SEJAK awal November lalu, LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan
dan Penerangan Ekonomi dan Sosial) menyelenggarakan Latihan
Tenaga Pengembangan Masyarakat bagi para santri dari
pesantren-pesantren di Jawa Timur. Ada 12 pondok pesantren yang
mengirim santri. Dari nama latihan tersebut, jelas bukan cuma
soal agama saja yang diajarkan.
Mengapa pesantren dipilih? Ismid Hadad, Direktur LP3ES menjawab:
"Kegiatan sosial keagamaan pondok pesantren berpengaruh besar di
pedesaan." Lagi pula, "pesantren merupakan lembaga pribumi yang
sudah ada sejak ratusan tahun." Lebih menarik pendapat Ismid
bahwa "pondok pesantren sejak semula sudah punya watak swadaya."
Dan di kalangan para santri sendiri pengembangan watak mandiri
itu dikenal dengan istilah al-i'timadu 'alan nafsi. "Semula kami
ragu karena banyak yang mengingatkan supaya hati-hati masuk
pesantren. Nyatanya tanggapan pesantren baik sekali," tambah
Ismid.
Latihan itu merupakan lanjutan dari latihan tingkat nasional 2
tahun sebelumnya di pesantren Pabelan, Muntilan. Ketika itu
(1977) diikuti 12 orang dari Tebuireng (Jombang), Pabelan
(Muntilan), Cipasung (Tasikmalaya), Maslahul Huda (Pati),
An-Nuqoyah (Sumenep), Darun Najah (Kebayoran Lama, Jakarta),
Pringsewu (Lampung). Juga 6 peserta dari perguruan tinggi Islam
Lembaga Da'wah Praktis Banjarmasin.
Diselenggarakan 6 bulan -- 2 bulan teori 4 bulan praktek di
lapangan -- latihan ini merupakan proyek LP3ES bekerjasama
dengan Ditjen Bimas Islam Departemen Agama dan Ditjen PMD
Departemen Dalam Negeri. Dalam latihan itulah para santri
mendapat pengetahuan yang sama sekali baru, yang sebelumnya
tidak mereka dapatkan di pesantren.
Misalnya cara mengenali lingkungan masyarakat potensi apa yang
ada, masalah yang dihadapi dan kemungkinan apa yang bisa
dikembangkan. Mereka juga dilatih membuat perencanaan dan
mengelola pengembangan masyarakan Termasuk cara-cara menumbuhkan
rangsangan keikut-sertaan masyarakat.
Pulang dari latihan di Pabelan, peserta ditugasi membuat laporan
tentang masyarakat di sekitar pesantren masing-masing lengkap
dengan proyek proposalnya untuk dikirim ke LP3ES di Jakarta.
Syafi'i Anshari misalnya, peserta dari pesantren An-Nuqoyah
menyusun diskripsi mengenai Desa Guluk-guluk. Menurut laporan
Syafi'i, penduduk Guluk-guluk yang 8.480 jiwa itu cuma memiliki
sawah 41.506 ha. Di luar musim tanam dan panen, penduduk yang
menjadi pedagang kecil itu umumnya terjerat lintah darat dengan
bunga 40%. Di kalangan penduduk juga ada kebiasaan yang sangat
merugikan. Yaitu pengeluaran berlebihan untuk upacara kematian.
Menurut perhitungan Syafi'i, penduduk paling miskin di
Guluk-guluk sampai 7 hari pertama sedikitnya memerlukan Rp
100.000 untuk upacara kematian. "Ya apa lagi kalau bukan dengan
menjual tanah," ujar Syafi'i.
Tapi Syafi'i juga masih melihat potensi yang bisa dikembangkan
yaitu tradisi yang kuat beragama. Maka langkah pertama Syafi'i
buat mengembangkan masyarakat sekitar pesantren An-Nuqoyah ialah
menggiatkan kelompok pengajian. Di situlah berbagai masalah
sosial dan ekonomi dihubungkan dengan ajaran Islam dan
dipecahkan. "Selama di Pabelan saya diajar cara menghidupkan
kelompok masyarakat. Yaitu dengan menciptakan suasana
sedemokratis mungkin hingga mereka tidak merasa dibentuk
melainkan membentuk diri,' ujarnya.
Rujak & Pisang
Kini sudah ada 9 kelompok masyarakat di Guluk-guluk
beranggotakan hampir 500 orang. Setiap anggota membayar iuran Rp
10 setiap pengajian yang diselenggarakan sebulan 2 kali. Dari
kelompok inilah terhimpun dana kematian hingga dengan
pelan-pelan menghilangkan kebiasaan pemborosan. Tapi karena
belum ada juga yang meninggal, dana itu diberikan sebagai kredit
kepada anggota kelompok yang berdagang kecil-kecilan. Tentu saja
tanpa bunga tapi boleh menyetor sebagian keuntungan. Ada 80
pedagang kecil penerima kredit yang paling tinggi Rp 3.000 itu.
Mulai dari pedagang rujak sampai penjual pisang.
Tidak semua rencana Syafi'i lancar. Usaha pembakaran gampingnya
gagal setelah 2 kali dicoba. Ia mula-mula prihatin karena banyak
kayu ditebang untuk pembakaran gamping. "Kan membahayakan
ekologi," ujarnya. Ia ingin mengubah cara pembakaran itu dengan
bahan bakar solar. Tapi karena sifat gamping Sumenep yang lain,
percobaan itu pun gagal.
Teman-teman Syafi'i yang pernah sama-sama latihan di Pabelan
juga membuat kegiatan semacam itu di pesantren masing-masing.
Yang berasal Pabelan misalnya memugar rumah dan mengumpulkan
dana kesehatan. Peserta dari Cipasung (Tasikmalaya) mengusahakan
air bersih, sedang santri dari Maslahul Huda (Pati) memecahkan
kesulitan modal bagi pedagang krupuk. Santri dari Pabelan,
Muchtar Abbas (29 tahun) berhasil menggerakkan para santri
bergotong-royong menaikkan aliran air sungai untuk mengairi
sawah dengan pompa dan kincir angin. Karena jasanya, ia diangkat
penduduk Pabelan sebagai kepala desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini