KANTOR Pusat Informasi Nasional (PIN) yang nebeng di gedung Departemen Penerangan di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, tampak lengang. Sejumlah papan pengumuman yang ada di situ, yang mes tinya berisi berbagai bahan informasi, juga kelihatan sepi. Yang terlihat di situ hanya beberapa bahan informasi. Suasana ini berbeda sekali dengan sepuluh tahun yang lalu, ketika PIN mula pertama berdiri, sebagai buah tangan Menteri Penerangan Harmoko. Ketika itu papan pengumuman tersebut dipenuhi berbagai bahan informasi. Bukan hanya itu, orang juga bisa mendapat informasi apa saja dengan memutar nomor telepon PIN. Petugas di sana siap selama 24 jam untuk meladeni segala macam pertanyaan masyarakat, mulai dari nomor telepon penting, seperti rumah sakit, sampai informasi tentang cuaca. Ketika itu pertanyaan lewat telepon pun membanjir ke sana. Tapi kini, menurut seorang petugas, jumlah pertanyaan sudah amat menyurut. Petugas itu menduga, orang akhirnya bosan bertanya sebab sering kali informasi sederhana saja tak bisa diberikan petugas di situ. PIN bisa disebut salah satu proyek Departemen Penerangan yang dinilai kurang berhasil. ''Saya kira penyebabnya karena PIN ini belum punya satu konsep yang rinci,'' kata anggota DPR Theo L. Sambuaga yang selama dua periode duduk di Komisi I, yang membidangi antara lain Departemen Penerangan. Tapi tak semua ide Harmoko bekas ketua umum PWI Pusat dan sudah menjadi wartawan sejak tahun 1960 mengalami nasib seperti PIN. Banyak pula ide cemerlangnya yang dinilai cukup berkembang. Salah satunya, kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa). Kegiatan ini oleh orang kota mungkin tak dianggap, tapi di pedesaan tempat bermukimnya mayoritas rakyat negeri ini ternyata dinilai amat bermanfaat. Harmoko, 54 tahun, kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, pada mulanya memulai kelompencapir sebagai pilot proyek di tiga daerah di Jawa. Kini kegiatan itu sudah merebak di seluruh Indonesia dan melibatkan 88 ribu kelompok. Kelompencapir ini menghimpun penduduk di desa-desa untuk menjadi para pendengar siaran radio. Siaran itu sengaja disiapkan oleh RRI setempat, isinya biasanya menyangkut soal-soal pertanian atau peternakan praktis, seperti memilih pupuk yang baik, atau cara mengurus kredit usaha tani (KUT) dari bank. Setiap mengikuti satu siaran, anggota kelompencapir tadi mengadakan diskusi sesama mereka. Media elektronik, seperti radio dan televisi, berkembang amat pesat. Jumlah radio swasta, misalnya, naik 1,5 kali lipat, dari 450 menjadi 670 buah dalam kurun waktu lima tahun. Kemudian televisi swasta mengalami peningkatan pula dalam jumlah. Malah belum lama ini Menteri Penerangan itu membuat keputusan baru yang mengizinkan stasiun televisi swasta melakukan siaran nasional, yang semula hanya monopoli TVRI. Maka saat ini di Jakarta, selain TVRI, lima stasiun TV swasta menyelenggarakan siaran nasional juga. Selain itu, mulai tahun 1991 penduduk Indonesia kebanjiran informasi yang bersumber dari jaringan televisi asing. Siaran CNN dan ESPN, misalnya, bisa ditangkap di sini melalui transponder Palapa, yang disewa kedua perusahaan televisi mancanegara itu. Setelah itu masuk pula dua jaringan televisi Amerika STV dan MTV, serta satu jaringan televisi Inggris, BBC, yang bisa ditangkap pemirsa Indonesia dengan antena parabola. Udara Indonesia memang terbuka bebas dari serbuan televisi asing dengan diizinkannya masyarakat menggunakan antena parabola yang di sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia, masih diharamkan. Dalam soal media cetak, oplah koran dan majalah juga terus meningkat tajam. Yang menjadi ganjalan dalam peningkatan mutu media cetak ini tampaknya adalah masih adanya hak pembatalan SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers) pada Departemen Pene rangan. Itu menyebabkan pers di sini selalu serba salah dan harus pandai-pandai menyensor diri sendiri. Sebab bila SIUPP dicabut berarti penerbitan itu harus ditutup. Sepanjang masa jabatannya lima tahun ini Harmoko telah membatalkan SIUPP tabloid Monitor dan Harian Prioritas. Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini