengajar apabila pemerintah dengan resmi mengumumkan liburan satu bulan penuh sekolah selama Ramadan.
Haedar mengungkapkan paket khusus dapat berbentuk seperti kegiatan keagamaan di masjid maupun sekolah. Para guru atau tenaga pengajar dapat berperan menjadi pengawas. Kegiatan keagamaan memungkinkan tetap berlangsungnya pembinaan karakter kepada para peserta didik saat libur Ramadan.
“Kami mendukung, tapi ada tiga poin penting bagi Muhammadiyah, Ramadan harus tetap dijadikan arena untuk mendidik akhlak, budi pekerti, dan mendidik karakter,” ucap Haedar saat hadir di pembukaan Tanwir 1 Aisyiyah di Jakarta, Rabu 15 Januari 2025.
Haedar menilai ketiga poin tersebut signifikan terhadap pendidikan generasi saat ini yang dilahirkan dari sistem Android. Anak-anak dikhawatirkan menjadi lepas dari ajaran agama. Haedar dan segenap pihak Muhammadiyah ingin paket khusus menjadi pengganti aktivitas belajar anak-anak saat liburan yang akan diterapkan oleh seluruh tingkatan satuan pendidikan di bawah naungan organisasi keagamaan tersebut.
FSGI Pilih Opsi Libur Awal dan Akhir Bulan Ramadan
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengungkapkan bahwa dibandingkan dengan opsi libur sebulan penuh Ramadan, opsi untuk menerapkan skema libur pada dua atau tiga hari selama awal dan akhir Ramadan. Opsi tersebut telah diterapkan hingga Ramadan terakhir tahun lalu.
“Selama ini itu adalah jalan keluar yang terbaik,” kata Heru saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Rabu, 15 Januari 2025. Heru juga menyampaikan terdapat tiga alasan yang mendasari pernyataan ketidaksetujuannya terhadap wacana libur sebulan penuh.
Alasan pertama adalah karena kebijakan mengenai libur di awal dan akhir bulan Ramadan menghormati adanya keberagaman beragama. Heru mempertanyakan nasib siswa yang bukan beragama Islam saat kebijakan libur satu bulan Ramadan diterapkan. Heru menilai ada beberapa sekolah yang mayoritas peserta didiknya tidak beragama Islam di beberapa daerah Indonesia.
"Mereka mau ada kegiatan apa selama satu bulan penuh itu? Dan mereka tidak terkait, tidak kontekstual dengan Ramadan," ujar Heru kepada Tempo pada Rabu, 15 Januari 2025.
Alasan kedua adalah kebijakan yang dipilihnya sebagai opsi terbaik menghormati capaian akademik yang menjadi target pendidikan. Heru mengatakan bila target capaian akademik berkaitan dengan kesuksesan anak-anak di masa depan. Wacana libur satu bulan Ramadan mendorong adanya perombakan ulang struktur kalender pendidikan.
"Kalau strukturnya tetap dipaksakan sama dengan tahun-tahun sebelumnya, beban mengejar ketertinggalan tersebut pada akhirnya malah akan ditanggung oleh para murid," kata Heru.
Alasan ketiga, menurut Heru tidak ada yang bisa menjamin semua siswa benar-benar mengembangkan keterampilan beribadahnya ketika diberlakukan libur satu bulan penuh selama bulan suci Ramadan.
“Oleh karena itu, dengan libur di awal dan libur di akhir, itu adalah solusi selama ini agar siswa di dalam kegiatan selama di bulan Ramadan pun akan terpantau di sekolahan,” katanya.
Hanin Marwah, Sapto Yunus, dan Vedro Imanuel Girsang berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: FSGI Pertanyakan Nasib Siswa Nonmuslim di Tengah Wacana Libur Sekolah Selama Ramadan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini