Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Panggilan

Ppp mencalonkan pak harto sebagai presiden untuk periode '93-'98. bursa wakil presiden mulai beredar di kalangan terbatas. pak harto dan bung karno tercatat sbg indivdu yg luar biasa dalam sejarah.

19 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIM kebulatan tekad sudah datang. Kali ini, bukan Golkar yang menggelindingkan. Organisasi sosial politik yang pagi-pagi sudah mengumumkan calon presiden untuk periode 1993-1998 adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menyalurkan aspirasi umat Islam. Calonnya tak lain adalah Pak Harto. Kebulatan tekad mendukung Presiden Soeharto telah beberapa kali dilakukan. Kecuali ada gerakan massa mencalonkan Pak Harto menjadi presiden, ada pula kebulatan tekad yang gegap-gempita di masa lalu, yakni gelar "Bapak Pembangunan". Ini tampaknya berkaitan dengan prestasinya selama memimpin pembangunan semasa Orde Baru. Kehidupan politik tampak lebih serasi, tak ada kotak-kotak ideologi, dan pertumbuhan ekonomi pun terasa membaik. Dengan atau tanpa "rekayasa" itu, Presiden Soeharto tampaknya memang menjadi pilihan yang pas. Ini sudah terbukti selama lima periode masa jabatannya. Sebagai negarawan, ia diakui telah punya nama. Karena nama besar sebagai negarawan itu pula agaknya Pak Harto masih saja diminta mau melanjutkan tugasnya. Padahal, beberapa kali ia mengaku sudah tua. Memang, kalau 1993 nanti terpilih, usianya sudah mencapai 72 tahun. Setahun sebelum Pemilu 1987, Pak Harto mengaku miris menghadapi tanggung jawab yang tak ringan. Dalam suatu kesempatan temu muka dengan KNPI, ia sambil berkelakar menyebut dirinya TOPP. Suatu ciri orang tua pada umumnya, yakni tua, ompong, peot, dan pikun. Bahkan dalam bukunya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, ia memberikan isyarat bahwa periode ini adalah yang terakhir. Itulah sikap rendah hati Pak Harto yang sering diungkapkan. Selama ini, ia masih siap memenuhi panggilan tugas. Bila rakyat memanggilnya atau memintanya untuk tetap memimpin bangsa ini, ia tak pernah menolak. Ia punya prinsip, kepentingan yang lebih besar mesti didahulukan ketimbang kepentingannya sendiri. Kalau memang prinsip ini masih dipegangnya dan desakan rakyat akan semakin deras dalam Sidang Umum MPR 1993 nanti, kiranya sulit bagi Pak Harto untuk menolaknya. Kecuali, misalnya, Pak Harto punya pertimbangan lain yang selama ini belum pernah diungkapkannya. Dan nampaknya, organisasi sosial politik yang akan menentukan calon presiden dalam SU-MPR 1993 nanti belum punya pilihan lain selain Pak Harto. Yang menarik, dalam musim kebulatan tekad ini, usulan pertama justru muncul dari umat Islam. Bukan dari Golkar, organisasi sosial politik tempat Pak Harto sendiri sebagai ketua dewan pembinanya. Dukungan umat Islam agar Pak Harto mau tampil lagi sebagai presiden bukan tanpa alasan. Pak Harto dinilai telah banyak memberikan angin segar bagi umat Islam. Bukan cuma keberhasilan membangun ratusan masjid atau keberangkatan Pak Harto menunaikan ibadah haji. Umat Islam juga merasa berterima kasih kepada Pak Harto, yang telah memberikan kemudahan lewat berbagai undang-undang. Tampaknya, apa yang akan dihadapi Kepala Negara menjelang periode keenam ini tidaklah mudah. Pak Harto sendiri mengaku punya keterbatasan-keterbatasan, antara lain usianya. Karena itu, banyak pihak menduga-duga bahwa jabatan wakil presiden akan menjadi posisi yang strategis. Bursa calon wakil presiden pun mulai beredar di kalangan terbatas. Pak Harto, dan juga Bung Karno, dinilai beberapa pakar kenegaraan sebagai individu yang luar biasa yang tercatat dalam sejarah bangsa. Keadaan menghendaki agar keduanya memenuhi panggilan zamannya. Bung Karno dipanggil untuk mengantar ke pintu kemerdekaan dan mempersatukan bangsa yang bineka ini. Pak Harto mendapat panggilan untuk meletakkan dasar-dasar pembangunan dan melaksanakannya selama Orde Baru. Siapa pun yang akan menjadi presiden setelah Pak Harto, ia juga akan dicatat sejarah, bahwa ia sekadar memenuhi panggilan rakyat. Rakyat pula yang akan menentukan pilihannya, karena rakyatlah yang punya kedaulatan tertinggi. A. Margana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus