Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Remaja, di tengah kucing dan pelacur

Bidang sosial mulai diminati para remaja. 10 dari 25 finalis mempersoalkan problem kemasyarakatan & kebudayaan. para pemenang dan hasil karyanya.(pdk)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN ini tahun sosial-budaya. Banyak remaja tertarik pada masalah sosialbudaya, dalam Lomba Karya Ilmu Pengetahuan bagi Remaja 1983. Ada remaja "menemukan" candi dan peninggalan purbakala di Kecamatan Trawas, Jawa Timur -- yang oleh Kantor Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala di Mojokerto, kawasan itu tercatat pun tidak. Seorang remaja memberanikan diri masuk kompleks pelacuran di Prapat, Denpasar, dan mencoba tahu peri laku seks penghuni di situ. Di Semarang, seorang siswa SMA menyelusuri jalan-jalan, menuruni jembatan mewancara gelandanga. "Rupanya masalah sosial-budaya makin menarik bagi remaja," tutur Dr. Astrid Susanto, sosiolog yang menjadi anggota dewan juri lomba ini. Memang, Lomba yang diselenggarakan Departemen P&K dan PT Philips sejak 1977 ini, tahun-tahun sebelumnya hanya menemukan satu-dua naskah finalis yang membahas bidang sosial-budaya. Kini, dari 25 finalis, 10 di antaranya mempersoalkan problem kemasyarakatan dan kebudayaan. Dan dalam pengumuman pemenang Senin yang lalu, sebuah naskah sosial mendapat hadiah kedua (lihat Minyak Sindor, . . . ). Herannya lagi, banyak naskah penelitian sosial-budaya itu datang dari siswa IPA (ilmu pengetahuan alam). Para remaja bidang eksakta itu ternyata tak sempit lingkup perhatiannya. "Jangan heran, baik anak IPS maupun anak IPA nantinya kan harus terjun dalam masyaraLat," kata Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, ketua dewan juri. "Yang penting mereka tanggap terhadap masalah di sekelilingnya." Hampir semua naskah finalis memang dibuat karena masalah itu dekat dengan mereka. Agus Sutiarso meneliti penghuni kompleks pelacuran Prapat karena masyarakat Denpasar waktu itu sedang meributkan kompleks itu. "Ada yang pro, ada yang kontra," kata Agus. Helena W. dan Rinaldi serta kawan-kawannya melupakan rasa takut dan rasa mual, mereka masuk hutan menemui orang Kubu yang hidup terasing. Si siswa SMP, Achsannu'adilan Putra Jaya, tertarik mengamati perilaku anak kucing yang ditinggal mati induknya, karena tiap hari ia bergaul dengan kucing. "Kucing saya cuma empat, tapi kucing tetangga suka datang banyak," kata anak kelahiran Kotamobagu, Sulawesi Utara ini. Itu di Departemen P&K. Di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang menyelenggarakan lomba sejenis dalam waktu yang hampir bersamaan ternyata menunjukkan hal yang sama. Minat remaja peneliti bidang sosial-budaya makin banyak. Lomba LIPI 1981 misalnya, masuk 45 naskah bidang sosial. Tahun berikutnya jumlah itu meningkat mencapai 183. Tahun ini, yang dalam pekan ini para finalis diuji di Jakarta, bidang sosial memang hanya diikuti 68 naskah. Tapi itu jumlah yang sama dengan bidang kimia, dan merupakan jumlah terbesar kedua setelah bidang biologi yang 87. Padahal mengadakan penelitian sosial dibanding penelitian dalam bidang eksakta dan pengetahuan alam, lebih kompleks. Tapi rupanya hal ini tak menjadi halangan buat remaja-remaja itu. Hampir tiap naskah bidang sosial-budaya menyertakan daftar bacaan yang banyak. Tak seperti tahun-tahun lalu, bukan saja bacaan, bahkan penelitian pun tak dilakukan. Naskah hanya berupa pendapat-pendapat pribadi. Toh, Harsja Bachtiar, salah seorang juri, masih melihat kelemahan naskah sosial ini. Masih sering para remaja peneliti sosial mengambil kesimpulan yang sangat subyektif, kata ketua Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen P&K ini. Dari para remaja sendiri, yang meneliti bidang sosial, muncul keluhan. Mereka mengeluhkan susahnya mewawancara responden. Banon misalnya, yang meneliti gelandangan itu, sering bertanya tanpa jawab. "Gelandangan yang saya tanya cuma geleng-geleng kepala," tuturnya. Dan Agus Farkhan dari SMAN V, Yogyakarta, yang meneliti soal siskamling lewat "jimpitan beras" (pengumpulan beras suka rela, sejimpit pun jadi), banyak menghabiskan waktu karena responden suka menangguhkan janji. "Bahkan dulu ketika saya mau wawancara dengan petani di Wonogiri, ada yang lari karena mengira saya petugas pajak," cerita Agus. Belum lagi bila para peneliti remaja itu terbentur soal bahasa. Seperti Helena dan Rinaldi serta kawan-kawannya itu, yang terpaksa minta tolong seorang penerjemah untuk mewancara suku Kubu di pedalaman Jambi. Tapi bagaimanapun, menurut Astrid Susanto, tahun ini naskah penelitian bidang sosial jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Dan dilihat dari segi penelitian dan cara menuliskan laporan, boleh dikata semua naskah dari semua bidang memenuhi syarat sebagai laporan penelitian. Tak ada lagi naskah yang berisi laporan tanpa penelitian. Achsanu'adilan siswa SMPN 114, Jakarta, yang menulis tentang anak kucing yang ditinggal mati induknya, misalnya. Catatannya bahwa si anak kucing lantas saling menyusu pada tubuhnya sendiri, bukanlah diperoleh dari dongeng. Tapi dari pengamatan tiap hari selama dua minggu terus-menerus. Yang mungkin perlu ditanyakan kini ialah, dampak lomba-lomba untuk remaja itu bagi kegiatan mereka sendiri. Panitia Lomba di Departemen P&K memang belum mengadakan monitoring. Yang jelas, peserta lomba memang meningkat: tahun 1979 misalnya hanya ada 300-an peserta. Tahun ini masuk 670 peserta. Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI, memang menunjukkan penurunan: tahun 1981 ada seribu lebih peserta untuk 9 bidang ilmu. Tahun ini peserta Lomba hanya 680-an. Cuma dari segi lain, LIPI mencatat, kegiatan Proyek Pemasyarakatan Ilmu dan Teknologi LIPI serta himpunan ilmiah remaja di berbagai kota meningkat. Bila jumlah kegiatan itu tahun 1981 hanya total 27 hari, tahun lalu hampir 60 hari. Kegiatan itu antara lain berupa ceramah ilmiah dan perkemahan ilmiah untuk remaja. Pun Hubungan Masyarakat LIPI yang selalu melayani permintaan informasi tentang ilmu dan teknologi dari para remaja, mencatat kenaikan jumlah surat yang lumayan. Hingga akhir 1970-an, surat yang masuk rata-rata 50 pucuk per bulan. Tapi tiga tahun belakangan ini rata-rata mencapai angka 150 per bulan. Para remaja itu menanyakan macam-macam: dari soal gas bio, kunci elektronik hingga kotak penetas telur. Agaknya, lomba-lomba itu tidak sia-sia. Remaja yang sibuk berolah ilmu dan teknologi makin lama makin seru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus