Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dari Batu untuk Texmaco

Wali Kota Batu mengulurkan bantuan untuk anak usaha Texmaco. Solusi jitu?

11 Januari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJADIAN terakhir yang menimpa Texmaco menunjukkan bahwa perusahaan yang didirikan Marimutu Sinivasan itu perlu secepatnya mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan krisisnya. Solusi tepat itu mutlak perlu dan mendesak karena dampak krisis perusahaan tekstil raksasa itu sudah menjalar ke berbagai arah, termasuk ke Kota Batu.

Di Batu, sebuah kota kecil di dekat Kota Malang, Wali Kota Imam Kabul akhir Oktober lalu memberikan jaminan pribadi untuk kredit Rp 1,2 miliar dari Bank Jatim yang secara total mengucurkan pinjaman lebih dari Rp 2 miliar kepada PT Wastra Indah. Ternyata, Wastra Indah adalah anak perusahaan Texmaco.

Wali Kota Batu mengaku membantu karena prihatin dengan kondisi Wastra Indah. Perusahaan kain dan pemintalan benang itu kesulitan order. Kapasitas produksi divisi tekstil hanya 20 persen yang terpakai. Karyawan "dirumahkan" secara bergiliran, gajinya pun sebagian dipangkas. Tagihan listrik tercecer.

Bantuan Wali Kota memang suntikan darah baru bagi Wastra. Utang listrik mereka bayar, juga utang gaji kepada karyawan. Selanjutnya, Wastra akan mencari order di luar Texmaco untuk membayar utang kepada Bank Jatim. Pabrik bisa berderak kembali, dan semogalah hal baik ini terus berlanjut.

Namun, sebuah pabrik yang merupakan bagian dari sebuah bisnis komersial tidak selamanya bisa digantungkan nasibnya pada "kebaikan hati" pihak luar—wali kota, bupati, atau pejabat lain, apalagi "demi alasan kemanusiaan" seperti alasan Wali Kota Batu.

Sebuah entitas bisnis harus menghadapi risiko yang kadang kala memang terasa kejam. Krisis moneter tahun 1997, yang membuat beban utang Texmaco menumpuk, memang terasa "kurang adil" bagi perusahaan itu. Tapi bukankah itu sebuah risiko bisnis yang menimpa perusahaan mana pun di Indonesia? Banyak perusahaan Indonesia terpuruk dihantam krisis 1997, terkubur, bahkan mati, tapi banyak juga yang bertahan dan bahkan pelan-pelan kembali menapaki tangga-tangga menuju puncak kejayaannya. Astra International, Bank BCA, dan Indofood Sukses Makmur hanya tiga dari sekian contoh perusahaan yang kembali menguat kinerjanya setelah hantaman krisis bisa ditangani.

Salah satu kunci sukses bagi perusahaan yang "come-back" itu adalah pulihnya kepercayaan kreditor. Astra International berhasil meyakinkan kreditor luar negerinya supaya mau merestrukturisasi utang besar perusahaan otomotif itu. Kata kunci di sini adalah "kepercayaan", suatu "intangible asset" yang nilainya sangat tinggi dalam dunia bisnis. Dan sayangnya, "aset" itulah yang terasa mulai meninggalkan Texmaco.

Kreditor utama Texmaco, yaitu pemerintah melalui bank-banknya, selama ini harus diakui sangat membantu Sinivasan dan usahanya agar terhindar dari kebangkrutan. Berbagai fasilitas diberikan kepada Texmaco, yang ingin membangun industri rekayasa yang memang penting untuk negeri ini. Tentu hal itu dilakukan pemerintah dengan banyak pertimbangan. Dan satu hal yang pasti sangat ditimbang adalah nasib 40 ribu karyawan perusahaan itu.

Belakangan, muncul soal letter of credit Texmaco di Bank BNI senilai $ 81 juta. Pekan lalu, pemerintah sudah memutuskan agar BPPN (yang menjamin L/C itu) membayarkan jumlah besar itu kepada BNI. Dan inilah satu lagi bukti betapa pemerintah sangat "pemurah" kepada perusahaan yang satu ini. Padahal Texmaco sampai sekarang sudah berutang lebih dari Rp 29 triliun kepada pemerintah.

Jika tidak ada solusi yang memadai, bukan tidak mungkin perusahaan itu akan terus tertimbun utang yang pada akhirnya membuatnya tak mampu bergerak lagi. Artinya, perusahaan itu perlu solusi lain ketimbang terus dicekoki kucuran dana.

Saran kami, seperti yang pernah ditulis di kolom ini, lebih baik karyawan dipikirkan nasibnya dengan memberikan pesangon yang layak agar mereka bisa terus menjalani kehidupan dengan sekoci-sekoci baru. Awak yang tersisa boleh bertahan dengan pemimpin yang baru, pemimpin yang lebih dipercaya kreditor. Mungkin solusi ini terdengar kurang adil bagi Sinivasan, yang sejak awal sudah bekerja keras merintis bisnisnya. Tapi tentu ia tidak ingin melihat kapalnya karam dan ia tetap bertahan di sana demi mempertahankan kepemilikan diri dan keluarganya. Dan memperhatikan nasib karyawan, dengan menyerahkan kepada pemimpin yang lebih dipercaya kreditor, tentu akan membuat Sinivasan dikenang sepanjang waktu. Soalnya, adakah ia cukup berbesar hati melakukannya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus