Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengkritik tidak adanya pelibatan partisipasi publik dalam penyusunan draf rancangan revisi undang-undang KUHAP oleh legislatif dan pemerintah. Koalisi meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersikap transparan dengan segera membuka naskah akademik maupun draf RUU KUHAP untuk publik, sehari setelah rapat paripurna DPR menyetujui RUU tersebut menjadi usulan inisiatif DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Advokat, mahasiswa, hingga korban penyiksaan mengajukan permohonan keterbukaan informasi publik ke Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi DPR pada Rabu, 19 Februari 2025. Astatantica Belly Stanio, advokat sekaligus pemohon, mengatakan KUHAP yang berlaku saat ini masih bermasalah. Dia khawatir bila pembahasan RUU KUHAP tanpa melibatkan partisipasi publik justru nantinya bakal menambah masalah dalam sistem peradilan pidana. "RUU KUHAP perlu dibahas bersama dengan masyarakat," kata Belly dalam keterangannya, pada Rabu, 19 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Muhammad Fawwaz Al Farabi mengatakan hal senada. Dia menyayangkan sikap DPR yang terkesan sembunyi-sembunyi dalam penyusunan dan pembahasan RUU KUHAP. Menurut dia, DPR semestinya membuka draf RUU itu tanpa harus diminta oleh masyarakat.
Dia menyoroti kejadian mahasiswa korban penculikan oleh aparat karena tidak adanya surat-surat yang berhubungan dengan tugas aparat. Menurut dia, kasus tersebut terjadi lantaran masalah mendasar di KUHAP. "Makanya publik perlu dilibatkan dalam pembahasan RUU KUHAP," ucap Fawwaz.
Rusin, salah satu orang tua dari korban penyiksaan dan salah tangkap, juga mengatakan pelibatan masyarakat dalam pembahasan RUU KUHAP menjadi penting. Sebab, menurut dia, rakyat Indonesia berhak tahu isi dari draf tersebut. "Misalnya ada yang tidak benar, bisa diperbaiki. Libatkanlah masyarakat, karena kekuasaan tertinggi di tangan rakyat," ujar dia .
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana mengkritik sikap DPR yang tidak membuka draf RUU KUHAP ke publik. Dia mengatakan, sikap DPR yang tidak terbuka melanggar hak konstitusional warga untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang. "KUHAP tidak boleh seolah hanya urusan DPR, pemerintah, dan aparat penegak hukum saja," ujarnya.
Menurut dia, pelibatan publik dalam pembahasan RUU KUHAP justru dapat memastikan penegakan hukum pidana berlandaskan keadilan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. "Jika ada upaya menutup-nutupi, kami patut menduga ada hak rakyat yang mau dicuri karena penyusunan UU akan mengatur kepentingan publik," ucapnya.