RAME-RAME pete cingke sudah dimulai sejak awal Juli lalu di
Minahasa, Sulawesi Utara. Tak sulit dibayangkan betapa sibuknya
daerah ini, lebih-lebih menjelang dan selama berlangsungnya MTQ
X baru lalu. Suasana bak hari raya pun, seperti lazimnya, makin
nyata ketika pesta gerejani yang kini berubah menjadi pesta
rakyat sebagai ucapan syukur, telah musim pula di mana-mana.
Setiap hari Minggu misalnya selalu terlihat arus kendaraan ke
jurusan pedalaman Minahasa sarat oleh penumpang. Ini artinya di
arah yang dituju itu sedang berlangsung sebuah pesta. Pesta
serupa ini selalu diadakan dengan hidangan yang melimpah dan
selalu diserbu penduduk dari luar kawasan, kenalan maupun bukan,
diundang atau tidak. Para tamu dipersilakan makan sepuas perut,
malahan bila tak malu boleh membawa pulang makanan khas Minahasa
bernama nasi jaha yang dumasak dalam bambu bernama tinorasak.
Maaf untuk sekedar dimaklumi, masakan jenis ini dilarang untuk
dapur MTQ.
Tapi kesibukan di Minahasa tak hanya terbatas pada pesta dan
panen cengkeh. Keramaian berperkara tak kalah pula. Dan ini
memang sudah menjadi ciri khusus setiap musim cengkeh. Tak aneh
dalam saat-saat serupa ini, semua perkara yang selama ini dipeti
eskan tiba-tiba muncul kembali. Jika dulu perkara perdata
dapat saja menjelma menjadi pidana. Misalnya, karena berebut
buah cengkeh sedang status tanah belum mendapat kepastian hukum,
maka dipintaslah jalan adu kuat. Karena tergiur oleh buah
cengkeh, agaknya mereka yang merasa punya posisi dalam
mengutak-atik hukum, cukup memegang peranan penting. Barangkali
karena mendengar banyak kejadian serupa ini, maka belum lama ini
Gubernur Worang berkata: "Sekarang ini ada jaksa yang panggil
petani, karena cengkeh berbuah."
Partisipasi Rp 600 Juta
Soal tataniaga cengkeh rupanya belum selancar diharapkan.
Keputusan Presiden No. 50/76 tentang tataniaga cengkeh masih
cukup dihadang hambatanhambatan. Sebab ketentuan yang seharusnya
sudah mendepak para pengijon, ternyata masih mampu ditembus oleh
para lintah darah itu. "Sekarang ijon merajalela di desa-desa,"
ucap Gubernur Worang dengan marah di depan Bupati dan para Camat
Minahasa belum lama ini: "para pedagang berkeliaran membeli
cengkeh langsung kepada petani - apa kerja kamu tidak mampu
menertibkan ini?" Tak lupa pula Worang memerintahkan: "Usir
pedagang yang tak punya izin keluar dari desa!" Malahan kepada
para camat di wilayah cengkeh gubernur memberi sanksi: "Bukan
hanya dipecat, melainkan kamu dapat diseret ke pengadilan."
Bentakan ini ditujukan kepada para camat yang tak becus
menangani perniagaan cengkeh di wilayahnya, malahan sekongkol
dengan pedagang dan mempermainkan BUUD/KUD.
Apa yang dikatakan Residen Bonny Lengkong sebagai "uang setan"
(TEMPO 11 Juni 1977) tentang modal dari beberapa pedagang untuk
BUUD/KUD sementara menunggu kredit resmi pemerintah, ternyata
memang ada setannya. Sebab modal ke 4 pengusaha di Manado yang
mendapat penunjukan membeli cengkeh melalui BUUD/KUD, bukan saja
tak mampu melayani petani. Tapi juga ada kecenderungan mereka
untuk memonopoli. Antara lain dalam hal harga. Sementara
pedagang itu berusaha menekan harga cengkeh tetap pada harga
dasar Rp 3.500/kg, sedangkan harga pasaran sudah lebih dari itu.
Akibatnya seperti dituturkan seorang manager BUUD/KUD di
Kecamatan Tareran, para pemilik cengkeh lari ke pedagang bebas,
tanpa lewat BUUD/KUD sebagaimana seharusnya. Pencegatan terhadap
mobil-mobil pengangkut cengkeh liar ini di jalan tak bisa
dilakukan sebab pos-pos di jalan dilarang. Lalu, hagaimanil
nasib ke 4 pedagang itu? Tak jelas. Yang pasti, menurut Gubernur
Worang, "partisipasi mereka sebesar Rp 600 jika untuk
mengsukseskan MTQ Nasional, tak kecil."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini