Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ABRAHAM Lunggana pada usia sekolah dasar mengais sampah di Pasar Tanah Abang. Kini ia memiliki sejumlah perusahaan yang mengelola keamanan dan parkir di pusat perdagangan tekstil itu. Dengan bendera PT Putraja Perkasa, PT Tujuh Fajar Gemilang, PT Tirta Jaya Perkasa, Sakom, juga koperasi Kobita, ia mengklaim mempekerjakan 7.000 orang.
Populer dengan panggilan Haji Lulung, ia kini kaya raya. Mobilnya 30-an. "Yang paling bagus Rubicon," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Ia mengaku punya banyak properti, seperti rumah, tujuh vila, juga toko. Lewat Partai Persatuan Pembangunan, Lulung menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta pada 2009, kemudian terpilih sebagai wakil ketua. "Saya pembayar pajak terbesar nomor tiga di Jakarta Pusat," ujarnya.
Lulung menolak julukan preman untuk orang yang memungut uang dari pedagang kaki lima di Tanah Abang. Ia menyebut mereka "anak wilayah".
Mengapa Anda bersengketa dengan Wakil Gubernur Basuki?
Saya enggak ada apa-apa sama dia. Hanya beda persepsi. Dia bilang mau ketemu saya. Namun teman-teman Dewan katakan, "Jangan pribadi Pak Haji. Ini kan institusi. Nanti aja dia kami panggil ke sini." Saya menuruti kawan-kawan. Secara pribadi, saya enggak ada apa-apa, kan.
Tapi pendukung Anda berdemo ke kantor Wakil Gubernur?
Kelompok pedagang, dengan 11 organisasi itu, datang ke saya. Mereka mau berdemo, tersinggung dikatain begini-begini. Saya katakan, "Itu aspirasi ente semua, ya. Jangan melibatkan saya. Kalau ente kemari minta restu, cuma satu permintaan saya: jangan rasis." Asumsinya, semua pedagang kaki lima, jumlahnya kurang-lebih 20 ribu, mau turun. Saya bilang, "Jangan, nanti rusuh." Akhirnya, sekitar 1.200 yang berdemo. Saya sih enjoy saja.
Kepolisian Daerah menyebutkan ada preman di Tanah Abang memeras pedagang….
Saya kebingungan. Yang dibilang preman itu yang mana? Buktikan. Saya prihatin ada isu preman. Seolah-olah ada perbuatan melanggar hukum secara massal oleh sekelompok orang, memeras dan segala macam. Di Tanah Abang itu tidak ada orang lain. Yang ada asli anak Tanah Abang. Jangan yang mengelola pedagang kaki lima disebut preman.
Bukankah pungutan-pungutan kepada pedagang itu pemerasan?
Saya bilang itu mau sama mau. Para pedagang tidak merasa diperas. Pedagang datang dari luar. Emang bisa ente cari tempat sendiri? Nah, pasti ente cari orang di situ. Ketemulah. Lalu, misalnya, sepakat tiga bulan sewa: satu juta, dua juta, lima ratus ribu. Lalu ada keamanan, kebersihan.
Apa saja pungutan pada pedagang?
Itu tidak ada. Mereka itu bekerja dengan kepala-kepala kelompok yang mengkoordinasi pedagang untuk kesejahteraan masyarakat Tanah Abang. Pedagang tidak sendiri. Ada transaksi di situ. Transaksi apa? Namanya transaksi lapak. Misalnya, saya tidak tahu persis, 3 bulan Rp 1 juta sampai Rp 2 juta. Terus, ada yang satu hari.
Pak Jokowi bilang ada RW di situ. Dia investigasi. Jagoan dia dibanding saya. Lalu saya turun. Anak lokal saya semua turun. Kita temukan itu koordinasinya sama RW dan lurah, sama trantib (ketenteraman dan ketertiban) kecamatan. Camatnya tidak ikut karena takut. Karena apa? Dulu pernah kantor Kecamatan Tanah Abang dibakar sewaktu berkasus dengan pedagang. Camat yang baru tugas 2-3 hari pasti menemui saya. Artinya, ini lingkaran setan. Makanya, saya bilang yang paling penting itu pemerintah harus merehabilitasi kampung Tanah Abang dari persoalan preman. Jangan kami didiskriminasi.
Untuk apa pungutan-pungutan itu?
Judulnya begini, tetep mereka dibina supaya jangan bikin masalah besar. Kenapa? Karena Tanah Abang ini sentra ekonomi. Kalau kalian ribut, orang enggak datang berbelanja. Kalau saya enggak jadi apa-apa lagi, nongkrong aja di Tanah Abang. Meludah saja jadi duit. Tapi saya enggak mau monopoli. Nanti saya panggil rukun remaja untuk dikasih kerjaan.
Anda seperti godfather di Tanah Abang….
Iya, saya godfather yang tidak jahat, ha-ha-ha….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo