SEJAK pertengahan bulan Ramadhan lalu setiap malam
petugas-petugas Kecamatan Batuceper melakukan ronda di Desa
Pajang. Sasaran yang dicurigai bukan pencuri atau perampok. Tapi
mereka mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mencari Muslim dan
Johanes. Para peronda menggeledah rumah-rumah kalau-kalau
menyimpan kedua orang itu.
Muslim bin Marup (45) bekas carii Desa Pajang dan Johanes
Supandi mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta, adalah
jurubicara 10 orang utusan warga desa itu yanR menRhadap
Pimpinan DPR akhir Agustus tadi Mereka mengadukan nasib soal
pelaksanaan ganti rugi tanah mereka yang terkena proyek
Lapangan Terbang Cengkareng. Ganti rugi yang semula dijanjikan
sejak 1974 ternyata sampai saat ini sebagian belum menerimanya.
Padahal sementara itu para pemilik tanah telah dilarang mengolah
tanah mereka itu dengan cara memagarmya. Di antara warga Desa
Pajang yang masih mencoba-coba menanami tanahnya (karena tak ada
sumber mata pencaharian lain) petugas-petugas kecamatan merusak
tanaman itu.
Desa Pajang adalah satu di antara 6 desa yang terkena proyek
lapangan terbang itu. Desa-desa lainnya adalah Kedawung Wetan,
Benda, Kampung Baru, Belendung dan Negasari. Semuanya terletak
di Kecamatan Batuceper, Kabupaten Tanggerang, sekitar 24 km dari
Jakarta. Malangnya Desa Pajang adalah satu-satunya yang seluruh
arealnya tertelan oleh proyek tadi. Sedangkan desa-desa lainnya
hanya sebagian saja. Lapangan terbang itu akan memakan areal
1.500 hektar.
Dengan penghuni 4000 jiwa lebih, Desa Pajang membujur dari barat
ke timur. Desa ini telah dipilih sebagai as lapangan terbang
yang direncanakan selesai seluruhnya tahun 1990 itu -- tahap
pertama selesai 1980. Direncanakan semula lapangan terbang ini
akan membujur dari tenggara ke barat laut. Tapi dirubah menjadi
dari barat daya ke timur laut agar tidak merusak lingkungan
hidup burung-burung di Pulau Burung Kepulauan Seribu). Sampai
sekarang baru 31 jiwa warga Pajang yang sudah meninggalkan desa
ini karena telah menerima ganti rugi seluruhnya. Sisanya masih
bertahan karena belum menerima ganti rugi penuh.
Dalam penetapan panitia pembebasan tanah (terdiri dari unsur
Departemen Dalam Negeri, Departemen Perdagangan dan Departemen
Perhubungan) pada 1974 ganti rugi ditentukan sebesar Rp 300
per-m2 untuk tanah yang digarap sendiri dan Rp 225 per-mÿFD bagi
tanah yang digarap orang lain. Kepada penggarap diberikan ganti
rugi Rp 75 per-mÿFD. Karena para pemilik tanah memprotes, ganti
rugi diseragamkan menjadi rata-rata Rp 300 per-mÿFD. Meskipun
para pemilik tanah meminta agar ganti rugi itu ditambah, tapi
mereka menerimanya juga. "Kami menerimanya dengan terpaksa,"
kata Dudun (55) penduduk Desa Pajang kepada TEMPO Panitia
menjanjikan ganti rugi akan dilaksanakan secepat mun~kin.
Dijanjikan juga kenaikan jumlah ganti rugi akan diperjuangkan.
Sudah sekian tahun berlangsung, ternyata belum seluruh pemilik
tanah menerima ganti rugi atau sudah menerima sebagian dari
jumlah semestinya. Padahal mereka telah terlanjur membuat
transaksi untuk membeli areal pertanian baru di tempat lain.
Karena itu sementara harga tanah di luar areal proyek lapangan
terbang itu menanjak terus, sebagian dari mereka tetap mencoba
menanami tanah mereka. Tapi Camat Batuceper segera mengerahkan
bawahannya untuk merusak tanaman itu. "Jangankan padi, tanaman
genjerpun diinjak," tutur Mashudi, salah seorang warga Pajang.
Permulaan 1976 ratusan penduduk yang belum menerima ganti rugi
memheri kuasa kepada Muslim dan Johanes untuk menuntut agar
ganti rugi segera dilunasi. Tapi jangankan menerima apa yang
menjadi hak mereka, malahan Muslim dan Johanes ditangkap. Dan
ditahan selama 11 bulan, antara lain dituduh melakukan subversi.
Ketika akhirnya perkara kedua orang ini diputus oleh Pengadilan
Negeri Serang, keduanya dibebaskan dari segala tuduhan. Tapi
sejak mengadu ke DPR, Muslim dan Johanes telah menghilang, takut
ditangkap petugas kecamatan. Sampai minggu lalu keduanya belum
muncul.
Sebelum mengadukan nasib ke DPR akhir bulan lalu, mereka telah
mengajukan keinginan untuk bertemu dengan Tripida Kecamatan
Batuceper. Tapi Camat Batuceper menjawab: Tripida tidak bersedia
menemui mereka. Karena itu sebagai jalan terakhir mereka
menghadap pimpinan DPR yang menanggapi pengaduan warga Desa
Pajang itu dengan cukup serius. Bahkan tak lama lagi akan
menjadi salah satu mata acara pembahasan Komisi V dan Komisi II
DPR bersama pihak pemerintah.
Sebagian Kacil
Menurut drs. Faisal Tamin, Kepala Humas Departemen Dalam Negeri,
dari 1.500 ha tanah yang harus dibebaskan untuk proyek lapangan
terbang itu, hanya tinggal 300 ha lagi yang belum menerima ganti
rugi. Tapi kata Faisal pula, hanya sebagian kecil saja petani
yang mengeluh dan minta kenaikan ganti rugi. "Yang sebagian
kecil itu adalah yang 10 orang delegasi ke DPR itu," kata
Faisal. Namun melalui TEMPO, Dudun (seorang warga Pajang)
membantah hal itu. "Warga desalah yang meminta Muslim dan
Johanes ke DPR," ucap Dudun. Wartawan TEMPO Said Muchsin tak
berhasil menemui Camat Batuceper Mukni Ismail, karena sedang tak
ada di tempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini