Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bagi kalangan umum, penyebutan Tuli terkesan tidak sopan dibandingkan tunarungu. Padahal, di kalangan Tuli, penyebutan tunarungu bermakna negatif dan tidak menggambarkan keadaan mereka seutuhnya. Tunarungu dianggap sebagai keterbatasan fisik, sedangkan Tuli lebih mempresentasikan cara berkomunikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga:
Alasan Istilah Tuli Lebih Disarankan Ketimbang Tunarungu
Cara Mengajar Bicara pada Anak dengan Gangguan Pendengaran
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain terminologi Tuli, ada pula cara penulisan kata Tuli yang benar. Kata Tuli yang dianggap benar adalah dengan menggunakan huruf T kapital. Menurut kelompok orang-orang Tuli, ada perbedaan Tuli yang ditulis menggunakan huruf T kecil dengan Tuli yang ditulis menggunakan huruf T Kapital. "Huruf t kecil direpresentasikan sebagai orang yang mengalami keterbatasan pendengaran, sedangkan huruf T kapital adalah cara berkomunikasi," ujar Koordinator Media di Sasana Inklusi dan Advokasi Difabel atau SIGAB, M. Ismail kepada Tempo.
Menurut Ismail yang juga seorang Tuli, orang yang tidak menggunakan bahasa verbal belum tentu orang yang tidak dapat mendengar. Terkadang, ada orang yang dapat mendengar namun tidak dapat menggunakan bahasa verbal. "Karena itu disebut budaya Tuli, karena menggunakan cara berkomunikasi tersendiri, yaitu bahasa isyarat," kata Ismail menjelaskan.
Sejarah pengembalian terminologi Tuli dari Tunarungu sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan Presiden Soekarno. Saat itu, Presiden Soekarno menjawab surat dari masyarakat Tuli dengan menggunakan terminologi Tuli. "Saat itu, masyarakat Tuli memprotes kebijakan pemerintah yang dianggap diskriminatif karena belum juga mengakui sekaligus menjelaskan secara gamblang seperti apa budaya Tuli," ujar Ismail.
Ilustrasi penderita tuli. (foto: Gettyimages)
Sebagian besar kelompok masyarakat Tuli menggolongkan diri mereka sebagai minoritas bahasa, bukan sebagai penyandang disabilitas pendengaran. Sebab, ada sebagian dari mereka yang masih berada dalam kondisi mendengar –meski sedikit. Kondisi ini disebut Hard of Hearing atau HOH. Mereka yang masuk kelompok HOH tidak menggunakan bahasa verbal karena berbagai faktor. Salah satunya mereka harus beradaptasi dengan instrumen kata yang ada di dalam kehidupan sehari-hari.
"Mereka tentu akan mengalami kesulitan memahami kata atau bahasa di televisi, buku atau film (yang terlalu banyak menggunakan bahasa verbal)," ujar Ismail. Karena itu, orang-orang dalam kelompok HOH menganggap bahasa isyarat sebagai sebuah takdir. Banyak dari mereka memilih tidak menggunakan bahasa verbal dengan alasan bahasa isyarat lebih mengungkapkan isi pikiran mereka dibandingkan bahasa verbal.