TAHUN ini tahun sosial-budaya. Banyak remaja tertarik pada
masalah sosialbudaya, dalam Lomba Karya Ilmu Pengetahuan bagi
Remaja 1983. Ada remaja "menemukan" candi dan peninggalan
purbakala di Kecamatan Trawas, Jawa Timur -- yang oleh Kantor
Suaka Peninggalan Sejarah Purbakala di Mojokerto, kawasan itu
tercatat pun tidak. Seorang remaja memberanikan diri masuk
kompleks pelacuran di Prapat, Denpasar, dan mencoba tahu peri
laku seks penghuni di situ. Di Semarang, seorang siswa SMA
menyelusuri jalan-jalan, menuruni jembatan mewancara gelandanga.
"Rupanya masalah sosial-budaya makin menarik bagi remaja," tutur
Dr. Astrid Susanto, sosiolog yang menjadi anggota dewan juri
lomba ini.
Memang, Lomba yang diselenggarakan Departemen P&K dan PT
Philips sejak 1977 ini, tahun-tahun sebelumnya hanya menemukan
satu-dua naskah finalis yang membahas bidang sosial-budaya.
Kini, dari 25 finalis, 10 di antaranya mempersoalkan problem
kemasyarakatan dan kebudayaan. Dan dalam pengumuman pemenang
Senin yang lalu, sebuah naskah sosial mendapat hadiah kedua
(lihat Minyak Sindor, . . . ).
Herannya lagi, banyak naskah penelitian sosial-budaya itu datang
dari siswa IPA (ilmu pengetahuan alam). Para remaja bidang
eksakta itu ternyata tak sempit lingkup perhatiannya. "Jangan
heran, baik anak IPS maupun anak IPA nantinya kan harus terjun
dalam masyaraLat," kata Prof. Dr. Andi Hakim Nasution, ketua
dewan juri. "Yang penting mereka tanggap terhadap masalah di
sekelilingnya."
Hampir semua naskah finalis memang dibuat karena masalah itu
dekat dengan mereka. Agus Sutiarso meneliti penghuni kompleks
pelacuran Prapat karena masyarakat Denpasar waktu itu sedang
meributkan kompleks itu. "Ada yang pro, ada yang kontra," kata
Agus. Helena W. dan Rinaldi serta kawan-kawannya melupakan rasa
takut dan rasa mual, mereka masuk hutan menemui orang Kubu yang
hidup terasing. Si siswa SMP, Achsannu'adilan Putra Jaya,
tertarik mengamati perilaku anak kucing yang ditinggal mati
induknya, karena tiap hari ia bergaul dengan kucing. "Kucing
saya cuma empat, tapi kucing tetangga suka datang banyak," kata
anak kelahiran Kotamobagu, Sulawesi Utara ini.
Itu di Departemen P&K. Di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia) yang menyelenggarakan lomba sejenis dalam waktu yang
hampir bersamaan ternyata menunjukkan hal yang sama. Minat
remaja peneliti bidang sosial-budaya makin banyak. Lomba LIPI
1981 misalnya, masuk 45 naskah bidang sosial. Tahun berikutnya
jumlah itu meningkat mencapai 183. Tahun ini, yang dalam pekan
ini para finalis diuji di Jakarta, bidang sosial memang hanya
diikuti 68 naskah. Tapi itu jumlah yang sama dengan bidang
kimia, dan merupakan jumlah terbesar kedua setelah bidang
biologi yang 87.
Padahal mengadakan penelitian sosial dibanding penelitian dalam
bidang eksakta dan pengetahuan alam, lebih kompleks. Tapi
rupanya hal ini tak menjadi halangan buat remaja-remaja itu.
Hampir tiap naskah bidang sosial-budaya menyertakan daftar
bacaan yang banyak. Tak seperti tahun-tahun lalu, bukan saja
bacaan, bahkan penelitian pun tak dilakukan. Naskah hanya berupa
pendapat-pendapat pribadi. Toh, Harsja Bachtiar, salah seorang
juri, masih melihat kelemahan naskah sosial ini. Masih sering
para remaja peneliti sosial mengambil kesimpulan yang sangat
subyektif, kata ketua Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan Departemen P&K ini.
Dari para remaja sendiri, yang meneliti bidang sosial, muncul
keluhan. Mereka mengeluhkan susahnya mewawancara responden.
Banon misalnya, yang meneliti gelandangan itu, sering bertanya
tanpa jawab. "Gelandangan yang saya tanya cuma geleng-geleng
kepala," tuturnya. Dan Agus Farkhan dari SMAN V, Yogyakarta,
yang meneliti soal siskamling lewat "jimpitan beras"
(pengumpulan beras suka rela, sejimpit pun jadi), banyak
menghabiskan waktu karena responden suka menangguhkan janji.
"Bahkan dulu ketika saya mau wawancara dengan petani di
Wonogiri, ada yang lari karena mengira saya petugas pajak,"
cerita Agus. Belum lagi bila para peneliti remaja itu terbentur
soal bahasa. Seperti Helena dan Rinaldi serta kawan-kawannya
itu, yang terpaksa minta tolong seorang penerjemah untuk
mewancara suku Kubu di pedalaman Jambi.
Tapi bagaimanapun, menurut Astrid Susanto, tahun ini naskah
penelitian bidang sosial jauh lebih baik dari tahun-tahun
sebelumnya. Dan dilihat dari segi penelitian dan cara
menuliskan laporan, boleh dikata semua naskah dari semua bidang
memenuhi syarat sebagai laporan penelitian. Tak ada lagi naskah
yang berisi laporan tanpa penelitian. Achsanu'adilan siswa SMPN
114, Jakarta, yang menulis tentang anak kucing yang ditinggal
mati induknya, misalnya. Catatannya bahwa si anak kucing lantas
saling menyusu pada tubuhnya sendiri, bukanlah diperoleh dari
dongeng. Tapi dari pengamatan tiap hari selama dua minggu
terus-menerus.
Yang mungkin perlu ditanyakan kini ialah, dampak lomba-lomba
untuk remaja itu bagi kegiatan mereka sendiri. Panitia Lomba di
Departemen P&K memang belum mengadakan monitoring. Yang jelas,
peserta lomba memang meningkat: tahun 1979 misalnya hanya ada
300-an peserta. Tahun ini masuk 670 peserta. Lomba Karya Ilmiah
Remaja LIPI, memang menunjukkan penurunan: tahun 1981 ada seribu
lebih peserta untuk 9 bidang ilmu. Tahun ini peserta Lomba hanya
680-an. Cuma dari segi lain, LIPI mencatat, kegiatan Proyek
Pemasyarakatan Ilmu dan Teknologi LIPI serta himpunan ilmiah
remaja di berbagai kota meningkat. Bila jumlah kegiatan itu
tahun 1981 hanya total 27 hari, tahun lalu hampir 60 hari.
Kegiatan itu antara lain berupa ceramah ilmiah dan perkemahan
ilmiah untuk remaja.
Pun Hubungan Masyarakat LIPI yang selalu melayani permintaan
informasi tentang ilmu dan teknologi dari para remaja, mencatat
kenaikan jumlah surat yang lumayan. Hingga akhir 1970-an, surat
yang masuk rata-rata 50 pucuk per bulan. Tapi tiga tahun
belakangan ini rata-rata mencapai angka 150 per bulan. Para
remaja itu menanyakan macam-macam: dari soal gas bio, kunci
elektronik hingga kotak penetas telur. Agaknya, lomba-lomba itu
tidak sia-sia. Remaja yang sibuk berolah ilmu dan teknologi
makin lama makin seru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini