MALAM itu ratusan hadirin memadati Wisma PHI di Desa Pangkalan Mansyur, tak jauh dari Bandar Udara Polonia, Medan. Tapi sampai pukul 19.30, Jumat pekan lalu, acara belum juga dimulai. Hadirin mulai waswas. Soalnya, para pejabat, pimpinan parpol dan Golkar, dan tokoh ormas pemuda tampak keluar ruang pertemuan, pulang. Utusan dan peninjau Musyawarah Wilayah (Musywil), mewakili 16 daerah tingkat II -- cabang Nias tak hadir -- menunggu dengan cemas. Sekitar pukul 24.00, barulah ketua panitia Jamaluddin Batubara mengumumkan, Musywil ditunda, "untuk waktu yang tak ditentukan." Pasalnya, "Penyusunan pengurus baru belum rampung," katanya. Seluruh hadirin pun angkat pantat sembari mengumpat. Maka, Musywil yang ditetapkan mulai 21-23 Maret 1990 itu bubar tanpa hasil. Jangankan produk biasa dalam kerapatan seperti ini -- misalnya program kerja dan rekomendasi politik -- Musywil malah belum sempat membahas pertanggungjawaban pengurus lama. Maka, bersuaralah Kasim Inas, Ketua DPW PPP Sum-Ut yang lama, "Musywil ini gagal total, dan kepengurusan lama tetap berfungsi seperti semula." Kegagalan macam ini terjadi pula dalam Musywil PPP Daerah Istimewa Yogyakarta, 19-20 Maret lalu, di Kaliurang. Di sini, sebelum sidang, saling tuding sudah terjadi antara utusan cabang dengan panitia, terdiri dari pimpinan wilayah (PW) PPP. Sampai Selasa pekan lalu, diputuskan Musywil ditunda, entah sampai kapan. Sebuah sumber TEMPO di DPP PPP mengungkapkan, menjelang awal Musywil Januari lalu, front NU di PPP di bawah komando H. Imam Sofwan (kini Ketua Majelis Pertimbangan Partai PPP), bersama Hamzah Haz dan Matori Abdul Djalil, Ketua dan Sekjen DPP PPP asal NU, berambisi untuk merebut sejumlah provinsi, yang dulu dipimpin orang NU: Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, DKI, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, NTB, dan Bali. Itu di luar daerah-daerah yang dari dulu tetap dikuasai NU, seperti Jawa Tengah dan Timur. Sejauh ini, upaya itu tampak hasilnya di Kalimantan Selatan dan Bali. Maka, kini orang NU menguasai delapan ketua wilayah: empat di Kalimantan, ditambah masing-masing satu di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Lampung. Padahal, sebelumnya mereka cuma punya ketua di tujuh provinsi. NU juga sudah merebut setidaknya delapan sekretaris wilayah yang dulunya dipegang MI. Macetnya Musywil tadi, terutama di Yogyakarta, tak lain karena pertarungan antara NU dan MI. Kebetulan, lima cabang PPP Yogyakarta semuanya diketuai orang MI. Mereka, didukung Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum, sepakat untuk menggolkan M. Husnie Thamrin, 51 tahun, eksponen Angkatan 1966, sebagai ketua untuk menggantikan Nyonya Umroh Machfudzoh dari kalangan NU. Ternyata, sang nyonya sudah pasang kuda-kuda. Sebelum Musywil atas nama Ketua DPW PPP Yogyakarta dimulai, ia sudah membuat surat edaran yang isinya mengharuskan "semua utusan muktamar akomodatif" alias terwakili dengan unsur-unsur yang ada di PPP. Dengan alasan inilah Umroh melarang utusan dari Kabupaten Gunungkidul, Kulonprogo, dan Kodya Yogyakarta memasuki Wisma Hastorenggo di Kaliurang. Agaknya, inilah yang jadi gara-gara. Memang, masing-masing tiga utusan dari setiap cabang PPP terdiri dari orang MI. Namun, mereka bersikeras sebagai utusan yang sah, dengan alasan merekalah sebenarnya pembawa mandat dari hasil keputusan rapat cabang sebelumnya. Lagi pula kewajiban memasukkan wakil semua unsur dalam acara seperti ini tak ada dalam AD/ART PPP. Sedangkan Umroh ingin dirinya jadi ketua. Atau, setidaknya, jabatan itu jatuh pada orang NU, Thoha Abdurrahman, dosen IAIN Sunan Kalijaga. Suasana sidang memanas setelah Matori Abdul Djalil membela Umroh. Bak kata Alfian Darmawan, Ketua PPP Kodya Yogyakarta, Matori sempat berkata dalam pertemuan dengan cabang-cabang, dalam Musywil itu tidak ada yuridis-yuridisan. "Dia memaksa orang NU harus ketua, dan mendukung tindakan inkonstitusional Nyonya Umroh, katanya. Hal serupa juga timbul di Medan. Di sini, tercapai kesepakatan MI, NU, dan unsur lainnya. Yakni, ketua akan dipegang oleh orang MI, yaitu Yusuf Pardamaian, kini Ketua PPP Kodya Medan, sedangkan sekretaris diserahkan pada pihak NU. Tapi Jamaluddin Batubara, ketua panitia yang sama dengan Pardamaian, berasal dari unsur MI, dan kebetulan sesama anggota organisasi Alwasliyah, ingin pula jadi ketua. Jamaluddin, salah satu dari lima formatur yang dipilih Musywil, memaksakan agar selain ketua, sekretaris juga harus dipegang MI seperti selama ini. Soal rebutan kursi itulah yang akhirnya juga membuat Musywil menabrak jalan buntu. Namun, jalan buntu di Yogyakarta tak membuat mereka berpikir untuk bersalaman. Setelah melalui berbagai pertemuan, kelima pimpinan cabang PPP Yogyakarta itu, Kamis pekan lalu, mengeluarkan pernyataan sikap. Isinya, minta agar DPP PPP menindak dan meluruskan Nyonya Umroh dan Matori Abdul Djalil yang dianggap tak konstitusional. Senin malam pekan ini, pernyataan sikap itu mereka sampaikan juga kepada Ketua Umum PPP. Mereka sengaja menemui Ismail Hasan Metareum di Jakarta. Tapi, Matori Abdul Djalil menolak bahwa Musywil kali ini dianggap terlalu menonjolkan unsur. "Belum tentu fenomena yang muncul di permukaan itu masalah yang sebenarnya. Seperti penyakit, gejalanya sama-sama panas, tapi belum tentu itu malaria. Sebab, tifus pun gejalanya panas," katanya kepada Liston Siregar dari TEMPO, Senin pekan ini. Ismail Hasan tampak hati-hati. Rupanya, lelaki asal Aceh ini lebih suka menari menurut langgam Jawa. "Kalau bisa, masalah ini kita selesaikan dengan gaya Yogya saja: alon-alon wathon kelakon," ujarnya kepada Wartawan TEMPO Syahril Chili. Toh dia merasa gembira, melihat sampai pekan lalu Musywil di 27 provinsi sudah selesai. "Yang terganggu cuma di Yogya dan Medan. Di Medan, dulu, Muspida sampai turun tangan," katanya. Buya Ismail, yang di pertengahan 1950-an menonjol sebagai pimpinan HMI Pusat, agaknya pandai untuk membuat tangan-tangan itu cukup melambai-lambai. Amran Nasution, Aries Margono, Sarluhut Napitupulu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini