Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Santri intelek pak Hajam

SPG Muhammadiyah I Yogyakarta 15 september secara resmi menerapkan sistem pesantren. siswa kelas III diharuskan tinggal di asrama untuk mengikuti kurikulum pengembangan.(pdk)

1 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH itu berbentuk joglo, menempati tanah 1.700 meter persegi, di kawasan Wirobrajan, Yogyakarta. Di halaman depan, yang tak begitu luas, bunga-bunga ditanam, mencerminkan kesegaran dalam kesederhanaan. Di situlah, sejak dua tahun lau citra SPG Muhammadiyah I, Yogyakarta, pelan-pelan dicoba diubah. Dan 15 September lalu, bersamaan dengan peringatan ulang tahun Muhammadiyah ke-37, secara resmi dinyatakan, sekolah guru itu mengubah sistem pendidikannya menjadi sistem pesantren. "Kelemahan oendidikan formal." kata Hajam Murusdi, 43 tahun, kepala SPG Muhammadiyah itu, "ialah singkatnya waktu bertemu antara siswa dan pendidik." Rumusan inilah yang mendorong Hajam dan rekan-rekannya menerapkan pendidikan sepanjang waktu. Pagi hingga siang siswa SPG tersebut, yang kini disebut santri, tetap belajar seperti dulu ketika belum ada perubahan. Tapi lepas dari sekolah, mereka masuk asrama dan harus mengikuti yang disebut kurikulum pengembangan. Tekanan kurikulum ini memang pada pendalaman agama Islam. Ada pelajaran tafsir Alauran dan tafsir hadis. Juga ada pelajaran bahasa Arab dan metode dakwah. Dan di asrama, sistem belajar lebih menitikberatkan pada sistem sorogan atau privat. Guru, atau kini disebut ustad, tidak memandang kelas, tapi siswa orang per orang. Dan sebetulnya kurikulum pengembangan tak hanya berisi pendalaman agama. Dari pukul 15.00 hingga 22.00, resminya para santri dipersilakan menanyakan dan mendiskusikan apa pun dengan para ustad yang secara bergilir datang di asrama putri ini. Santri putra masih dititipkan di asrama Mu'alimin, milik PP Muhammadiyah. Maka, mereka tiap sore diharuskan bergabung ke asrama putri. Di asrama putri itu sendiri ada Ahmad Dunuwi Hamim, 52 tahun, yang menjadi pimpinan asrama. Ahmad, lulusan SMP yang sejak 1949 hidup dari pesantren ke pesantren, inilah tokoh teladan di situ. Ia bukan sekadar guru mengaji yang disegani, tapi ia juga menjadi wakil orangtua murid. "Bukan cuma ilmu, tapi juga soal jodoh dan kesulitan ekonomi ditanyakan kepada saya," tutur Ahmad, yang mendapat honorarium Rp 20 ribu per bulan dari SPG Muhammadiyah ini. Dengan cara itu, boleh dibilang lulusan SPG Muhammadiyah I itu benar-benar siap terjun ke masyarakat. Tentu saja ini bisa dicapai berkat pengertian 37 guru yang mengaiar di sekolah itu. Mereka, menurut para santri yang ditemui TEMPO, bukanlah "guru-guru yang pelit". Maksudnya, mereka selalu terbuka untuk ditanya apa pun, untuk diajak diskusi soal apa pun. "Semua waktu saya, saya curahkan untuk murid saya," kata Sualun, salah seorang guru. Dan hebatnya, untuk datang dan "mengajar" di asrama di luar jam sekolah "para guru hampir-hampir tak menerima tambahan gaji," kata Hajam, lulusan IKIP Negeri Yogyakarta. Tak mengherankan, misalnya, bila Ahmadi, 20 tahun, yang baru tahun lalu lulus dari sekolah ini dan mengajar di sebuah SD di Kampung Brosot, Kulonprogo, Yogyakarta, tak canggung bergaul di masyarakat. Tak hanya di sekolah ia bersedia membimbing siswa, tapi juga di masyarakat ia tak menolak ditunjuk menjadi ketua pengajian. Ahmadi memang merasa dibentuk oleh sistem SPG Muhammadiyah I itu. Misalnya, "saya terbiasa hidup teratur dan memegang disiplin," katanya. "Pengalaman itulah yang kini saya tularkan kepada murid-murid saya." Dan karena ia merasa mempraktekkan ajarannya sendiri, ia merasa lebih mudah membimbing anak didiknya. Disiplin di asrama SPG Muhammadiyah memang ketat. Santri putri tak diperkenankan ke luar asrama sendirian, tapi harus bertiga. Izin pulang - sekitar 50% siswi datang dari Yogyakarta dan harus tinggal di asrama - tak diberikan sembarangan. Surat izin itu pun, bila mereka kembali ke asrama, harus dikembalikan dan harus ada tanda tangan orangtua siswa yang menyatakan bahwa anaknya benar-benar pulang ke rumah. Apa yang kini diperoleh sekolah ini? Hajam mengakui hal itu belum tampak benar. Apalagi keharusan masuk asrama baru ditujukan pada siswa kelas III. Baru tahun depan direncanakan semua siswa yang kini berjumlah hampir 450 itu bisa ditampung di asrama. Tapi dia yakin, dengan adanya tokoh sentral macam Ahmad Dunuwi, adanya kesempatan berdiskusi secara akrab dengan semua guru di luar jam sekolah "pasti aspek kepribadian yang kurang di sekolah biasa, di sini bisa dikembangkan." Bagi para santri sendiri, perubahan sistem sekolahnya disambut dengan bangga. Ajaib juga, di masa sekarang mereka justru lebih senang dengan sebutan santri. "Itu 'kan artinya intelektual muslim," kata Soleh, 19 tahun, siswa kelas III. Dan seperti bertentangan dengan suasana rumah joglo dan kerudung santri putri, di asrama ada anjuran agar para siswa, eh, santri, lebih banyak berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Tentu kebiasaan ini sangat berguna bagi 18 lulusan sekolah ini yang melanjutkan ke IKIP dan bagi 25 lulusan yang melanjutkan ke IAIN tahun ini. Bagi yang kemudian langsung mengajar pun, tentulah kepandaian itu bisa menjadi bekal untuk belajar sendiri. SPG ini memang termasuk sekolah "makmur". Dana dari para donatur lumayan lancar. Selain itu. ada uang sekolah Rp 4.000, uang asrama Rp 2.500, dan uang makan Rp 10.000 per bulan dari tiap siswa. "Kami memang bukan mencari untung, tapi pahala," kata Dunuwi tentang biaya tinggal di asrama yang rendah itu. Kabar adanya perubahan ini rupanya disambut baik oleh kepala Kanwil P & K Yogyakarta, G.B.P H. Poeger. Apa pun nama sistem Ini, "tapi dengan adanya pelajaran tambahan, itu bagus," katanya. Di tengah kecenderungan yang sebaliknya - pesantren membuka sekolah umum yang dilakukan SPG Muhammadiyah ini memang unik. Bak sebuah benteng yang berupaya membangun aspek spiritual lewat pendidikan, di tengah dunia pendidikan yang konon cenderung menjadi cuma pabrik iazah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus