Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sang proni versus buruh mogok

Pemogokan buruh terus meningkat. spsi, wadah tunggal serikat buruh, masih tetap mandul. tapi upah buruh ada perbaikan.

20 Maret 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Cosmas Batubara, buruh mogok bukan lagi soal baru. Selama ia memimpin Departemen Tenaga Kerja, berita pemogokan buruh muncul hampir tiap hari di surat kabar. Bahkan jumlahnya dari tahun ke tahun pernah melonjak lebih dua kali lipat. Lihat misalnya tahun 1990, di 17 wilayah saja, pemogokan buruh terjadi sebanyak 61 kali. Tahun berikutnya sudah melonjak menjadi 130 kali. Tahun lalu jumlah itu masih terus bertambah menjadi 177 kali. Barangkali inilah yang membuat Menteri Cosmas tak bisa tidur nyenyak. Jumlah angkatan kerja meningkat lebih besar ketimbang jumlah pabrik yang memberi kesempatan kerja. Belum lagi soal upah yang dirasakan masih minim. Sudah tentu Cosmas Batubara, 55 tahun, harus bekerja keras bagaikan ''Proni'', maskot pekerja yang berwujud semut hitam itu. Masa-masa awal memimpin Departemen Tenaga Kerja, Cosmas mencoba memperbaiki struktur upah buruh dan jam kerja. Hasilnya, tahun 1988 baru 37% perusahaan yang memenuhi ketentuan upah sesuai Kebutuhan Fisik Minimum, menjelang akhir masa jabatannya sudah 74% perusahaan memberikan upah yang dihitung setara 2.600 kalori itu. Program AKAN (AntarKerja AntarNegara) lumayan sukses. Dari target pengiriman 500.000 pekerja ke luar negeri, sampai Desember 1992 lalu sudah mencapai hampir 450.000 orang, dikirim ke 52 negara. Meski sebagian besar masih di sektor informal (pembantu rumah tangga), dibandingkan dengan lima tahun lalu ada peningkatan kualitas. Pada Pelita IV baru 29,8% TKI bekerja di bidang formal (juru rawat, dokter), pada Pelita V meningkat menjadi 42,5%. Devisa yang mereka kirim ke Indonesia pun lumayan: 800 juta dolar lebih. Di bidang hukum, beberapa aturan yang bermaksud melindungi pekerja sudah ditelurkan. Tahun lalu lahir Undang-Undang Jaminan Sosial, setelah sekian lama hanya diatur dengan Keputusan Presiden. Undang-undang yang mengatur masalah kecelakaan kerja, kematian, tunjangan hari tua, dan pemeliharaan kesehatan, itu diharapkan memberikan jaminan penghidupan yang layak bagi para pekerja. Namun di tengah letupan-letupan aksi buruh itu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), wadah tunggal para pekerja, yang mestinya bisa menjembatani buruh dengan majikan, terasa mandul. Jumlah unit SPSI itu sudah tersebar di 11.875 pabrik. Tapi lantaran menurut Peraturan Menteri 04/1986 itu majikan bisa terlibat dalam pembentukan serikat buruh, posisi tawar-menawar buruh pun lemah. Majikan bisa pula menolak pembentukan serikat buruh. Lalu muncul serikat-serikat buruh ''menandingi'' SPSI. Ada Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan yang dipimpin H.J. Princen, ada pula Serikat Buruh Sejahtera yang dipimpin Muchtar Pakpahan. Agaknya gaji buruh, yang diatur berdasarkan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), itu sudah tak layak lagi. Maka Cosmas mencanangkan gagasan baru untuk mengubahnya menjadi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Yang diukur dalam KHM itu meliputi kebutuhan kalori, sandang pangan, sekolah anak, perumahan, rekreasi, dan kebutuhan lainnya. ''Gagasan itu saya jual untuk Pelita VI, sebagai pengganti KFM,'' ujar Cosmas. Menurut menteri lulusan Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia itu, pihaknya menerima warisan 2,7 juta penganggur sisa Pelita IV. Deretan penganggur itu, secara absolut, sudah pasti bertambah. Karena angkatan kerja selama Pelita V bertambah 11,9 juta orang (setahun rata-rata masuk 2,4 juta calon pekerja baru), sedangkan lapangan kerja yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi sekitar 11,5 juta. Dilihat statistiknya, angka pengangguran nasional memang mengalami penurunan. Seperti yang disebutkan Presiden Soeharto dalam pidato pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum MPR yang baru lalu, jumlah pekerja kita pada tahun 1990 tercatat 96% atau 71,6 juta jiwa. Masalahnya, mereka tidak semuanya bekerja secara penuh 40 jam seminggu. ''Hampir separo tenaga kerja itu sebenarnya setengah menganggur, bekerja kurang dari 35 jam seminggunya,'' kata Cosmas. Ardian Taufik Gesuri dan Indrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus