Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Campak Mewabah di Papua Tengah

Sebanyak 41 anak meninggal diduga akibat campak di Dogiyai, Papua Tengah. Jumlah korban ada kemungkinan lebih banyak lagi.

6 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemakaman anak yang baru saja meninggal akibat campak di Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah. Dok Yeskiel Belau

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sebelum meninggal, pada umumnya di beberapa bagian tubuh anak-anak itu terdapat bintik-bintik merah menyerupai penyakit campak.

  • Informasi awal tentang campak di Dogiyai beredar di grup WhatsApp para pastor, awal Februari lalu.

  • Tujuh kabupaten di Papua Tengah terjangkit campak.

JAKARTA — Yeskiel Belau, 32 tahun, terenyuh saat memimpin proses penguburan jenazah ET, 3 tahun, anak di Distrik Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua Tengah, Ahad, 5 Maret 2023. Pastor Paroki Kristus Penebus Timeepa itu sesekali menyeka matanya yang memerah. Ia menduga anak balita itu meninggal akibat penyakit campak. Hal itu terlihat pada bintik-bintik merah di tubuhnya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Wajah jenazah anak yang saya makamkan tadi pucat sekali dan badannya kurus,” kata Yeskiel kepada Tempo lewat sambungan telepon, Ahad, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yeskiel mengaku ET merupakan anak ke-19 yang diduga meninggal akibat campak yang ditangani oleh pusat Paroki Kristus Penebus Timeepa. Sesuai dengan data yang dihimpun tim mereka di lapangan, tercatat 41 anak di Dogiyai diduga meninggal akibat campak. Rinciannya, 19 orang dari lima komunitas basis di pusat paroki, 8 orang dari Stasi Toubai, masing-masing 5 orang dari Stasi Abaugi dan Stasi Degadai, serta masing-masing 2 orang dari Stasi Ponaige dan Stasi Deneiode. Stasi adalah istilah kewilayahan dalam gereja katolik, yang berada dalam paroki. 

“Jika ditambahkan dengan jumlah anak meninggal dari lima stasi yang lain, pasti membeludak jumlahnya,” ucap Yeskiel.

Menurut Yeskiel, sebelum meninggal, pada umumnya di beberapa bagian tubuh anak-anak itu terdapat bintik-bintik merah menyerupai penyakit campak. Yeskiel menduga campak mulai menjangkiti anak-anak, yang umumnya berusia di bawah 10 tahun, di Distrik Mapia Tengah sejak awal Februari lalu. Tapi pihak Paroki Kristus Penebus Timeepa baru menyadarinya pada pertengahan bulan lalu. 

Informasi awal tentang campak di Distrik Mapia Tengah beredar di grup aplikasi WhatsApp para pastor. Nicko Syukur OFM, seorang pastor, yang membagikan informasi itu di grup percakapan tersebut. Yeskiel mengetahuinya dari Ernes Pugiye, kolega Yeskiel yang juga seorang pastor. “Dalam laporannya, ada begitu banyak anak yang meninggal diduga akibat campak di Dogiyai, termasuk di kampung-kampung yang masuk paroki yang saya pimpin,” ujar dia.

Yeskiel lantas mengeceknya ke masyarakat. Ia mendapat informasi serupa dari penduduk setempat. Saat ini, kata Yeskiel, pihak paroki mendapat informasi bahwa 83 anak tengah menderita penyakit campak di Dogiyai. Mereka tersebar di beberapa daerah. “Data ini belum semuanya masuk, masih menunggu laporan dari para pewarta,” kata dia.

Pada umumnya, di beberapa bagian tubuh 83 anak itu juga terdapat bintik merah, seperti di wajah, dada, dan punggung. Suhu badan mereka sangat panas. Mereka juga kehilangan nafsu makan hingga badannya kurus. “Warga menduga ini berasal dari pengaruh makanan impor,” kata Yeskiel. “Dugaan ini diperparah oleh pola hidup masyarakat yang kurang peduli akan kebersihan, istirahat yang tidak teratur, serta tidak rutin melakukan imunisasi.”

Penjabat Bupati Dogiyai, Petrus Agapa, mengakui banyak anak di wilayahnya yang menderita campak. Ia pun sudah memerintahkan anak buahnya untuk mengirim obat-obatan dan tenaga medis ke kampung-kampung yang terjangkit campak. Namun Petrus belum sempat menjelaskan lebih rinci karena terhambat sinyal telekomunikasi di Dogiyai. Tempo berusaha menghubunginya lagi, tapi Petrus tidak merespons.

Pelayanan imunisasi campak, rubella dan polio di salah satu kampung di Papua. Dok Humas Dinkes Papua

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Maxi Rein Rondonuwu, membenarkan banyak anak terjangkit campak di Papua Tengah dalam tiga bulan terakhir. Sesuai dengan data Kementerian Kesehatan per 3 Maret 2023, total kasus campak di Papua Tengah mencapai 397 orang. Mereka tersebar di tujuh kabupaten, yaitu Nabire, Paniai, Mimika, Puncak, Dogiyai, Intan Jaya, dan Deiyai. 

“Sekitar 48 telah terkonfirmasi lab positif campak,” kata Maxi lewat keterangan tertulis, kemarin.

Mereka tersebar di Mimika sebanyak 25 kasus, Nabire 16 kasus, dan Paniai 7 kasus. Di samping itu, kata dia, saat ini ada 19 anak yang tengah dirawat. Lalu 182 anak lainnya dinyatakan sembuh. Versi Kementerian Kesehatan, korban meninggal akibat campak hanya 2 anak, yaitu di Nabire dan Paniai.

Maxi beralasan merebaknya kasus campak akibat rendahnya imunisasi Measles Rubella (MR) atau imunisasi campak untuk anak di Papua Tengah pada 2022. Cakupan imunisasi MR1 di Papua Tengah sebesar 64,1 persen, lalu MR2 hanya 28,6 persen. 

“Temuan kami di lapangan, sebanyak 87 persen kasus yang telah dilaporkan belum pernah mendapat imunisasi MR. Ini terjadi di hampir semua kelompok umur. Bahkan status imunisasinya sebagian besar 0,” ujar Maxi. “Ini menjadikan Papua Tengah masuk kategori berisiko penularan campak rubela.”

Kementerian Kesehatan, kata Maxi, telah mengantisipasi agar penyakit campak itu tidak meluas ke daerah lain. Kementerian Kesehatan juga berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Papua Tengah serta dinas kesehatan di tujuh kabupaten untuk meningkatkan surveilans aktif, meningkatkan cakupan imunisasi, dan memenuhi kelengkapan fasilitas layanan kesehatan dalam menangani kasus campak. “Kami mengingatkan bahwa imunisasi MR masih menjadi cara yang ampuh untuk mencegah campak dan rubela,” ujar Maxi. “Silakan datangi fasilitas pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan imunisasi MR.”

Kondisi Geografis Menjadi Hambatan Imunisasi 

Yeskiel Belau mengatakan tidak mudah bagi warga Distrik Mapia Tengah menyertakan anaknya dalam program imunisasi secara rutin. Hambatan utama masyarakat adalah jarak antara rumah mereka dan fasilitas kesehatan yang jauh serta kondisi geografis kampung-kampung di sana.

“Selain medan berat yang harus dilalui untuk sampai ke puskesmas, petugas kesehatan tidak ada di tempat,” kata Yeskiel.

Ia juga menyoalkan distribusi obat-obatan dari dinas kesehatan yang tak sampai ke wilayah pedalaman. Sejumlah kampung yang belum terjangkau bantuan itu adalah Degadai, Ponaige, dan Deneiode. “Padahal jumlah penderita campak di sana meningkat,” katanya.

Yeskiel melanjutkan, Administrator Keuskupan Timika—induk pusat Paroki Kristus Penebus Timeepa— turun tangan menangani penyakit campak ini. Mereka mengirimkan tim dokter ke Paroki Modio.

ANDI ADAM FATURAHMAN

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus