Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Cara Ideal Menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat

Indonesia bisa belajar menyelesaikan pelanggaran HAM berat dari negara lain. Di Guatemala, pelaku divonis 5.130 tahun penjara.

17 November 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah ingin menyelesaikan pelanggaran HAM berat tanpa menyeret pelaku ke pengadilan.

  • Pemerintahan Prabowo mengutamakan pendekatan ekonomi dalam penyelesaian kasus HAM berat.

  • Rekonsiliasi yang paling ideal adalah untuk peristiwa pelanggaran HAM berat pada 1990-an.

BERKUMPUL di kantor Imparsial di Tebet, Jakarta Selatan, sejumlah pegiat hak asasi manusia berdiskusi soal nasib penuntasan kasus pelanggaran HAM berat pada masa pemerintahan Prabowo Subianto. Dalam pertemuan awal November 2024 itu, mereka juga membahas upaya rekonsiliasi yang telah digelar pemerintah.

Proses rekonsiliasi mulai berjalan setelah Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM memberikan sebelas rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo pada Januari 2023. Isinya, antara lain, mengakui dan menyesalkan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu serta memulihkan hak korban pelanggaran HAM.

“Pemerintah ingin rekonsiliasi tapi tak menyelesaikan kasusnya,” ujar Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto ketika dihubungi, Rabu, 13 November 2024. Diskusi itu juga dihadiri perwakilan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, serta Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia.

Direktur Elsam Wahyudi Djafar mengatakan pemerintah seharusnya memulai rekonsiliasi dengan berupaya mencari fakta dan kebenaran peristiwa, mengungkap kasus, menemukan pelaku, serta memenuhi hak korban. “Saat ini terjadi rekonsiliasi semu yang berbungkus pemberian bantuan kepada korban,” katanya.

Menurut Wahyudi, Indonesia bisa meniru penyelesaian kasus HAM di beberapa negara, seperti Afrika Selatan untuk kasus apartheid, Cile, dan Guatemala. Negara-negara itu terbilang berhasil menggelar rekonsiliasi pelanggaran HAM berat.



Dokumen Amnesty International, “Guatemala: All the Truth, Justice for All”, menyebutkan salah satu peristiwa pelanggaran HAM berat. Pada 1982, terjadi pembantaian 350 warga Desa Las Dos Erres, Kota La Libertad, oleh kelompok militer. Tentara menyerbu desa yang dicurigai menjadi persembunyian gerilyawan komunis. Pemerintah menganggap kelompok komunis sebagai pemberontak.

Keluarga korban membawa perkara ini ke Inter-American Commission on Human Rights atau Komisi HAM Antar-Amerika. Komisi itu bertanggung jawab atas pelindungan HAM di Benua Amerika. Berkas pelanggaran HAM masuk ke pengadilan HAM Antar-Amerika pada 2008. 

Setahun kemudian, pengadilan memutuskan pemerintah Guatemala melanggar HAM karena membantai warganya. Menurut situs news.un.org, pengadilan menjatuhkan vonis kepada lima mantan tentara yang melakukan pembantaian di Desa Las Dos Erres. Salah satunya Santos Lopez Alonso, yang dijatuhi hukuman 5.130 tahun penjara.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menuturkan, ada kemiripan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dengan di Guatemala. Pelakunya sama-sama militer. Menurut Usman, pemerintah seharusnya menelusuri pelaku pelanggaran HAM untuk mengungkap kebenaran. “Kalau memaafkan, harus tahu siapa yang melakukan,” ucapnya. 

Usman menyebutkan rekonsiliasi yang paling ideal dilakukan adalah untuk peristiwa pelanggaran HAM pada 1990-an. Di antaranya tragedi penembakan mahasiswa Universitas Trisakti 1998 dan penculikan aktivis 1997-1998. “Pelakunya kebanyakan masih hidup,” kata Usman.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Atnike Nova Sigiro menyatakan penyelesaian pelanggaran HAM harus mampu memenuhi hak korban. Dia mencontohkan kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang terjadi pada 1984. Para pelaku, Atnike melanjutkan, sudah melalui proses pengadilan. Tapi pengadilan tak berhasil membuktikan terjadi kejahatan.

Akibatnya, para korban pelanggaran HAM berat tak mendapatkan hak mereka. Kasus itu pun tak masuk wilayah kerja Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM. “Kasihan mereka enggak dapat keadilan,” ujarnya, Kamis, 14 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Egi Adyatama berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul “Tiada Maaf tanpa Pelaku”. 

Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus