Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pro Kontra atas Rencana Penerapan Kembali Sistem Penjurusan di SMA

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah akan menerapkan kembali sistem penjurusan di SMA. Ada kekurangan dan kelebihannya.

15 April 2025 | 19.08 WIB

Ilustrasi pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA). TEMPO/Prima Mulia
Perbesar
Ilustrasi pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA). TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RENCANA pemerintah menerapkan kembali sistem penjurusan untuk jenjang pendidikan sekolah menengah atas (SMA) pada tahun ajaran 2025/2026 mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Sistem itu telah dihapus pada tahun ajaran 2024/2025 dan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti akan menghidupkan kembali jurusan IPA, IPS, dan Bahasa tersebut.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menghapus jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang pendidikan SMA dalam penerapan Kurikulum Merdeka yang digagas Mendikbudristek Nadiem Makarim.

Mu’ti menuturkan, dengan diterapkannya kembali sistem penjurusan, maka dalam ujian akhir atau saat ini disebut dengan tes kemampuan akademik (TKA), siswa dapat memilih mata pelajaran yang paling diminatinya.

Siswa hanya mengikuti tes wajib, yaitu mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika. “Untuk mereka yang ambil IPA, nanti boleh memilih tambahannya antara fisika, kimia, atau biologi. Untuk yang IPS juga begitu, dia boleh ada tambahan apakah itu ekonomi, sejarah, atau ilmu-ilmu lain yang ada dalam rumpun ilmu-ilmu sosial,” kata dia di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat, 11 April 2025.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu menyebutkan tujuan pemerintah kembali menerapkan sistem lama ini adalah memberikan kepastian pada penyelenggara pendidikan, khususnya bagi lembaga pendidikan di luar negeri. “Jadi pas Pak Nadiem dulu diambil sampelnya aja, banyak kampus di luar negeri enggak mau terima soalnya enggak jelas ukuran kemampuan di pelajar. Sekarang, dengan hasil TKA, kemampuan masing-masing individu akan terukur,” kata Mu’ti.

Rencana pemerintah menghidupkan kembali sistem penjurusan di SMA itu menuai pro kontra di masyarakat.

Penerapan Sistem Penjurusan Perlu Dikaji secara Matang

Wakil Ketua Komisi X DPR Lalu Hadrian Irfani menilai pemberlakuan penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA perlu dikaji secara matang. Dia meminta Kemendikdasmen melakukan evaluasi berbasis data serta menyampaikan kajian akademik dan empiris mengenai urgensi dan efektivitas penjurusan tersebut sejak kelas X.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menyebutkan siswa kelas X masih berada dalam masa eksplorasi minat dan bakat. “Memberikan penjurusan sejak dini dikhawatirkan akan membatasi ruang belajar mereka dan memaksa pilihan yang belum tentu sesuai dengan potensi jangka pandang,” kata dia pada Selasa, 15 April 2025, seperti dikutip dari Antara.

Dia menyarankan Kemendikdasmen mempertimbangkan persoalan konsistensi arah kebijakan pendidikan nasional. Perubahan terus-menerus yang terlalu cepat tanpa jeda transisi memadai, kata dia, akan membingungkan satuan pendidikan dan melemahkan proses implementasi di lapangan.

Penjurusan Kembali di SMA Berdampak Psikologis bagi Siswa

Pengamat pendidikan Doni Koesoema mengatakan rencana pemerintah mengembalikan sistem penjurusan di SMA dikhawatirkan menjadi beban psikologis. Sebab siswa harus kembali menyesuaikan diri dengan sistem pendidikan yang lama.

Doni menyebutkan perubahan kebijakan pendidikan seperti penjurusan adalah hal wajar. Namun dia mengkritik ketidakkonsistenan arah kebijakan yang dianggap justru bisa berdampak buruk pada pola belajar siswa. “Selama era Nadiem Makarim, anak-anak merasa nyantai, tidak perlu belajar, serta tidak ada ujian yang objektif,” ujar Doni kepada Tempo pada Senin, 14 April 2025.

Saat ini, para siswa sedang menjalani Kurikulum Merdeka yang memberikan keleluasaan siswa memilih mata pelajaran. Doni mengatakan, dalam sistem Kurikulum Merdeka, siswa diperbolehkan memilih mata pelajaran tanpa terikat jurusan.

Namun, kata dia, pilihan tersebut tidak diimbangi dengan evaluasi akademik yang memadai karena ujian nasional telah dihapus dan seleksi masuk perguruan tinggi tidak mempertimbangkan hasil belajar sesuai minat siswa. “Selama ini, seleksi masuk perguruan tinggi tidak menguji pelajaran sesuai jurusan. Jadi pemerintah tidak tahu bagaimana kualitas hasil belajar mereka,” katanya.

Menurut Doni, pengembalian penjurusan seiring dengan hadirnya TKA berbasis rumpun ilmu sebagai bagian dari seleksi masuk perguruan tinggi merupakan koreksi atas lemahnya sistem evaluasi di era sebelumnya. 

Meski begitu, dia menegaskan perubahan kebijakan yang mendadak mungkin dapat menyulitkan siswa dan guru yang sudah terbiasa dengan fleksibilitas Kurikulum Merdeka. “Ada beban psikologis bagi mereka yang tidak serius belajar atau mengajar. Apalagi sebelumnya tidak ada tekanan dari sistem untuk belajar sungguh-sungguh,” ujarnya.

Doni mengatakan dampak terbesar dari perubahan ini adalah hilangnya motivasi belajar selama sistem yang longgar berlangsung. Kini siswa harus beradaptasi kembali dengan sistem yang lama. Namun Doni menyambut baik kebijakan yang direncanakan Abdul Mu’ti. “Sistem seleksi sebelumnya membuat anak-anak malas belajar, universitas pun kesulitan menyeleksi calon mahasiswa terbaik,” ujarnya.

PGRI Sambut Rencana Penerapan Kembali Sistem Penjurusan di SMA

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menilai penerapan kembali sistem penjurusan di SMA bisa membantu siswa lebih fokus mendalami ilmu sesuai minat, sekaligus memudahkan sekolah dalam pengelolaan tenaga pendidik.

Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Unifah Rosyidi mengatakan penjurusan kembali penting agar siswa tidak hanya mendapat pengetahuan secara serba tanggung. Dia menyebutkan sistem Kurikulum Merdeka yang membebaskan siswa memilih mata pelajaran lintas disiplin belum tentu mampu memenuhi kebutuhan akademik siswa.

“Harapan agar siswa menguasai semua ilmu itu baik, tapi jika tidak siap, yang terjadi malah siswa tidak mendapatkan ilmu apa-apa atau hanya sedikit,” kata Unifah dikutip dari keterangan resmi pada Senin. Menurut dia, penjurusan akan membantu siswa mendalami bidang sesuai minat dan menjadi ahli di dalamnya.

Kelebihan dan Kekurangan Sistem Penjurusan di SMA

Ketua Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menuturkan sistem penjurusan sudah ada di sistem pendidikan Indonesia sejak 1994. Dengan sejarah panjang itu, kata dia, sekolah dan guru dipastikan memiliki pengalaman yang cakap dalam menerapkan sistem ini. “Jadi mereka tidak lagi kagok ketika harus kembali mengelola kelas IPA, IPS, dan Bahasa," kata Iman kepada Tempo, Senin.

Sisi positif lainnya, Iman menilai sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia saat ini memang belum cocok dengan konsep Kurikulum Merdeka. Dia menjelaskan konsep awal dari Kurikulum Merdeka adalah memberikan keleluasaan kepada siswa meramu sendiri mata pelajaran yang ingin dipelajarinya sesuai dengan minat dan bakat.

Namun Iman berujar banyak sekolah yang masih kekurangan tenaga pengajar hingga minim kapasitas dalam menyediakan menu-menu mata pelajaran. “Akhirnya di lapangan itu banyak sekali menu-menu pilihan penjurusan tanpa nama,” kata dia.

Di sisi lain, menurut dia, kembali diterapkannya sistem penjurusan juga tak lepas dari bayang-bayang buruk. Salah satunya lahirnya kembali kastanisasi rumpun mata pelajaran. “Sejarah membuktikan saat penjurusan berkembang di kurikulum sebelumnya, jurusan IPA dinilai lebih pintar dan pilihan, serta jadi jurusan favorit,” kata Iman. Meski ia sendiri mengaku ragu persepsi ini kembali tumbuh di tengah situasi serba modern saat ini.

Lebih lanjut, guru di salah satu sekolah di Jakarta itu menilai pergantian kebijakan dalam waktu dekat ini akan merugikan peserta didik, khususnya bagi siswa kelas XI yang akan ikut TKA pada November 2025.

Menurut dia, para siswa itu sudah terlanjur belajar menggunakan Kurikulum Merdeka dengan rumpun mata pelajaran campur antara IPA dan IPS. “Mereka akan kebingungan, diuji dengan sistem penjurusan yang baru, yang tidak mereka alami dalam pembelajaran.”

Selain itu, menurut Iman, kurikulum penjurusan juga berpotensi menimbulkan demotivasi pada anak. Dengan adanya mata pelajaran khusus yang akan disertakan dalam TKA, anak dikhawatirkan akan mengabaikan mata pelajaran lain. “Jadi sistem ini melahirkan kembali mata pelajaran yang dianggap penting dan tidak penting,” tuturnya.

Dede Leni Mardianti, Dinda Shabrina, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Alasan Uskup Agung Jakarta Besuk Hasto Kristiyanto di Rutan KPK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus