WALAUPUN diperlukan untuk reformasi hukum, kalau dana tidak ada, Komisi Hukum Nasional (KHN) mungkin terpaksa bubar. Paling tidak kantornya harus ditutup, kegiatan berhenti. Karena diperlukan atau tidaknya bergantung pada kebutuhan presiden, sebaiknya nasibnya segera diputuskan Presiden Megawati.
Anggaran negara memang ketat, dan KHN rupanya tidak termasuk mendapat prioritas untuk dibiayai. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2004, jatah untuk KHN belum menentu atau akan terlalu kecil untuk bisa menjalankan organisasinya. Ini menunjukkan rendahnya penilaian pemerintah akan peran KHN bagi perbaikan hukum, atau mungkin juga pemerintah sekarang tidak terlalu mengutamakan usaha memperbaiki penegakan hukum.
KHN adalah sebuah lembaga nonstruktural yang khusus dibentuk untuk membantu presiden menyusun kebijakan perbaikan hukum. Karena itu kaitannya erat dengan lembaga presiden. KHN adalah alat tambahan bagi kemampuan pemerintah di samping lembaga penegakan hukum yang sudah ada. Ia hanya penting artinya bila presiden merasa butuh dibantu memperbaiki persoalan hukum nasional yang keadaannya sudah parah. Bisa juga dikatakan KHN berfungsi membantu memperbaiki kebijakan hukum presiden, selain membantu pelaksanaan kebijakan presiden dalam perbaikan hukum. Namun semua itu masih berupa teori.
Sampai saat ini keefektifan peranan KHN belum dirasakan umum. Para anggota KHN yang terdiri dari enam orang pakar—tiga di antaranya bergelar profesor ilmu hukum—juga masih jauh dari merasa puas akan kinerjanya sendiri. Komisi ini dibentuk pada awal tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid untuk memberikan pendapat kepada presiden tentang kebijakan hukum yang akan dibuat, membantu merencanakan pembaharuan di bidang hukum, mempercepat penanggulangan krisis kepercayaan masyarakat kepada hukum dan penegakan hukum yang ada.
Namun, sejak awal pembentukannya, masukan kepada presiden tidak berlangsung intensif. Kegunaan praktisnya belum sempat terlihat. Sebabnya antara lain ialah kurangnya permintaan dan kesungguhan memanfaatkan dari sisi presiden sendiri. Anggaran yang disediakan juga amat sedikit dan para anggota KHN tak ada yang bisa bekerja penuh waktu. Sebagian dari kegiatan KHN didanai oleh bantuan donor asing. Gedung yang ditempati pun sifatnya sementara, hanya meminjam aset yang dikuasai BPPN. Dibandingkan dengan tujuan yang dirumuskan semula, apa yang sudah dilakukan tampak masih serba tanggung. Sekalipun barangkali telah sungguh-sungguh bekerja, ada kesan seolah-olah KHN lebih banyak bertepuk sebelah tangan selama ini.
Di pihak lain ada yang menyesalkan bahwa KHN kurang rajin—dan kurang mampu—meyakinkan presiden akan pentingnya fungsi lembaga ini. Hasilnya ialah tanggapan yang tidak memadai, dan dana yang dianggarkan tidak pernah berarti. Dulu, presiden yang merasa perlu membentuk KHN saja kurang responsif, maka bisa dipahami bila Presiden Megawati lebih tidak memperhitungkan kegunaan KHN baginya. Secara terbuka KHN pernah mengeluh tentang hal kurangnya perhatian presiden itu. Dalam keadaan biasa saja Presiden Megawati dikenal kurang berminat pada reformasi hukum, apalagi dalam kesibukan politik kepentingan menjelang pemilu sekarang.
Sebetulnya Presiden Megawati tak terikat untuk terus memakai komisi yang dibentuk presiden sebelumnya. Dia berhak memilih membubarkan KHN atau meneruskan tapi mengganti anggotanya. Mungkin sekali Megawati tidak menganggap perlu memakai kekuatan tambahan dari KHN, karena merasa cukup menggunakan lembaga penegakan hukum organik yang ada seperti Departemen Kehakiman, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara. Bila memang demikian, supaya tidak mubazir, sebaiknya tegas diputuskan agar KHN dibubarkan segera. Kalau dibiarkan seperti sekarang tanpa fungsi yang jelas, Megawati memperlakukan KHN sebagai organ yang berlebih, seperti usus buntu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini