Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sindor, gelandangan dan minuman...

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HATI-hati menebang pohon sindor. Begitu empulur batangnya terluka, minyak akan mengucur keluar. Dan minyak itu mudah terbakar. Pohon sindor? Pohon yang berbatang tinggi besar itulah yang dijadikan obyek penelitian Lourentius M., siswa kelas III IPS SMA Santo Paulus di Nyarumkop, Singkawang, Kalimantan Barat. Dan karya tulis anak muda ini ternyata memenangkan hadiah III dalam Lomba Karya Ilmu Pengetahuan bagi Remaja 1983. Di tengah zaman yang sibuk mencari sumber energi baru, yang ditampilkan Lourentius memang menarik. "Saya terdorong meneliti sindor karena pohon itu sudah langka," kata anak petani ini. "Padahal sindor bisa dijadikan sumber energi baru yang tak kalah dengan minyak bumi." Di Kecamatan Singkawang, menurut siswa yang baru pertama kali ikut dalam lomba ini, ia hanya menemukan 18 pohon sindor. Padahal menurut cerita-cerita para orang tua di Singkawang, di zaman Jepang tumbuhan semacam pohon petai itu menjadi ganti minyak tanah yang kala itu sulit didapat. Anehnya kini di Singkawang pun tak banyak lagi yang mengenal sindor, kata Lourentius pula. Bahkan Museum Biologi Bogor yang dikiriminya surat, hanya memberikan informasi ala kadarnya -- dan itu pun datangnya terlambat. Agaknya hambatan itulah yang menyebabkan penelitiannya tak mendalam benar. Selain memang, ia siswa Ilmu Pengetahuan Sosial yang pengetahuan biologi dan kimianya terbatas. Sebaliknya dari Lourentius adalah Banon Gede Umbaran, siswa kelas II IPA SMAN IV, Semarang. Anak dosen Universitas Sriwijaya, Palembang, ini, yang bercita-cita menjadi insinyur justru tertarik mencari tahu ikhwal gelandangan. Sementara citra remaja kota kini adalah kehidupan yang santai dan penuh hura-hura, minat Banon memang terasa istimewa. Minat itu tumbuh karena ia berkenalan dengan seorang gelandangan yang tiap hari mangkal di gedung bioskop di belakang Pasar Johar, Semarang. "Kok dia selalu di situ, dan kerjanya cuma bengong, kadang-kadang mengumpulkan puntung rokok atau kardus bekas," tutur anak sulung dari tujuh bersaudara ini. Maka ketika si gelandangan yang mengaku bernama Bambang Irawan bersedia membantunya, bulatlah tekad Banon mengusut kaum kelas bawah ini. Selama 3 bulan ia menyebar angket dan mewawancara 102 gelandangan Semarang. Kesimpulan yang diperolehnya, "mereka memang malas bekerja." Toh, Banon merasa perlu memperhatikan sebagian dari bangsanya itu. "Hidup di bawah satu atap," kata anak muda itu, "kok keadaannya berbeda, dan ini seolah-olah dianggap wajar." Maka muncul usulnya di bab akhir laporan penelitiannya, agar orang-orang kaya menyisihkan uangnya untuk mendirikan satu perusahaan yang bisa menampung gelandangan. Gagasan anak yang gemar membaca dan berkaca mata minus 1,5 ini barangkali naif. Tapi kesungguhannya mengumpulkan data, dan ketekunannya mengkaji sembilan buku tentang kemiskinan dipandang dari sosiologi membuahkan laporan yang menurut Dewan Juri pantas mendapat hadiah kedua. Padahal sehabis diwawancara Dewan Juri, Banon seperti sudah putus asa. "Wah, saya kapok lain kali mau bikin penelitian eksakta saja," katanya kepada TEMPO. "Ternyata masalah sosial itu luas sekali." Cerita penelitian lain datang dari siswa SMA Bogor. Suatu hari ketika masih di bangku SD siswa itu membeli minuman dalam kotak karton. Begitu ia sedot minuman itu lantas dimuntahkannya kembali. Rasa asam dan bau yang tak sedap tercium olehnya. Ketika kotak itu dibuka, ternyata minumam itu sudah keruh mirip air comberan. Dan anak itu mengaku sering menemukan yang seperti itu. Lama kelamaan anak seorang dosen IPB itu berniat meneliti apa sebenarnya yang terjadi. Itu dikerjakannya setelah ia duduk di SMA Rcgina Pacis, Bogor. Hesti Widayani, anak itu, kemudian menemukan bahwa kotak karton minuman yang berisi susu ultra maupun sari buah sangat mudah dibuka. Ini menggampangkan pemalsuan: kotak yang habis dipakai dikumpulkan lagi dan iisi dengan minuman yang tidak memenuhi syarat. Tes laboratorium yang dikerjakannya memang membuktikan ada minuman yang palsu dan tidak higienis. Selain itu tanggal batas pada kotak karton ternyata mudah dihapus dengan larutan etanol, eter, dan aseton. Bila tanggal itu hilang, tak lagi ketahuan kapan minuman itu tak lagi sehat diminum. Ia memang pantas mendapat nilai tinggi untuk pilihan obyek penelitiannya, penemuannya, dan kemanfaatan penelitiannya. Wajar bila anak kedua dari tiga bersaudara itu tahun ini dipilih menjadi pemenang pertama yang akan mewakili remaja Indonesia ke Kontes Ilmuwan Remaja di Eropa tahun depan. Lalu apa yang diusulkannya dari penelitiannya selama sebulan ini? "Sebaiknya tanggal pada kotak tidak dicetak dengan tinta, tapi dicetak timbul ke dalam atau ke luar, hingga sulit dihapus," jawabnya meyakinkan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus