TAK jelas siapa yang pertama kali melontarkan ide itu. Tiba-tiba saja pekan lalu muncul berita: pengusaha Probosutedjo menyatakan kesediaannya membiayai pemindahan makam Bung Karno dari Blitar, serta makam Bung Hatta dari Tanah Kusir, Jakarta Selatan, untuk dimakamkan berdampingan di sekitar Tugu Proklamasi di Jalan Proklamasi (dulu Pegangsaan Timur), Jakarta. Di sinilah dulu Proklamasi 17 Agustus 1945 diucapkan. Sejak awal kemerdekaan hingga pertengahan 1950-an, Bung Karno dan Bung Hatta, Presiden dan Wakil Presiden pertama RI itu, selalu bergandeng tangan memimpin bangsa, hingga dijuluki "Dwitunggal Soekarno-Hatta". Gagasan penyatuan makam Dwitunggal itu, kata Probosutedjo kepada koran Merdeka, "merupakan lambang persatuan bangsa. Saya bersedia menanggung biayanya, pemerintah tinggal mengizinkan saja." Tapi sampai Senin kemarin Mensesneg Moerdiono dan pihak keluarga kedua almarhum belum dihubungi, karena memang panitianya belum terbentuk. Tapi pemakaman jenazah Bung Hatta di TPU Tanah Kusir 10 tahun lewat, menurut Mensesneg, berdasarkan persetujuan semua pihak. "Bung Hatta berpesan agar dimakamkan di Jakarta, tempat diproklamasikannya kemerdekaan. Ia ingin tetap berada di tengah rakyat yang nasibnya diperjuangkan seumur hidupnya," katanya. Pemakaman jenazah Bung Karno di Blitar pun, menurut Moerdiono, tidak asal dibikin begitu saja. "Semua berdasarkan musyawarah, tidak diambil dari satu pihak. Dan semua itu juga penuh dengan wasiat macam-macam. Ketika itu pemerintah tidak jalan sendiri, semua dengan musyawarah, dan keluarga diajak serta," tambahnya. Sementara Nyonya Rahmi Hatta, kini 64 tahun, "hanya bisa menurut pemerintah saja", Nyonya Hartini, yang kini 65 tahun, cenderung menyetujui gagasan tersebut. "Alangkah idealnya kalau makam Dwitunggal berdampingan satu sama lain di Jakarta. Tapi itu semua tergantung pemerintah dan seluruh rakyat," katanya. Apalagi bila jadi dipindah ke Jalan Proklamasi, amat dekat dengan rumahnya, "hingga setiap hari saya bisa berziarah." Tapi bila tanah di sekitar Tugu Proklamasi tak cukup luas, "saya kira tak perlu dipaksakan pindah, karena akan menyulitkan para peziarah," kata Ratna Djoeami, kini 67 tahun, anak angkat almarhum Inggit Garnasih, istri pertama Bung Karno, yang tinggal di Bandung. Guruh Sukarno Putra putra bungsu Bung Karno, malah tak tahu-menahu dengan gagasan itu. "Jadi makamnya akan digali?" tanyanya kaget. "Saya tetap berpegang pada amanat Bapak," katanya lagi. Dalam amanat itu, Bung Karno ingin dimakamkan di bawah pohon yang rindang, di tengah alam sederhana, sejuk, dan indah. Dikuburkan secara Islam, dengan sebuah batu kecil bertuliskan kata-kata: Di sini beristirahat Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Ia juga berpesan: "Jangan dibuat monumen yang menggemparkan buatku", yang disampaikan lewat wartawan Cindy Adams yang kemudian membukukannya dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Di situ Bun~ Karno men~ginginkan "rumahku yang terakhir ini terletak di sekitar Kota Bandung di tengah daerah Priangan yang sejuk dan nyaman, berlembah dan bergunung serta subur, di mana aku pertama kali bertemu dengan petani Marhaen". Tapi, kata Guruh, putra bungsu Bung Karno dari Ny. Fatmawati, "pemerintah kemudian memakamkannya di Blitar." Makam Bung Hatta di Tanah Kusir, Jakarta Selatan, yang dikelilingi pohon kayu manis -- juga tumbuh bertebaran di tempat kelahiran almarhum di Ranah Minang, Sumatera Barat -- sepi-sepi saja. Lain dari makam Bung Karno di Desa Bendogerit, Kelurahan Sanan Kulon, Blitar, yang jadi tempat ziarah amat ramai. Terutama sekitar Juni, bulan kelahiran Bung Karno. Dan makam Bung Karno, tak ayal, membuahkan rezeki. Tak cuma bagi warga Bendogerit, penduduk luar desa pun berburu nafkah ke sana. Berjualan rokok, berjaja makanan, minuman, suvenir, atau bunga untuk ziarah. Juga para tukang potret, yang sering suka menguntit peziarah. Seorang penduduk yang membuka penginapan, dengan tarif Rp 2.000 per hari, bisa mengantungi Rp 200 ribu sehari, terutama bila hari sedang ramai. Maka, bila kelak makam Bung Karno jadi dipindah, "tidak bisa saya bayangkan berapa banyak rakyat kecil kehilangan pekerjaan," kata Salimin, 62 tahun, salah seorang juru kunci makam B~~ung Karno. Probosutedjo bahkan juga melemparkan gagasan membangun kembali rumah lama Bung Karno di Jalan Proklamasi, persis seperti ketika naskah proklamasi dibacakan di beranda rumah tersebut. Rumah tua itu berikut Tugu Proklamasi di depannya, digusur justru pada masa pemerintahan Bung Karno, tanpa alasan jelas. Di sana kemudian berdiri gedung bertingkat, dikenal dengan "Gedung Pola". Belakangan di sana pula berkantor Tim P7 (Penasihat Presiden untuk Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang diketuai Dr. H. Roeslan Abdulgani. Di sana pula, kini, berdiri patung keclua proklamator itu. Pada 1972, Tugu Proklamasi yang dibangun atas prakarsa Nyonya ~Masdani itu dibangun kembali, juga atas prakarsa Nyonya Masdani sendiri. Bahkan pembangunannya kembali pun dilaksanakan oleh H.M. Aboetajib dari Biro Salam, yang dulu juga membangunnya pada 1945. Aboetajib, yang pada 1972 berusia 72 tahun, ketika itu juga sudah berniat membangun kembali rumah lama Bung Karno, tapi rupanya gayung tak bersambut. Sampai kini. ~Budiman S.H, Tommy T~am~otmo, Yudhi S., (J~akarta), Zed Abidien (Sur~ab~aya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini