Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Santri Melihat Desanya

Lp3es mengadakan latihan tenaga pengembangan masyarakat kepada santri dari pesantren-pesantren di ja-tim. ternyata lembaga pendidikan ini cukup terbuka. santri-santrinya berhasil menggerakkan pembangunan desa. (ds)

1 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK awal November lalu, LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) menyelenggarakan Latihan Tenaga Pengembangan Masyarakat bagi para santri dari pesantren-pesantren di Jawa Timur. Ada 12 pondok pesantren yang mengirim santri. Dari nama latihan tersebut, jelas bukan cuma soal agama saja yang diajarkan. Mengapa pesantren dipilih? Ismid Hadad, Direktur LP3ES menjawab: "Kegiatan sosial keagamaan pondok pesantren berpengaruh besar di pedesaan." Lagi pula, "pesantren merupakan lembaga pribumi yang sudah ada sejak ratusan tahun." Lebih menarik pendapat Ismid bahwa "pondok pesantren sejak semula sudah punya watak swadaya." Dan di kalangan para santri sendiri pengembangan watak mandiri itu dikenal dengan istilah al-i'timadu 'alan nafsi. "Semula kami ragu karena banyak yang mengingatkan supaya hati-hati masuk pesantren. Nyatanya tanggapan pesantren baik sekali," tambah Ismid. Latihan itu merupakan lanjutan dari latihan tingkat nasional 2 tahun sebelumnya di pesantren Pabelan, Muntilan. Ketika itu (1977) diikuti 12 orang dari Tebuireng (Jombang), Pabelan (Muntilan), Cipasung (Tasikmalaya), Maslahul Huda (Pati), An-Nuqoyah (Sumenep), Darun Najah (Kebayoran Lama, Jakarta), Pringsewu (Lampung). Juga 6 peserta dari perguruan tinggi Islam Lembaga Da'wah Praktis Banjarmasin. Diselenggarakan 6 bulan -- 2 bulan teori 4 bulan praktek di lapangan -- latihan ini merupakan proyek LP3ES bekerjasama dengan Ditjen Bimas Islam Departemen Agama dan Ditjen PMD Departemen Dalam Negeri. Dalam latihan itulah para santri mendapat pengetahuan yang sama sekali baru, yang sebelumnya tidak mereka dapatkan di pesantren. Misalnya cara mengenali lingkungan masyarakat potensi apa yang ada, masalah yang dihadapi dan kemungkinan apa yang bisa dikembangkan. Mereka juga dilatih membuat perencanaan dan mengelola pengembangan masyarakan Termasuk cara-cara menumbuhkan rangsangan keikut-sertaan masyarakat. Pulang dari latihan di Pabelan, peserta ditugasi membuat laporan tentang masyarakat di sekitar pesantren masing-masing lengkap dengan proyek proposalnya untuk dikirim ke LP3ES di Jakarta. Syafi'i Anshari misalnya, peserta dari pesantren An-Nuqoyah menyusun diskripsi mengenai Desa Guluk-guluk. Menurut laporan Syafi'i, penduduk Guluk-guluk yang 8.480 jiwa itu cuma memiliki sawah 41.506 ha. Di luar musim tanam dan panen, penduduk yang menjadi pedagang kecil itu umumnya terjerat lintah darat dengan bunga 40%. Di kalangan penduduk juga ada kebiasaan yang sangat merugikan. Yaitu pengeluaran berlebihan untuk upacara kematian. Menurut perhitungan Syafi'i, penduduk paling miskin di Guluk-guluk sampai 7 hari pertama sedikitnya memerlukan Rp 100.000 untuk upacara kematian. "Ya apa lagi kalau bukan dengan menjual tanah," ujar Syafi'i. Tapi Syafi'i juga masih melihat potensi yang bisa dikembangkan yaitu tradisi yang kuat beragama. Maka langkah pertama Syafi'i buat mengembangkan masyarakat sekitar pesantren An-Nuqoyah ialah menggiatkan kelompok pengajian. Di situlah berbagai masalah sosial dan ekonomi dihubungkan dengan ajaran Islam dan dipecahkan. "Selama di Pabelan saya diajar cara menghidupkan kelompok masyarakat. Yaitu dengan menciptakan suasana sedemokratis mungkin hingga mereka tidak merasa dibentuk melainkan membentuk diri,' ujarnya. Rujak & Pisang Kini sudah ada 9 kelompok masyarakat di Guluk-guluk beranggotakan hampir 500 orang. Setiap anggota membayar iuran Rp 10 setiap pengajian yang diselenggarakan sebulan 2 kali. Dari kelompok inilah terhimpun dana kematian hingga dengan pelan-pelan menghilangkan kebiasaan pemborosan. Tapi karena belum ada juga yang meninggal, dana itu diberikan sebagai kredit kepada anggota kelompok yang berdagang kecil-kecilan. Tentu saja tanpa bunga tapi boleh menyetor sebagian keuntungan. Ada 80 pedagang kecil penerima kredit yang paling tinggi Rp 3.000 itu. Mulai dari pedagang rujak sampai penjual pisang. Tidak semua rencana Syafi'i lancar. Usaha pembakaran gampingnya gagal setelah 2 kali dicoba. Ia mula-mula prihatin karena banyak kayu ditebang untuk pembakaran gamping. "Kan membahayakan ekologi," ujarnya. Ia ingin mengubah cara pembakaran itu dengan bahan bakar solar. Tapi karena sifat gamping Sumenep yang lain, percobaan itu pun gagal. Teman-teman Syafi'i yang pernah sama-sama latihan di Pabelan juga membuat kegiatan semacam itu di pesantren masing-masing. Yang berasal Pabelan misalnya memugar rumah dan mengumpulkan dana kesehatan. Peserta dari Cipasung (Tasikmalaya) mengusahakan air bersih, sedang santri dari Maslahul Huda (Pati) memecahkan kesulitan modal bagi pedagang krupuk. Santri dari Pabelan, Muchtar Abbas (29 tahun) berhasil menggerakkan para santri bergotong-royong menaikkan aliran air sungai untuk mengairi sawah dengan pompa dan kincir angin. Karena jasanya, ia diangkat penduduk Pabelan sebagai kepala desa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus