Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Target pemerintah menurunkan angka prevalensi stunting menjadi 14 persen pada 2024 menguap seiring berakhirnya pemerintahan Presiden Jokowi. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia yang dilakukan Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting per Juni 2023 tercatat sebesar 21,5 persen. Angka itu masih belum memenuhi standar WHO di bawah 20 persen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dengan prevalensi 21 persen itu, Indonesia masih berada di deretan lima besar negara dengan stunting tertinggi di Asia Tenggara," kata peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Betta Anugrah, kepada Tempo, Kamis, 17 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Betta, meski prevalensi stunting menurun dalam satu dekade pemerintahan Jokowi, jumlahnya cenderung lamban. Sejak 2014 hingga 2024, rata-rata penurunan prevalensi stunting hanya sebesar 1,2 persen. "Di tahun 2024 ini bahkan sangat rendah, 0,1 persen," ujar Betta.
Betta menilai penyebab rendahnya rata-rata penurunan prevalensi stunting karena penggunaan anggaran yang tidak tepat. Dia mengatakan penanganan stunting di banyak daerah bersifat insidentil dan tanpa audit data yang konsisten.
Dia mengatakan sebagian besar anggaran penanganan stunting digunakan untuk membereskan masalah di hilir. Padahal, kata dia, stunting merupakan persoalan yang disebabkan oleh banyak faktor, kemiskinan ekstrem, hingga akses yang sulit terhadap pelayanan kesehatan.
"Riset terbaru kami menunjukkan bahwa daerah dengan prevalensi stunting merupakan daerah yang belum terakses terhadap pelayanan kesehatan yang memadai. Ini diperparah dengan tingginya angka kemiskinan di daerah tersebut," katanya.
Betta mencontohkan apa yang terjadi di Nusa Tenggara Timur. Di provinsi tersebut, hanya Kota Kupang yang prevelensi stuntingnya di bawah 30 persen. "Kalau angka rata-rata yang kami peroleh itu 37 persen. Ini sangat tinggi sekali dan penyelesaiannya di sektor hulu sangat minim," kata Betta.
Menurut Betta, selama ini pemerintah telah melibatkan banyak kementerian hingga pemerintah daerah dalam mengurusi masalah stunting. Dalam Tim Percepatan Penanganan Stunting yang berada di bawah koordinasi Wakil Presiden, terdapat 21 kementerian/lembaga yang terlibat.
Selain itu, intervensi kebijakan juga dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai garda terdepan untuk menangani stunting. Akan tetapi, kata Betta, pemerintah daerah cenderung bergerak ketika angka survei oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan ada lonjakan kejadian stunting.
"Setelah ada survei, baru semuanya bergerak, sehingga tidak ada perencanaan anggaran yang konsisten untuk stunting oleh pemerintah daerah dan sifatnya sangat bergantung pada anggaran dari kementerian," katanya.
Betta juga melihat ketidakseriusan dalam eksekusi anggaran di daerah. Dia mengatakan anggaran untuk stunting malah lebih besar digunakan untuk kegiatan pemerintah dan seremonial. "Harusnya anggaran tersebut langsung dieksekusi oleh tim teknis, menyasar ke akar persoalan. Tapi selama ini yang terjadi malah digunakan untuk rapat-rapat, pertemuan-pertemuan yang boros anggaran," kata Betta.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesehatan Perempuan, Nanda Dwinta Sari, mengatakan kebijakan pencegahan stunting dalam 10 tahun terakhir belum menyentuh akar persoalan. Nanda melihat belum ada penyelesaian yang konkret terhadap akar permasalah stunting, salah satunya adalah pencegahan perkawinan anak. Sebab, kata dia, pemicu stunting tidak hanya soal akses terhadap makanan sehat.
"Perkawinan anak juga menyumbang terhadap bayi stunting, jadi harus banyak pihak memberikan perhatian dan termasuk kesadaran masyarakat sendiri," katanya.
Daerah dengan angka perkawinan tertinggi juga menjadi lokus dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) menyatakan angka perkawinan anak di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat berada di atas rata-rata angka nasional yang sebesar 6,29 persen.
Selain itu, Nanda mengatakan intervensi terhadap penanganan stunting sebenarnya bisa dilakukan melalui dana desa. Tetapi dia mengatakan inisiatif tersebut belum terlihat sehingga dana desa cenderung digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif.
"Alih-alih untuk membiayai sektor kesehatan, dana desa malah digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang tidak mendesak," kata Nanda, melalui keterangan tertulis, Jumat, 18 Oktober 2024.
Respon Pemerintah
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui tidak terpenuhinya target penurunan stunting sebesar 14 persen karena masih terdapat alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran. Budi mengatakan hal tersebut sempat dikeluhkan Presiden Joko Widodo dalam rapat bersama Tim Percepatan Penanganan Stunting pada pertengahan Agustus 2023.
“Presiden Jokowi komplain terhadap penggunaan dana stunting, selama ini anggaran untuk penanganan kemiskinan ekstrem dan stunting sudah sangat besar. Sayangnya, alokasi anggaran itu ketika di-tagging, sebagian besar untuk rapat dan perjalanan dinas,” kata Budi dikutip dari siaran pers Kementerian Sekretaris Negara, Sabtu, 18 Oktober 2024.
Sebelumnya, Budi mengatakan mendapatkan tugas dari presiden terpilih Prabowo Subiano untuk menyelesaikan berbagai persoalan kesehatan, termasuk stunting. Dia mengatakan akan mengevaluasi penanganan stunting melalui perbaikan sistem kesehatan, mulai dari akses pelayanan kesehatan dan pemerataan tenaga medis.
“Tahun depan ini akan mulai dikejar segala ketertinggalan yang belum tercapai, termasuk stunting,” katanya, usai bertemu presiden terpilih Prabowo Subianto pada Senin, 14 Oktober 2024.
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial, Agus Zainal Arifandari, mengakui proses eksekusi penanganan stunting sangat kompleks karena melibatkan lintas lembaga. Dia mengatakan hal lain yang menjadi kendala penanganan stunting adalah keterbatasan sumber daya di tiap lembaga.
“Keterbatasan sumber daya ini mempengaruhi kemampuan masing-masing lembaga dalam melaksanakan program secara efektif,” kata Zainal kepada Tempo melalui jawaban tertulis, Sabtu, 19 Oktober 2024.
Selain itu, kata Zainal, masing-masing lembaga punya fokus program yang berbeda. Hal inilah yang membuat koordinasi lintas lembaga menjadi kurang efektif. “Tantangan lainnya yakni pemetaan permasalahan di hulu, sehingga diketahui akar penyebabnya perlu dilakukan, agar pelaksanaan tidak sporadis,” katanya.
Zainal mengatakan Kementerian Sosial sebenarnya tidak mendapatkan tugas secara langsung dalam penanganan stunting. Kendati demikian, dia mengatakan sejumlah program bantuan sembako merupakan salah satu langkah yang diambil untuk mencegah stunting.
Meski telah memasukan stunting sebagai salah satu sasaran dalam pemberian bantuan sosial, Zainal mengatakan masih terdapat tantangan dalam merealisasikan penurunan stunting melalui Kemensos. Salah satunya yakni tidak adanya pengukuran dampak program Kemensos dalam mengurangi prevalensi stunting.
“Belum lagi soal akses ke daerah tertinggal, terdepan terluar serta keterbatasan sumber daya dalam melaksanakan edukasi terkait dengan stunting,” ujarnya.