Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Profesor dari Dirah

Sardono W. Kusumo mendapat gelar profesor. Karena ia bukan sarjana, Departemen Pendidikan Nasional mengeluarkan kebijakan khusus. Tidak tepat?

11 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SARDONO Waluyo Kusumo tampak bergairah pada siang yang gerah di kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Kamis pekan silam. Senyum seperti tak pernah lekang dari bibirnya. Koreografer senior yang akrab disapa "Mas Don" oleh teman-temannya itu memang pantas bergembira karena pekan ini akan dikukuhkan menjadi guru besar di IKJ, kampus tempatnya mengajar sejak 1970. "Saya jadi repot banget, harus bikin pertunjukan dengan tema profesor," ujar Sardono.

Sebenarnya gelar profesor itu sudah disandang Sardono, 58 tahun, sejak Mei lalu. Keputusan itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 9601/A2.7/KP/2003 yang dikeluarkan pada 31 Mei 2003. Namun pengukuhannya baru akan dilaksanakan pada 14 Januari 2004. Pembantu Dekan II dan III Fakultas Seni Pertunjukan IKJ, Sukarji Sriman, mengatakan bahwa pihaknya sudah mengajukan usul ke Departemen Pendidikan Nasional pada 2002. "Setahun kemudian baru disetujui," ujarnya.

Pengangkatan Sardono sebagai guru besar terasa unik karena dosen Jurusan Tari IKJ itu tak menyelesaikan pendidikan formal setingkat sarjana. Setamat dari SMA Negeri 4 Surakarta pada 1962, ia pernah kuliah di fakultas ekonomi di dua universitas negeri—Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia—tapi dua-duanya tidak diselesaikan. Menurut Sukarji, yang menjadi rekan sejawatnya di IKJ, meski bukan sarjana, Sardono layak menjadi guru besar karena pengabdian dan kepakarannya dalam bidang seni tari. Sesuai dengan peraturan, kata Sukarji, Sardono juga sudah memenuhi syarat. "Sebelumnya, di IKJ banyak dosen yang seniman dan belum sarjana, tapi sekarang sudah melalui tahap penyetaraan setingkat sarjana," ujarnya lagi.

Menurut Sukarji, Sardono ikut terlibat mendirikan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ), sebagai cikal bakal IKJ, pada 1970. Ia pernah menjadi ketua jurusan tari dan pembantu rektor III di IKJ. Dalam jenjang akademik, ia juga sudah melampaui angka kredit seperti disyaratkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 36/D/O/2001 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Dosen. Dalam pasal 1 ayat 3 disebutkan, seorang dosen bisa diangkat menjadi guru besar jika ia sudah mengumpulkan 850 angka kredit. "Dia (Sardono) sudah mengumpulkan 1.000 lebih," ujar Sukarji.

Dalam pasal 13 butir e juga disebutkan, seseorang bisa menjadi guru besar jika memenuhi syarat tambahan, yakni punya kemampuan akademik membimbing calon doktor. Kemampuan itu dapat dibuktikan dengan memenuhi salah satu dari tiga syarat berikut ini. Pertama, punya pendidikan setingkat doktor dalam bidangnya. Kedua, punya sekurang-kurangnya satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional yang memiliki reputasi ditambah dua karya pada tingkat nasional yang terakreditasi. Dan ketiga, punya sekurang-kurangnya dua karya monumental yang mendapat pengakuan di tingkat nasional dan internasional. Sardono dinilai memenuhi syarat ketiga ini.

Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Satryo Soemantri Brodjonegoro, keputusan itu diteken melalui pertimbangan yang masak. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi punya tim sendiri yang meneliti secara obyektif kelayakan Sardono. Hasilnya, ia dianggap telah memenuhi persyaratan menjadi guru besar. Selain telah menjadi pengajar di IKJ selama sekitar 33 tahun, Sardono dinilai memiliki kemampuan dan kepiawaian dalam bidang seni tari. "Dia layak menerima gelar profesor," kata Satryo.

Satryo menambahkan, penyematan gelar profesor kepada Sardono berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam pasal 104 ayat 2 disebutkan, syarat untuk menjadi guru besar sekurang-kurangnya memiliki jabatan akademik lektor (setingkat golongan III-C dan III-D).

Setiap orang yang mengajar di perguruan tinggi, papar Satryo, bisa mendapat gelar profesor. Syaratnya: punya dedikasi penuh, berkemampuan tinggi, memiliki kepakaran yang diakui masyarakat atau komunitas di bidangnya, dan berpendidikan sampai doktor. Menurut dia, Indonesia punya peraturan sendiri dalam pengangkatan guru besar meski agak mirip dengan aturan yang dianut di Amerika Serikat. Semua orang bisa menjadi profesor selama memenuhi syarat.

Satryo mengaku, Sardono adalah kasus khusus karena ia bukan sarjana. Departemen Pendidikan Nasional melihat dalam bidang seni ada kalanya seseorang tidak melalui jalur formal tapi dianggap memiliki kemampuan lebih baik dari yang melalui jalur formal. "Dalam peraturan memang minimal harus doktor. Tapi, untuk Sardono, ada kebijakan khusus," tutur Satryo.

Sardono adalah sosok yang fenomenal di dunia seni tari. Ia telah melahirkan karya-karya besar yang mendapat pujian dari masyarakat internasional, seperti Dongeng dari Dirah (1974), Biography of a Body (1999), dan Nobody's Body (2002). Dalam berkarya, Sardono juga sangat peduli dengan isu-isu lingkungan, yang ia tuangkan dalam karyanya seperti Meta Ekologi (1975), Hutan Plastik (1983), dan Hutan Merintih (1987).

Karya-karya fenomenal itu mengantarkan Sardono meraih sejumlah penghargaan internasional. Pada 1998, ia menerima penghargaan dari Yayasan Prince Claus untuk Kebudayaan dan Pembangunan dari Belanda. Pada 20 Juni 2003, giliran International Society of Performing Arts (ISPA) memberinya Distinguished Artist Award. Gelar serupa pernah diberikan kepada seniman besar seperti Marcel Marceau dan Martha Graham. ISPA, yang berdiri pada 1949, adalah forum yang bertujuan mempromosikan nilai dan peran penting seni pertunjukan dalam kehidupan.

Namun pengamat dunia pendidikan Darmaningtyas menilai, pemberian gelar profesor kepada Sardono tidak tepat. Secara kualitas, Sardono memang pantas mendapat gelar itu. Sebagai seniman tari, karya ilmiah yang ia hasilkan tidak dalam bentuk buku, melainkan tarian. Namun, sesuai dengan peraturan, gelar profesor diperoleh setelah menempuh jenjang pendidikan strata-3. Saat ini banyak profesor yang tidak melalui jalur itu, sehingga profesor menjadi semacam kepangkatan, bukan jenjang. "Yang logis, orang semacam Sardono mendapat gelar doktor honoris causa dalam bidang tari, bukan profesor," katanya.

Darmaningtyas juga menilai kriteria pemberian gelar profesor tidak jelas. Di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, misalnya, banyak doktor yang sudah melakukan penelitian bertahun-tahun tapi tak kunjung mendapat gelar profesor. "Kalau belum menyandang S-3, ya, itu namanya profesor ngglundhung (jatuh dari atas)," katanya.

Bagi Sardono sendiri, gelar profesor tidaklah terlalu penting. Sebagai seniman, ia merasa tak membutuhkan gelar itu. Namun, sebagai pengajar, gelar tersebut sangat dibutuhkan untuk kemajuan IKJ, yang berencana membuka program pascasarjana. Selama ini, sarjana lulusan IKJ kesulitan melanjutkan jenjang pendidikan strata-2 di dalam negeri. Ia menilai gelar profesor merupakan bentuk pengakuan terhadap IKJ sebagai sebuah sistem yang utuh. "Gelar ini juga pengakuan terhadap seniman," kata lelaki yang sejak tahun 2000 mengajar di Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo itu.

Sardono tak ambil pusing dengan komentar orang perihal pengangkatan dirinya sebagai guru besar. "Ben wae (biar saja)," kata lelaki kelahiran Surakarta itu, disusul derai tawa.

Menurut dia, gelar profesor justru membuatnya tidak laku di luar negeri karena ia akan dikira sudah mapan dan tidak berani bereksperimen gila-gilaan lagi. "Kalau ke luar negeri, gelar profesor tidak akan saya pakai," katanya.

Sapto Yunus, Multazam (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus