MENJADI menteri, bagi Siswono Yudohusodo, ibarat ''turun kelas'' dalam dunia tinju. Sebab, sebelum ditunjuk menjadi Menteri Peru mahan Rakyat lima tahun lalu, ia telah berpengalaman membangun rumah. Cuma, rumah yang dibangunnya ''kelas berat'', untuk kaum berduit. Harganya pun puluhan sampai ratusan juta rupiah. Sebelum masuk Kabinet Pembangunan V, Siswono adalah direktur utama perusahaan real estate PT Bangun Tjipta Sarana dan ketua umum REI (Real Estate Indonesia). Setelah menjadi menteri, tugasnya sama membangun rumah, yakni untuk rakyat kelas bawah. Pesan Pak Harto kepada Siswono ketika itu: ''Dalam keuangan yang terbatas ini, kita harus menyediakan perumahan murah bagi rakyat berpenghasilan rendah.'' Karena pesan itu pula, Siswono lantas membanting tulang, membangun rumah sederhana. Sejak 1988 sampai akhir tahun 1992 tercatat 326 ribu rumah sederhana dibangun dari target 450 ribu. Sejak 1991, ia memperkenalkan rumah sangat sederhana (RSS), berukuran 21 m. Sekitar 2.000 RSS dicetaknya. Total kredit pemilikan rumah sederhana ini sekitar Rp 1,3 miliar, atau jauh di bawah harga sebuah rumah mewah dengan tanah 1.000 m di Pondok Indah, Jakarta. Untuk perbandingan, sejak awal Pelita II atau tahun 1973, telah dibangun 752 ribu rumah sederhana. Dari keseluruhan rumah itu, 71,25% dibikin oleh swasta dan 28,75% oleh Perumnas. Di samping itu, selama lima tahun terakhir juga dipugar sekitar 198 ribu rumah di hampir 18 ribu desa. Namun, RSS yang diperkenalkan Siswono sebenarnya bukan barang baru. Sebab, sejak Pelita II telah dibuat rumah sederhana ber ukuran 15 m (rumah inti) sampai tipe 70 m oleh Perumnas. Pelita III dan IV, misalnya, dibangun sekitar 560 ribu unit. Membangun rumah mewah dan rumah untuk rakyat kelas bawah tentu berbeda. Ini yang dialami Siswono. Setelah menjadi menteri, ia harus keluar masuk kampung kumuh. Bahkan pengusaha real estate itu beberapa kali harus merasakan menginap di rumah rakyat kampung padat. ''Jadi orang kaya memang enak,'' kata Siswono, yang ketika ditunjuk menjadi menteri langsung melepas belasan jabatan puncak di berbagai perusahaan. Padahal, gaji pokok sebagai menteri cuma Rp 1,7 juta, lebih kecil dari penghasilan sebelumnya. ''Namun rasanya lebih enak kalau jadi orang kaya yang dicintai orang miskin,'' katanya. Maka, Siswono lantas punya ide agar para pengusaha real estate atau developer bukan cuma membangun rumah bagi orang kaya. Mereka diwajibkan pula membuat rumah bagi rakyat tak mampu. Pihak swasta, termasuk industri, diminta membangun RSS itu. Sejak 1988, misalnya, swasta sudah membangun 260 ribu buah rumah, dan hanya 4.500 unit di antaranya yang tergolong mewah. Siswono, penulis buku Rumah untuk Rakyat, juga mengembangkan rumah susun dan peremajaan permukiman kumuh. Tercatat ada 4.500 hektare kawasan kumuh yang dihuni hampir 2,5 juta jiwa di Jakarta, 400 hektare dengan 200 ribu penghuni di Bandung, dan 2.200 hektare dengan 900 ribu penduduk di Surabaya. Untuk rakyat kelas bawah ini, Siswono mengampanyekan RSS tadi dan menyediakan kaveling siap bangun (KSB). Harganya sekitar Rp 1,2 juta untuk tanah seluas 54 m. Cicilan cuma Rp 9.800 sebulan selama 20 tahun. Sedangkan rumah susun, untuk tahun anggaran 1991/1992 dibangun hampir 1.500 unit di Kemayoran, mulai dari tipe 18 hingga 21. Kendala yang dihadapinya adalah harga tanah yang cepat melambung di kota-kota besar. Agar bisa menjual RSS dengan harga Rp 3 juta sebuah, rumah itu harus dibangun jauh di luar kota. Bekasi atau Tangerang untuk ukuran Jakarta. Padahal sebagian besar penghuninya mencari nafkah di Jakarta, seperti pemulung, pedagang kaki lima, dan karyawan rendahan. Apa pun alasannya, Siswono yang juga penulis novel Warga Baru, Kasus Cina di Indonesia, mampu mendongkrak jumlah rumah baru. Ia juga membuat boom bisnis real estate dan apartemen mewah dengan harga gila-gilaan. Ia menolak berkomentar soal perkembangan permukiman dan perumahan itu. Apalagi tentang jabatannya sebagai menteri atau kabinet mendatang. ''Saya tak ingin berbicara, deh,'' katanya. ABS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini